Sunday 29 May 2011

Finally!

I managed to make this :) It's been years I have wanted to learn how to do it but no one seemed to give a hand and I didn't seem to have time to learn by myself from the tutorial either. I thank my cousin, Ekik for showing me how to the other day! It's so kind of you. Loveee it xx

Sunday 22 May 2011

Photoshop Rocks!


I love this picture. It brings out something about me which I can't describe. It's just different!



What makes this picture cute is that bandana I am wearing. I like my make up too.



This one is my favourite. They kind of represent who I really am :)

Saturday 21 May 2011

Aku Jatuh Cinta


indeed ....

first you get in, you'll scream inside your head!

but .....

the more you understand their tiny little worlds

the more you're gonna love them

seriously, KIDS are the most amazing creature on earth!

Thursday 19 May 2011

Tanpa Judul

Kulirik sekali lagi jam dinding yang tergantung tepat diatasku, jam 1 lebih 42 menit. Sialan! batinku. Bahkan ketika sudah jauh melewati tengah malam pun mataku belum juga bisa terpejam. Sekali lagi kuurutkan kejadian pagi ini yang secara tidak langsung telah menjadi sumber insomniaku kali ini. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari ketika tiba-tiba nada pesan singkat di telepon selularku berbunyi. Dengan perasaan kesal karena harus terbangun dari tidur panjang dan pulas, aku meraba-raba sekitar tempat tidur berusaha menemukan benda kecil berwarna merah itu. Tidak begitu lama baru aku teringat bahwa tadi malam aku meletakkannya tepat di bawah bantal dengan harapan bunyi yang keluar dari benda seharga 2 jutaan itu bisa teredam. Suatu hal yang terbukti sia-sia karena toh sekarang aku tetap terbangun karenanya. Segera kualihkan zona pencarian, tidak sia-sia, aku mendapati tanganku akhirnya memegang benda yang sedari tadi aku cari.

Tulisan 1 pesan diterima tertera di layar. Dengan sedikit enggan namun penasaran siapa yang sudah dengan konyolnya mengirim sms di pagi buta seperti ini, kutekan tombol baca. Sepersekian detik terasa jantungku berhenti berdetak, sel-sel di dalam tubuhku pun terasa lumpuh seketika, mataku hanya bisa terbelalak sedangkan mulutku menganga. Seandainya ada orang yang melihat ekspresiku saat itu, mungkin dia sudah beranggapan bahwa aku telah melihat sesosok makhluk halus atau sejenisnya. Segera setelah tersadar dari rasa shock, aku cari nama Kania di daftar kontak. Aku tidak peduli jika sahabat terbaikku sejak bertahun-tahun yang lalu itu akan menggantungku karena membangunkannya sepagi ini. Yang ada di pikiranku adalah aku harus segera menceritakan semua ini pada seseorang, kalau tidak mungkin aku akan menjadi gila.
***

‘Jadi sekarang dia ada di kota ini, di Surabaya?’ Tanya Kania dengan penekanan kalimat yang terkesan hiperbola pada kata terakhir. Aku mengangguk sebagai tanda pembenaran kalimatnya, entah itu merupakan sebuah kalimat pernyataan atau sekedar kalimat tanya. ‘Dan dia memintamu untuk menemuinya?’ Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk. Selama hampir seperempat jam, kami berdua sama-sama membisu, mematung di atas kursi masing-masing. Bahkan percakapan yang terjadi sesudahnya pun tidak lebih dari sekedar pengulangan kalimat-kalimat sebelumnya dengan sedikit penambahan atau pengurangan kata, ataupun perubahan struktur.

Semuanya memang sangat mengejutkan. Mengingatkanku pada kejadian di saat aku kecil dimana ayah secara tidak terduga membawa pulang bersamanya seekor anak kucing dan mengatakan pada seluruh anggota keluarga bahwa untuk selanjutnya makhluk kecil itu akan menjadi bagian hidup kami. Aku ingat dengan jelas saat itu ibuku, seorang yang sangat spontan, bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia hanya bisa terdiam dengan tatapan yang penuh dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin keadaannya sama persis dengan aku sekarang. Ada sejuta pertanyaan yang ingin aku lempar keluar tapi setiap kali aku ingin melontarkannya, setiap kali itu juga aku justru mendapati diriku menelan semua kata yang membentuk kalimat-kalimat tersebut.
‘Sebaiknya aku pulang sekarang.’ Ujarku akhirnya.
‘Jadi kau akan menemuinya?’
‘entahlah.’ Seiring dengan kata itu aku melangkahkan kaki menuju pintu pagar rumah Kania.
***

Lima menit menuju jam tiga, dan aku masih bermain dengan kelopak mataku. Sialan! Pria sialan! Tidak henti-henti aku mengutuk sosok itu. Sosok yang tiba-tiba hadir mengusikku setelah bertahun-tahun lamanya dia menghilang. Bagaikan hujan yang tiba-tiba datang ditengah teriknya matahari, yang dengan mudahnya mematahkan teori mengenai tanda-tanda datangnya hujan yang baru saja aku ajarkan pada murid-murid kelas 1 tadi pagi.
Bagiku, sosok itu sudah lama mati, terkubur oleh jutaan cerita yang kutulis selama 60 bulan kebelakang. Bahkan untuk mencari tanda-tanda eksistensinya pun terbilang hampir tidak mungkin, karena aku sudah melebur semuanya.
Sekarang, disaat aku semakin yakin bahwa dia tidak lebih dari tokoh imaginasi yang aku ciptakan di alam bawah sadarku, pesan singkat yang dia kirimkan dini hari kemarin seketika menamparku dengan kenyataan bahwa dia itu nyata. Senyata tulisan tangannya yang secara tiba-tiba aku ingat masih aku simpan di dalam kotak segi empat di salah satu rak lemariku.

Rasa mual menghampiriku. Seolah ada tangan yang mengaduk-aduk isi perutku dan berusaha menariknya keluar. Aku berusaha tetap waras. Pelan-pelan kubaca ulang isi pesan singkat itu, entah untuk keberapa kalinya, ‘Hai, apa kabar? Ini Bima. Sebulan kedepan aku ada di Surabaya. Bisa ketemu? Ada yang ingin aku bicarakan.’ Sepertinya Tuhan sedang mengajakku bercanda dengan menghadirkan kembali sosok Bima yang 24 jam yang lalu namanya mempunyai arti tidak lebih dari susunan 2 konsonan dan 2 huruf vokal itu. Oh Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Kudapati diriku mendesah, menghembuskan nafas panjang. Dan tepat di hembusan ketiga, tekadku bulat, kutekan tombol kirim.
***

Cuaca sedang bersahabat. Awan putih itu terlihat begitu cantik diantara birunya langit. Matahari tampak sedikit malu-malu untuk menumpahkan sinar dan teriknya ke bumi sehingga hawa sore ini pun tidak sepanas biasanya. Aku selalu menyukai cuaca seperti ini, mendung tapi tidak berarti hujan, persis seperti salah satu pepatah. Kuarahkan pandanganku ke salah satu bangunan diseberang jalan. Tampak lengang, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Mungkin karena ini memang salah satu restauran yang kurang populer di kalangan masyarakat yang sebagian besar bergaya hidup metropolitan ini.

Aku berjanji akan menemuinya disini, jam setengah 4 sore. Aku keluarkan HP dari kantung bajuku, jam 3 lebih 15 menit. Aku bukan tipe orang yang menyukai jam tangan sehingga setiap kali aku ingin mengecek waktu, aku terpaksa harus melihatnya di HP. Ada sedikit ragu, apakah sebaiknya aku batalkan semua kegilaan ini, tapi entah kekuatan dari mana yang justru akhirnya membuatku menjejakkan kaki ke tempat itu. Di sana, di salah satu kursi di pojok kanan restauran itu, aku melihatnya. Dia duduk membelakangi pintu dimana aku masuk.
Aku begitu mengenalnya, sehingga tidak butuh waktu lama bagiku untuk meyakini bahwa itu memang benar-benar dia.
Posturnya tetap sama, namun dia terlihat jauh lebih matang dari caranya berpakaian. Kami memang tidak muda lagi, sudah 5 tahun berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Kini kudapati diriku sedang mengumpulkan kekuatan dan nyali yang aku punya, menyambut apapun yang dia bawa dibalik sosoknya yang jangkung itu.
***

Kuamati kertas tebal persegi panjang yang sekarang tergeletak di atas kasurku. Kombinasi warna yang sangat cantik, ungu dan merah muda, dua warna kesukaanku. Suatu hari nanti, akupun akan menjadikan dua warna itu sebagai undangan pernikahanku. Namun suara lembut Kania membangunkanku dari lamunan.
‘kau akan datang?’ nada suaranya terkesan begitu hati-hati.
‘sepertinya begitu.’
‘kau yakin itu akan membuatmu merasa lebih baik?’ kali ini dengan penekanan sehingga terdengar sedikit lebih tegas.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk, berusaha meyakinkan sahabatku bahwa memang inilah yang sudah lama aku tunggu. Raut wajah Kania saat itu bisa aku baca dengan jelas. Tanpa dia katakan pun aku sudah tahu bahwa dia tidak mempercayaiku. Tapi inilah salah satu sifat Kania yang paling aku suka. Dia tidak pernah memaksakan apa yang dipikirkannya kepadaku. Dia selalu menghargai keputusan yang aku ambil. Dan saat akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku adalah suatu kesalahan, dia selalu disana untuk membesarkan hatiku.

Itulah percakapan singkatku dengan Kania tadi pagi. Terbesit pertanyaan, apakah memang ini yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku cukup kuat untuk melihat orang yang dulu begitu aku sayangi yang akhirnya harus kulepas menikah dengan orang lain? Namun aku tidak pernah mendapat jawaban yang pasti dari hatiku. Tapi aku tahu, aku ingin melihatnya. Aku ingin mengantarkannya ke kehidupan barunya dengan senyum sebagaimana dulu aku menyambutnya masuk ke dalam hidupku. Maka kuayunkan kakiku, sekilas kulirik pantulan sosokku dengan balutan gaun merah tua melalui cermin di salah satu tembok di gedung megah itu. Cukup anggun dan menimbulkan kesan bahwa aku pun ingin ikut merayakan hari besar ini. Hingar bingar dan suara wedding singer seketika menggetarkan gendang telingaku. Semakin jauh aku melangkah, semakin kuat getaran yang ditimbulkannya. Di saat jarak antara aku dan kedua sosok yang menjadi perhatian utama di pesta ini tak lebih dari sepuluh langkah, akupun menarik nafas sedalam-dalamnya.
***

Kusapukan pandangan ke seluruh pelataran parkir, mencoba mencari kendaraan dengan nomor seri L 545 WE. Di salah satu sudut tepat dibawah sebuah pohon yang sebagian besar daunnya hampir mengering itu, aku melihatnya. Dengan ringan aku melangkah. Pelataran itu sangat sepi, sungguh keadaan yang kontras dengan situasi di dalam gedung utama di kompleks tersebut. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas bunyi yang ditimbulkan oleh pertemuan antara hak sepatuku dengan lantai paving kering dibawahnya.

Untuk terakhir kalinya di hari itu, kuhirup dalam-dalam udara disekitarku. Udara kebebasan, begitu aku mendefinisikannya. Udara yang 5 tahun kebelakang sulit aku dapatkan.
Aku biarkan udara itu masuk memenuhi paru-paruku, untuk kemudian membiarkannya berenang menuju setiap muara sel dalam tubuh dan menjebol bendungan-bendungan kecil yang aku sebut beban.
Aku bisa merasakan sensasi yang luar biasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan hanya sebuah kumpulan kata verba ataupun nomina. Sensasi kemerdekaan. Begitu Kania kemudian menyebutnya.

Kupegang handle pintu berwarna hitam itu dan kemudian menariknya dengan kuat. Segera setelah pintu terbuka, kuhempaskan tubuh ke kursi kosong di bagian depan. Untuk beberapa detik otakku membeku, mematikan setiap aktivitas yang ada didalamnya. Dan saat otakku mulai berfungsi dengan normal, kuberanikan diri untuk melirik sosok yang sedang duduk disebelahku saat ini. Aku terkejut dan sedikit kikuk saat mendapati kedua bola matanya ternyata sedang mengarah tepat kepadaku. Kutarik otot-otot disekitar bibir membentuk segurat senyum yang tidak kalah misterius dengan tatapannya.

Di saat yang bersamaan, dalam hati aku bersyukur. Menyampaikan terima kasih kepada Tuhan atas pemberian berupa sosok yang satu ini. Berterima kasih atas kegigihan yang dianugerahkan-Nya pada sosok tersebut, sehingga menjadikan dia seorang yang telah berhasil melonggarkan ikatan-ikatan yang dulu aku anggap sebagai ikatan mati. Keheningan antara kami memaksaku membuka mulut. Namun tidak ada sepatah katapun yang tertangkap oleh daun telinga. Kami berdua tertawa, aku menertawakan ketololanku, dia menertawakan (mungkin) kekikukan kami berdua. Dan tepat saat itulah pandangan kami bertemu, menyadarkanku pada rasa yang dulu selalu tersamarkan oleh awan abu-abu, aku, Nitya Kinansih, menginginkan dia untuk tetap disana, mengimbangi langkah kecilku.

Satu kalimat yang keluar dari mulutnya akhirnya memecah kebisuan. ‘Jadi, kapan kita menikah?’ Tiba-tiba, tanggul yang sedari tadi aku pertahankan pun runtuh. Rasa bahagia, haru dan syukur menyeruak dan tumpah seiring dengan mengalirnya butir-butir air bening dari mataku. Bumiku yang dulu sempat terlempar dari porosnya, kini akhirnya bisa kembali berputar. Dari bibirku yang bergetar, aku mendengar diriku sendiri menjawab, ‘secepatnya’ menutup satu-satunya percakapan yang terjadi di antara kami sebelum akhirnya dia menghidupkan mesin mobil dan berlalu meninggalkan kebahagiaan dua anak manusia dibelakang, menuju kebahagiaan dua anak manusia yang lain.

TAMAT

Monday 16 May 2011

Those 'Little Monsters'!

A colleague of mine at school managed to take some class pictures the other day. We didn't have the sixth grade's as they were off at that time. So here are those adorable 'little monsters' I deal with from Monday to Friday, from 7 -12. They're cute, aren't they?
I love you, Little Monsters!



Sunday 15 May 2011

Dan Akhirnya ...

"When you finally decide to fly, the gravity is no longer important. It's just something that reminds you of the ground."

Untuk beberapa detik, dipandangnya buku diari berwarna coklat tua itu, diperhatikannya dengan seksama setiap guratan yang membentuk kata-kata pada setiap lembarnya. Seketika rasa itu nyata kembali, membawa senyum dibibirnya yang kemudian diikuti dengan bulir air mata. Tidak lama gadis itu terkekeh, menertawakan ketololan yang sepersekian detik sempat menguasainya. Diletakkannya buku diari tersebut, dan angannya pun melayang ke masa lalu. Menghadirkan kembali sosok yang dulu begitu akrab dengan hatinya, dengan setiap helaan nafasnya.

Si Mata Daun, begitu dia dulu memanggilnya. Sahabat terbaik saat mereka masih sama-sama mengemban tugas sebagai seorang mahasiswa. Seseorang yang begitu mengenal dan dikenalnya. Seorang kakak yang sudah dengan sangat baik menjaganya selama bertahun-tahun. Ada perasaan bahagia namun getir di saat yang bersamaan setiap kali dia mengenang sosok tersebut, perasaan yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh siapapun, tak terkecuali dirinya sendiri.

Banyak orang yang mengetahui kisah mereka berdua, namun tidak banyak yang tahu bagaimana perjuangan mereka untuk mempertahankan kisah tersebut diantara semua cemoohan, tangisan, kesakitan, amarah, penyesalan, kebingungan, dan beribu rasa lain yang menyelimuti mereka berdua saat itu. Tidak, tidak banyak yang tahu. Tapi biarlah dengan singkat aku coba kisahkan masa-masa itu, yang bisa aku simpulkan dalam 3 kata: cinta, keyakinan, dan pilihan.

Cinta. Tidak ada yang bisa memilih kapan, kepada siapa dan harus berakhir seperti apa cinta itu. Karena ketika cinta menyapa, yang bisa kau lakukan hanya merasakan. Begitu juga dengan gadis itu dan Mata Daunnya. Cinta yang tumbuh diantara mereka begitu sempurna sehingga sang waktu dan jarak pun tidak sanggup berkata apa-apa. Namun keduanya juga sadar akan satu hal yang akan menjadi ujian terbesar dalam kisah cinta mereka, keyakinan. mereka dilahirkan dari dua keluarga yang berbeda, tidak hanya bahasa, suku, tapi juga suatu hal yang sangat asasi yaitu keyakinan.

Awalnya semua terasa mudah ketika hanya sebuah TOLERANSI yang berperan. Akan tetapi, waktu membawa mereka berdua kepada suatu masa dimana pilihan adalah hal wajib yang harus dilibatkan.

Bagi Mata Daunnya, pilihan bukanlah hal yang sulit karena dia sudah menetapkan pilihannya, yaitu dia HANYA akan membawa si gadis kepelukan dunianya. Sebuah harga termahal yang harus dibayar oleh gadis tersebut. Sedangkan bagi si gadis, pilihan adalah hal yang paling membingungkan, memuakkan, sekaligus menakutkan, yang harus dia lakukan saat itu.

Kau tahu apa yang terjadi padanya pada masa-masa melelahkan itu? Jam berapa dia baru berhasil memejamkan matanya? Berapa sendok nasi yang bisa dilahapnya dan berapa yang dimuntahkannya? Berapa lama dia menguras air matanya setiap harinya? Aku tahu dan aku bertepuk tangan untuknya setiap kali aku mengingat semua itu. Bukan karena aku bahagia di atas penderitaanya, tapi karena penghargaanku pada sosoknya yang lembut namun menyimpan kekuatan dan ketabahan yang luar biasa.

Satu hal yang aku pahami dari keputusannya saat itu, bahwa betapa besar cintanya pada Mata Daunnya saat itu, tidak akan pernah sebesar cintanya pada kedua orang tuanya. Aku tahu orang mencemoohnya karena mereka PIKIR dia berniat menjadi seorang pengkhianat keyakinan, pengkhianat persaudaraan, dan pengkhianat pertemanan. Tapi mereka itu tidak lebih dari segelintir orang tolol yang tidak mengerti secuilpun perang batin yang sedang dialami gadis tersebut.
Mereka itu hanya sekumpulan orang dengan pemikiran dangkal namun dengan tingkat keegoisan paling dalam.
Mereka adalah orang-orang yang mementingkan rasa malu dan harga diri.

Biarkan aku mengatakan yang sebenarnya, bahwa dari awal gadis itu sudah tahu bagaimana kisah cintanya akan berakhir. Jadi tidak perlu cemoohan itu, karena pada akhirnya dia tetap akan memilih melepaskan Mata Daunnya. Hanya saja, dia menunggu waktu yang tepat, waktu dimana dia sudah cukup kuat untuk melihat semuanya hancur- di tangannya sendiri. Mereka para idiot tidak pernah tahu itu, tapi aku tahu. Oleh karena itu aku diam membisu membiarkan dia melawan dan memberontak. Karena sebenarnya yang sedang dia lakukan, hanyalah sedang mengumpulkan kekuatan.

Dan dia berhasil! Kau tahu betapa leganya aku saat melihat dia menangis selepas dia menghancurkan cinta Mata Daunnya itu? Tidak, bukan, yang sebenarnya terjadi adalah dia menghancurkan cinta yang tidak pernah ada, dengan harapan Mata Daunnya akan mendapat cinta yang nyata, yang tidak pernah bisa diberikan olehnya. Jangan berpikir dia bahagia, karena kejadian ini justru adalah hal yang paling menyakitkan yang harus dia lewati. Dan sampai saat ini pun aku tahu, dia masih menyimpan rasa itu. Rasa cinta, kasih dan sayang yang paling tulus yang pernah dia miliki.

Sunday, I Love You!

BUT...
Sunday, 15 May 2011
"Because I have to go to school!"

Hey!
NO BODY wants to go to school on Sunday
Rite???
NOT even a TEACHER like me
Nothing I can do though ...

Oh I so envy you, guys!!!
What are you gonna do today?
WHAT?? Sleeping?
How interesting!
You??
Reading?? Oh no I can't help it!
STOP!

I'm going to drink a cup of coffee,
then taking a deep bath as I didn't take any yesterday!
Oh YES, I can be disgusting sometimes!
And getting ready for SUNDAY SCHOOL

Happy Sunday, dear fellas! xoxoxo

Friday 6 May 2011

Hiya I've just finished doing the last editting on our school bulletin, the second edition. Thank God! Now I can start constructing this English test for the final examination. Gonna be a very busy May! So I guess I'm not gonna be blogging for a while. Gonna miss you a lot my online diary!!! xxx


Sunday 29 May 2011

Finally!

I managed to make this :) It's been years I have wanted to learn how to do it but no one seemed to give a hand and I didn't seem to have time to learn by myself from the tutorial either. I thank my cousin, Ekik for showing me how to the other day! It's so kind of you. Loveee it xx

Sunday 22 May 2011

Photoshop Rocks!


I love this picture. It brings out something about me which I can't describe. It's just different!



What makes this picture cute is that bandana I am wearing. I like my make up too.



This one is my favourite. They kind of represent who I really am :)

Saturday 21 May 2011

Aku Jatuh Cinta


indeed ....

first you get in, you'll scream inside your head!

but .....

the more you understand their tiny little worlds

the more you're gonna love them

seriously, KIDS are the most amazing creature on earth!

Thursday 19 May 2011

Tanpa Judul

Kulirik sekali lagi jam dinding yang tergantung tepat diatasku, jam 1 lebih 42 menit. Sialan! batinku. Bahkan ketika sudah jauh melewati tengah malam pun mataku belum juga bisa terpejam. Sekali lagi kuurutkan kejadian pagi ini yang secara tidak langsung telah menjadi sumber insomniaku kali ini. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari ketika tiba-tiba nada pesan singkat di telepon selularku berbunyi. Dengan perasaan kesal karena harus terbangun dari tidur panjang dan pulas, aku meraba-raba sekitar tempat tidur berusaha menemukan benda kecil berwarna merah itu. Tidak begitu lama baru aku teringat bahwa tadi malam aku meletakkannya tepat di bawah bantal dengan harapan bunyi yang keluar dari benda seharga 2 jutaan itu bisa teredam. Suatu hal yang terbukti sia-sia karena toh sekarang aku tetap terbangun karenanya. Segera kualihkan zona pencarian, tidak sia-sia, aku mendapati tanganku akhirnya memegang benda yang sedari tadi aku cari.

Tulisan 1 pesan diterima tertera di layar. Dengan sedikit enggan namun penasaran siapa yang sudah dengan konyolnya mengirim sms di pagi buta seperti ini, kutekan tombol baca. Sepersekian detik terasa jantungku berhenti berdetak, sel-sel di dalam tubuhku pun terasa lumpuh seketika, mataku hanya bisa terbelalak sedangkan mulutku menganga. Seandainya ada orang yang melihat ekspresiku saat itu, mungkin dia sudah beranggapan bahwa aku telah melihat sesosok makhluk halus atau sejenisnya. Segera setelah tersadar dari rasa shock, aku cari nama Kania di daftar kontak. Aku tidak peduli jika sahabat terbaikku sejak bertahun-tahun yang lalu itu akan menggantungku karena membangunkannya sepagi ini. Yang ada di pikiranku adalah aku harus segera menceritakan semua ini pada seseorang, kalau tidak mungkin aku akan menjadi gila.
***

‘Jadi sekarang dia ada di kota ini, di Surabaya?’ Tanya Kania dengan penekanan kalimat yang terkesan hiperbola pada kata terakhir. Aku mengangguk sebagai tanda pembenaran kalimatnya, entah itu merupakan sebuah kalimat pernyataan atau sekedar kalimat tanya. ‘Dan dia memintamu untuk menemuinya?’ Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk. Selama hampir seperempat jam, kami berdua sama-sama membisu, mematung di atas kursi masing-masing. Bahkan percakapan yang terjadi sesudahnya pun tidak lebih dari sekedar pengulangan kalimat-kalimat sebelumnya dengan sedikit penambahan atau pengurangan kata, ataupun perubahan struktur.

Semuanya memang sangat mengejutkan. Mengingatkanku pada kejadian di saat aku kecil dimana ayah secara tidak terduga membawa pulang bersamanya seekor anak kucing dan mengatakan pada seluruh anggota keluarga bahwa untuk selanjutnya makhluk kecil itu akan menjadi bagian hidup kami. Aku ingat dengan jelas saat itu ibuku, seorang yang sangat spontan, bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia hanya bisa terdiam dengan tatapan yang penuh dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin keadaannya sama persis dengan aku sekarang. Ada sejuta pertanyaan yang ingin aku lempar keluar tapi setiap kali aku ingin melontarkannya, setiap kali itu juga aku justru mendapati diriku menelan semua kata yang membentuk kalimat-kalimat tersebut.
‘Sebaiknya aku pulang sekarang.’ Ujarku akhirnya.
‘Jadi kau akan menemuinya?’
‘entahlah.’ Seiring dengan kata itu aku melangkahkan kaki menuju pintu pagar rumah Kania.
***

Lima menit menuju jam tiga, dan aku masih bermain dengan kelopak mataku. Sialan! Pria sialan! Tidak henti-henti aku mengutuk sosok itu. Sosok yang tiba-tiba hadir mengusikku setelah bertahun-tahun lamanya dia menghilang. Bagaikan hujan yang tiba-tiba datang ditengah teriknya matahari, yang dengan mudahnya mematahkan teori mengenai tanda-tanda datangnya hujan yang baru saja aku ajarkan pada murid-murid kelas 1 tadi pagi.
Bagiku, sosok itu sudah lama mati, terkubur oleh jutaan cerita yang kutulis selama 60 bulan kebelakang. Bahkan untuk mencari tanda-tanda eksistensinya pun terbilang hampir tidak mungkin, karena aku sudah melebur semuanya.
Sekarang, disaat aku semakin yakin bahwa dia tidak lebih dari tokoh imaginasi yang aku ciptakan di alam bawah sadarku, pesan singkat yang dia kirimkan dini hari kemarin seketika menamparku dengan kenyataan bahwa dia itu nyata. Senyata tulisan tangannya yang secara tiba-tiba aku ingat masih aku simpan di dalam kotak segi empat di salah satu rak lemariku.

Rasa mual menghampiriku. Seolah ada tangan yang mengaduk-aduk isi perutku dan berusaha menariknya keluar. Aku berusaha tetap waras. Pelan-pelan kubaca ulang isi pesan singkat itu, entah untuk keberapa kalinya, ‘Hai, apa kabar? Ini Bima. Sebulan kedepan aku ada di Surabaya. Bisa ketemu? Ada yang ingin aku bicarakan.’ Sepertinya Tuhan sedang mengajakku bercanda dengan menghadirkan kembali sosok Bima yang 24 jam yang lalu namanya mempunyai arti tidak lebih dari susunan 2 konsonan dan 2 huruf vokal itu. Oh Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Kudapati diriku mendesah, menghembuskan nafas panjang. Dan tepat di hembusan ketiga, tekadku bulat, kutekan tombol kirim.
***

Cuaca sedang bersahabat. Awan putih itu terlihat begitu cantik diantara birunya langit. Matahari tampak sedikit malu-malu untuk menumpahkan sinar dan teriknya ke bumi sehingga hawa sore ini pun tidak sepanas biasanya. Aku selalu menyukai cuaca seperti ini, mendung tapi tidak berarti hujan, persis seperti salah satu pepatah. Kuarahkan pandanganku ke salah satu bangunan diseberang jalan. Tampak lengang, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Mungkin karena ini memang salah satu restauran yang kurang populer di kalangan masyarakat yang sebagian besar bergaya hidup metropolitan ini.

Aku berjanji akan menemuinya disini, jam setengah 4 sore. Aku keluarkan HP dari kantung bajuku, jam 3 lebih 15 menit. Aku bukan tipe orang yang menyukai jam tangan sehingga setiap kali aku ingin mengecek waktu, aku terpaksa harus melihatnya di HP. Ada sedikit ragu, apakah sebaiknya aku batalkan semua kegilaan ini, tapi entah kekuatan dari mana yang justru akhirnya membuatku menjejakkan kaki ke tempat itu. Di sana, di salah satu kursi di pojok kanan restauran itu, aku melihatnya. Dia duduk membelakangi pintu dimana aku masuk.
Aku begitu mengenalnya, sehingga tidak butuh waktu lama bagiku untuk meyakini bahwa itu memang benar-benar dia.
Posturnya tetap sama, namun dia terlihat jauh lebih matang dari caranya berpakaian. Kami memang tidak muda lagi, sudah 5 tahun berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Kini kudapati diriku sedang mengumpulkan kekuatan dan nyali yang aku punya, menyambut apapun yang dia bawa dibalik sosoknya yang jangkung itu.
***

Kuamati kertas tebal persegi panjang yang sekarang tergeletak di atas kasurku. Kombinasi warna yang sangat cantik, ungu dan merah muda, dua warna kesukaanku. Suatu hari nanti, akupun akan menjadikan dua warna itu sebagai undangan pernikahanku. Namun suara lembut Kania membangunkanku dari lamunan.
‘kau akan datang?’ nada suaranya terkesan begitu hati-hati.
‘sepertinya begitu.’
‘kau yakin itu akan membuatmu merasa lebih baik?’ kali ini dengan penekanan sehingga terdengar sedikit lebih tegas.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk, berusaha meyakinkan sahabatku bahwa memang inilah yang sudah lama aku tunggu. Raut wajah Kania saat itu bisa aku baca dengan jelas. Tanpa dia katakan pun aku sudah tahu bahwa dia tidak mempercayaiku. Tapi inilah salah satu sifat Kania yang paling aku suka. Dia tidak pernah memaksakan apa yang dipikirkannya kepadaku. Dia selalu menghargai keputusan yang aku ambil. Dan saat akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku adalah suatu kesalahan, dia selalu disana untuk membesarkan hatiku.

Itulah percakapan singkatku dengan Kania tadi pagi. Terbesit pertanyaan, apakah memang ini yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku cukup kuat untuk melihat orang yang dulu begitu aku sayangi yang akhirnya harus kulepas menikah dengan orang lain? Namun aku tidak pernah mendapat jawaban yang pasti dari hatiku. Tapi aku tahu, aku ingin melihatnya. Aku ingin mengantarkannya ke kehidupan barunya dengan senyum sebagaimana dulu aku menyambutnya masuk ke dalam hidupku. Maka kuayunkan kakiku, sekilas kulirik pantulan sosokku dengan balutan gaun merah tua melalui cermin di salah satu tembok di gedung megah itu. Cukup anggun dan menimbulkan kesan bahwa aku pun ingin ikut merayakan hari besar ini. Hingar bingar dan suara wedding singer seketika menggetarkan gendang telingaku. Semakin jauh aku melangkah, semakin kuat getaran yang ditimbulkannya. Di saat jarak antara aku dan kedua sosok yang menjadi perhatian utama di pesta ini tak lebih dari sepuluh langkah, akupun menarik nafas sedalam-dalamnya.
***

Kusapukan pandangan ke seluruh pelataran parkir, mencoba mencari kendaraan dengan nomor seri L 545 WE. Di salah satu sudut tepat dibawah sebuah pohon yang sebagian besar daunnya hampir mengering itu, aku melihatnya. Dengan ringan aku melangkah. Pelataran itu sangat sepi, sungguh keadaan yang kontras dengan situasi di dalam gedung utama di kompleks tersebut. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas bunyi yang ditimbulkan oleh pertemuan antara hak sepatuku dengan lantai paving kering dibawahnya.

Untuk terakhir kalinya di hari itu, kuhirup dalam-dalam udara disekitarku. Udara kebebasan, begitu aku mendefinisikannya. Udara yang 5 tahun kebelakang sulit aku dapatkan.
Aku biarkan udara itu masuk memenuhi paru-paruku, untuk kemudian membiarkannya berenang menuju setiap muara sel dalam tubuh dan menjebol bendungan-bendungan kecil yang aku sebut beban.
Aku bisa merasakan sensasi yang luar biasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan hanya sebuah kumpulan kata verba ataupun nomina. Sensasi kemerdekaan. Begitu Kania kemudian menyebutnya.

Kupegang handle pintu berwarna hitam itu dan kemudian menariknya dengan kuat. Segera setelah pintu terbuka, kuhempaskan tubuh ke kursi kosong di bagian depan. Untuk beberapa detik otakku membeku, mematikan setiap aktivitas yang ada didalamnya. Dan saat otakku mulai berfungsi dengan normal, kuberanikan diri untuk melirik sosok yang sedang duduk disebelahku saat ini. Aku terkejut dan sedikit kikuk saat mendapati kedua bola matanya ternyata sedang mengarah tepat kepadaku. Kutarik otot-otot disekitar bibir membentuk segurat senyum yang tidak kalah misterius dengan tatapannya.

Di saat yang bersamaan, dalam hati aku bersyukur. Menyampaikan terima kasih kepada Tuhan atas pemberian berupa sosok yang satu ini. Berterima kasih atas kegigihan yang dianugerahkan-Nya pada sosok tersebut, sehingga menjadikan dia seorang yang telah berhasil melonggarkan ikatan-ikatan yang dulu aku anggap sebagai ikatan mati. Keheningan antara kami memaksaku membuka mulut. Namun tidak ada sepatah katapun yang tertangkap oleh daun telinga. Kami berdua tertawa, aku menertawakan ketololanku, dia menertawakan (mungkin) kekikukan kami berdua. Dan tepat saat itulah pandangan kami bertemu, menyadarkanku pada rasa yang dulu selalu tersamarkan oleh awan abu-abu, aku, Nitya Kinansih, menginginkan dia untuk tetap disana, mengimbangi langkah kecilku.

Satu kalimat yang keluar dari mulutnya akhirnya memecah kebisuan. ‘Jadi, kapan kita menikah?’ Tiba-tiba, tanggul yang sedari tadi aku pertahankan pun runtuh. Rasa bahagia, haru dan syukur menyeruak dan tumpah seiring dengan mengalirnya butir-butir air bening dari mataku. Bumiku yang dulu sempat terlempar dari porosnya, kini akhirnya bisa kembali berputar. Dari bibirku yang bergetar, aku mendengar diriku sendiri menjawab, ‘secepatnya’ menutup satu-satunya percakapan yang terjadi di antara kami sebelum akhirnya dia menghidupkan mesin mobil dan berlalu meninggalkan kebahagiaan dua anak manusia dibelakang, menuju kebahagiaan dua anak manusia yang lain.

TAMAT

Monday 16 May 2011

Those 'Little Monsters'!

A colleague of mine at school managed to take some class pictures the other day. We didn't have the sixth grade's as they were off at that time. So here are those adorable 'little monsters' I deal with from Monday to Friday, from 7 -12. They're cute, aren't they?
I love you, Little Monsters!



Sunday 15 May 2011

Dan Akhirnya ...

"When you finally decide to fly, the gravity is no longer important. It's just something that reminds you of the ground."

Untuk beberapa detik, dipandangnya buku diari berwarna coklat tua itu, diperhatikannya dengan seksama setiap guratan yang membentuk kata-kata pada setiap lembarnya. Seketika rasa itu nyata kembali, membawa senyum dibibirnya yang kemudian diikuti dengan bulir air mata. Tidak lama gadis itu terkekeh, menertawakan ketololan yang sepersekian detik sempat menguasainya. Diletakkannya buku diari tersebut, dan angannya pun melayang ke masa lalu. Menghadirkan kembali sosok yang dulu begitu akrab dengan hatinya, dengan setiap helaan nafasnya.

Si Mata Daun, begitu dia dulu memanggilnya. Sahabat terbaik saat mereka masih sama-sama mengemban tugas sebagai seorang mahasiswa. Seseorang yang begitu mengenal dan dikenalnya. Seorang kakak yang sudah dengan sangat baik menjaganya selama bertahun-tahun. Ada perasaan bahagia namun getir di saat yang bersamaan setiap kali dia mengenang sosok tersebut, perasaan yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh siapapun, tak terkecuali dirinya sendiri.

Banyak orang yang mengetahui kisah mereka berdua, namun tidak banyak yang tahu bagaimana perjuangan mereka untuk mempertahankan kisah tersebut diantara semua cemoohan, tangisan, kesakitan, amarah, penyesalan, kebingungan, dan beribu rasa lain yang menyelimuti mereka berdua saat itu. Tidak, tidak banyak yang tahu. Tapi biarlah dengan singkat aku coba kisahkan masa-masa itu, yang bisa aku simpulkan dalam 3 kata: cinta, keyakinan, dan pilihan.

Cinta. Tidak ada yang bisa memilih kapan, kepada siapa dan harus berakhir seperti apa cinta itu. Karena ketika cinta menyapa, yang bisa kau lakukan hanya merasakan. Begitu juga dengan gadis itu dan Mata Daunnya. Cinta yang tumbuh diantara mereka begitu sempurna sehingga sang waktu dan jarak pun tidak sanggup berkata apa-apa. Namun keduanya juga sadar akan satu hal yang akan menjadi ujian terbesar dalam kisah cinta mereka, keyakinan. mereka dilahirkan dari dua keluarga yang berbeda, tidak hanya bahasa, suku, tapi juga suatu hal yang sangat asasi yaitu keyakinan.

Awalnya semua terasa mudah ketika hanya sebuah TOLERANSI yang berperan. Akan tetapi, waktu membawa mereka berdua kepada suatu masa dimana pilihan adalah hal wajib yang harus dilibatkan.

Bagi Mata Daunnya, pilihan bukanlah hal yang sulit karena dia sudah menetapkan pilihannya, yaitu dia HANYA akan membawa si gadis kepelukan dunianya. Sebuah harga termahal yang harus dibayar oleh gadis tersebut. Sedangkan bagi si gadis, pilihan adalah hal yang paling membingungkan, memuakkan, sekaligus menakutkan, yang harus dia lakukan saat itu.

Kau tahu apa yang terjadi padanya pada masa-masa melelahkan itu? Jam berapa dia baru berhasil memejamkan matanya? Berapa sendok nasi yang bisa dilahapnya dan berapa yang dimuntahkannya? Berapa lama dia menguras air matanya setiap harinya? Aku tahu dan aku bertepuk tangan untuknya setiap kali aku mengingat semua itu. Bukan karena aku bahagia di atas penderitaanya, tapi karena penghargaanku pada sosoknya yang lembut namun menyimpan kekuatan dan ketabahan yang luar biasa.

Satu hal yang aku pahami dari keputusannya saat itu, bahwa betapa besar cintanya pada Mata Daunnya saat itu, tidak akan pernah sebesar cintanya pada kedua orang tuanya. Aku tahu orang mencemoohnya karena mereka PIKIR dia berniat menjadi seorang pengkhianat keyakinan, pengkhianat persaudaraan, dan pengkhianat pertemanan. Tapi mereka itu tidak lebih dari segelintir orang tolol yang tidak mengerti secuilpun perang batin yang sedang dialami gadis tersebut.
Mereka itu hanya sekumpulan orang dengan pemikiran dangkal namun dengan tingkat keegoisan paling dalam.
Mereka adalah orang-orang yang mementingkan rasa malu dan harga diri.

Biarkan aku mengatakan yang sebenarnya, bahwa dari awal gadis itu sudah tahu bagaimana kisah cintanya akan berakhir. Jadi tidak perlu cemoohan itu, karena pada akhirnya dia tetap akan memilih melepaskan Mata Daunnya. Hanya saja, dia menunggu waktu yang tepat, waktu dimana dia sudah cukup kuat untuk melihat semuanya hancur- di tangannya sendiri. Mereka para idiot tidak pernah tahu itu, tapi aku tahu. Oleh karena itu aku diam membisu membiarkan dia melawan dan memberontak. Karena sebenarnya yang sedang dia lakukan, hanyalah sedang mengumpulkan kekuatan.

Dan dia berhasil! Kau tahu betapa leganya aku saat melihat dia menangis selepas dia menghancurkan cinta Mata Daunnya itu? Tidak, bukan, yang sebenarnya terjadi adalah dia menghancurkan cinta yang tidak pernah ada, dengan harapan Mata Daunnya akan mendapat cinta yang nyata, yang tidak pernah bisa diberikan olehnya. Jangan berpikir dia bahagia, karena kejadian ini justru adalah hal yang paling menyakitkan yang harus dia lewati. Dan sampai saat ini pun aku tahu, dia masih menyimpan rasa itu. Rasa cinta, kasih dan sayang yang paling tulus yang pernah dia miliki.

Sunday, I Love You!

BUT...
Sunday, 15 May 2011
"Because I have to go to school!"

Hey!
NO BODY wants to go to school on Sunday
Rite???
NOT even a TEACHER like me
Nothing I can do though ...

Oh I so envy you, guys!!!
What are you gonna do today?
WHAT?? Sleeping?
How interesting!
You??
Reading?? Oh no I can't help it!
STOP!

I'm going to drink a cup of coffee,
then taking a deep bath as I didn't take any yesterday!
Oh YES, I can be disgusting sometimes!
And getting ready for SUNDAY SCHOOL

Happy Sunday, dear fellas! xoxoxo

Friday 6 May 2011

Hiya I've just finished doing the last editting on our school bulletin, the second edition. Thank God! Now I can start constructing this English test for the final examination. Gonna be a very busy May! So I guess I'm not gonna be blogging for a while. Gonna miss you a lot my online diary!!! xxx