Saturday 24 September 2011

Ijinkan Kutembak Kau


Kamu pasti datang dari jaman Orde Baru kalau masih perlu waktu untuk mikir saat mendengar kata Vierra. Atau mungkin kamu bukan golongan ‘anak gaul masa kini’. I mean, ibuku yang kelahiran  1959 saja tahu siapa itu Vierra, kalau ternyata kamu tidak, bisa simpulkan sendiri kan kamu termasuk jenis yang mana. Well, tapi bukan band bentukan putra dari hasil kawin silang antara komposer handal Addie MS dan penyanyi Memes ini yang mau aku bicarakan. Aku cuma ingin mengaitkannya dengan salah satu lagu mereka yang dinyanyikan dengan sangat manis oleh sang vokalis, Widi. Salah satu baris liriknya berkata seperti ini, “Hari ini ku akan menyatakan cinta.” Sounds familiar? Dan entah karena ‘kepincut’ dengan liriknya, nadanya, atau justru konsep videonya, tiba-tiba ada dorongan kuat yang seolah memintaku untuk segera lari ke depan pintu rumah si dia dan saat dia membuka pintunya, aku akan dengan percaya diri bilang, “Aku suka kamu!” atau kalau meminjam istilah populernya yaitu ‘nembak’. Sayang aku tidak tahu alamat si dia selain email dan beberapa social networking-nya. Meringis.

Lagu dengan judul Terlalu Lama yang terkesan anggun namun sekaligus jantan ini sepertinya cukup bagus untuk dijadikan salah satu motivasi buat para cewek untuk bernyali dalam melakukan first move. Liriknya membuat semua hal yang sebelumnya terasa tabu dan memalukan menjadi begitu benar dan gamblang. Memang ini bukan termasuk hal baru lagi di era Kabinet Indonesia Bersatu ini. Banyak orang memandang bahwa cewek mengungkapkan perasaannya ke cowok adalah hal yang sudah sangat lazim. Tapi ngaku deh, para cewek, tetap saja kita merasa terintimidasi dengan ide tersebut. Entah sudah semodern apa kebudayaan kita atau sejauh mana emansipasi wanita diterapkan, tetap tidak bisa semudah itu menyatakan cinta pada cowok yang kita taksir. Setuju? Sekali lagi, easier said than done. Manggut-manggut.

Banyak sih faktor yang mempengaruhi selain pola pikir yang masih terlalu kental dengan kebudayaan masyarakat timur. Salah satunya mungkin adalah gengsi. Bagi aku pribadi, cewek itu terlihat anggun saat gengsinya menjadi prioritas. Kamu boleh tidak setuju, karena ini memang sebatas teori asal bukan hasil penelitian. Tidak selalu berujung manis memegang prinsip seperti ini, ada kalanya kamu akan menyesali sesuatu dan mengutuk habis-habisan gengsimu yang terlalu tinggi. Tapi percaya atau tidak, justru itulah yang menjadikanmu dirimu yang sekarang.  Tidak terkecuali dalam urusan cinta, yang namanya gengsi pasti ikut ambil suara. Terlebih saat kamu memutuskan untuk menyatakannya. Yang terlintas di otak cewek saat pertama kali mendengar kata ‘nembak’ pasti, "Gengsi ah! Seharusnya cowok yang ngomong duluan. Bagaimana kalau nanti aku ditolak? Mau ditaruh dimana nih muka?" Aku setuju 200 persen dengan pikiran semacam ini, karena memang bukan kodrat kita untuk ditolak. Pernah dengar ungkapan bahasa Jawa, ‘cowok menang milih, cewek menang nolak’? Nah itu tuh yang membuat kita jadi maju mundur saat mau bilang cinta. Manggut-manggut lagi.

Tapi dalam situasi tertentu, selalu ada pengecualian. Setinggi apapun gengsi seorang cewek, saat dia sudah memutuskan untuk melakukan ‘penembakan’, bukan berarti dia sudah kehilangan gengsinya. Jangan salah sangka, justru itu tindakan paling cerdas yang dilakukan olehnya. Tidak mudah bagi tipe cewek  seperti ini untuk mengungkapkan perasaan, jadi saat dia rela mengesampingkan sejenak prioritasnya tersebut demi seseorang, bisa dibayangkan dong sehebat apa cowok tersebut? Yang jelas jauh lebih berharga dari sekedar ‘mubazir kalau tidak dicoba’. Lantas, apa tujuan sebenarnya? 

It goes like this. Perasaan yang dipendam itu selain bisa menimbulkan jerawat (ini kata orang-orang, aku sih tidak percaya), juga sangat mengganggu ketenangan hidup lho. Bagaimana hidup bisa tenang kalau ada seseorang di luar sana yang eksistensinya secara konstan membuat emosimu jungkir balik, kadang senang kadang sedih, kadang khawatir kadang marah, dan ‘kadang’ yang lainnya. Seolah kamu tidak punya lagi kontrol pada dirimu sendiri. Yang menjengkelkan adalah kita tidak bisa menyalahkan si dia untuk ini, karena memang dia melakukannya secara tidak sengaja. Bagaimana mau sengaja, dia bahkan tidak tahu perasaan kamu padanya?

Akan tetapi, yang paling menyebalkan saat seorang cewek menyukai cowok dengan diam-diam adalah kita akan secara otomatis merasa ‘tergantung’ olehnya. Analoginya seperti ini. Anggap cowok itu seperti sepasang sepatu. Tidak ada maksud tertentu, ini hanya sebatas own preference. Kita seperti berdiri di depan sebuah toko sepatu dan terus menatap sepasang sepatu cantik yang terpajang di etalasenya tanpa benar-benar berniat membelinya. Kita tidak akan tahu bahwa ada sepatu sejenis yang mungkin di jual di toko lain, atau paling tidak sepatu yang tidak kalah cantiknya. Jadi tidak ada salahnya bukan kalau cewek tertentu memilih masuk ke dalam toko tersebut dan menanyakan harganya? Kalau ternyata dijual dengan harga yang terjangkau, bersukur saja karena berarti kita bisa membelinya dan segera membawanya pulang. Sebaliknya, kalau ternyata sepatu itu terlalu mahal, atau mungkin sudah terjual pada pelanggan lain, paling tidak kita bisa meninggalkan toko tersebut tanpa ada rasa penasaran dan siapa tahu dalam perjalanan pulang nanti kita melintasi toko lain yang mempunyai sepatu yang justru lebih cantik. Kemungkinan itu selalu ada lho.

Jadi buat para cewek, tidak usah ragu untuk mengungkapkan perasaan. Kamu tidak akan rugi apa-apa kok. Justru saat memendam perasaan itu lah kamu akan rugi, rugi waktu dan juga emosi. Pada akhirmya kembali pada hukum alam, kalau tidak ditembak, ya nembak. Bukan begitu? Akhir kata, “Selamat ‘nembak’ ya?!” Senyum manis.

Tuesday 20 September 2011

Camouflage

Erangan mesin itu lenyap seiring dengan berputarnya posisi kontak yang aku gapit di antara ibu jari dan telunjuk, begitu pula dengan bunyi knalpot. Tidak lebih dari tiga detik, seolah sudah menanti untuk ditemukan, suara Adam Levine yang seksi tiba-tiba menyeruak dari keheningan dan terbendung oleh gendang telingaku. Well hal ini bisa bermakna ambigu, apakah memang ‘suara’ si Adam yang seksi ataukah justru ‘si Adam’ itu sendiri. Namun kalau pembicaraan ini mengarah pada vokalis Maroon 5 tersebut, berarti keduanya sama benar. Sejak kemunculannya di hingar bingar industri musik sepuluh tahun silam, pentolan grup band asal negeri Paman Sam itu telah berhasil menancapkan patokan akan sosok lelaki idaman di otakku. Entah karena sensasi luar biasa yang acap kali aku rasa sewaktu menikmati desahan suaranya melalui lagu-lagunya yang hampir setiap hari aku putar, atau tersihir oleh aksi panggung yang hampir selalu dengan bertelanjang dada, menonjolkan otot-otot yang semakin memantapkan kejantanannya, bagiku lelaki harusnya seperti itu. Garang dan seksi di saat yang sama.

Kurogoh isi perut tas coklat tua yang sedari tadi bergelayut manis pada pundak kiriku. Benda mungil tersebut aku dapatkan beberapa bulan sebelumnya dari seorang teman akrab sebagai kado ulang tahun yang ke-33. Sebuah hadiah yang aku tahu jelas tidak murah karena setiap wanita dewasa sudah pasti mampu menaksir jumlah digit yang dibandrol oleh jenis merk tertentu, hanya untuk sebuah tas. Fenomena yang sudah sangat merakyat di era dimana tas sudah bukan lagi suatu alat, melainkan gaya hidup. Tas yang ide awalnya diciptakan untuk menampung barang-barang pribadi, sekarang seolah mengingkari takdirnya. Mereka lebih senang dipanggil sebagai fashion item. Ah betapa lucunya penyakit ‘gaya hidup’ ini! Manusia dibuat keblinger olehnya. Yang dulu hanya perlu satu, sekarang lima bahkan masih kurang.

Jari-jemariku tidak membutuhkan waktu lama untuk mendeteksi keberadaan benda elektronik super canggih sumber dari bunyi tersebut. Dia terpojok di salah satu sudut diantara onggokan kertas, pena, pensil, dompet dan benda-benda lain yang bahkan aku sendiri tidak ingat membawanya. Kuangkat benda itu, memisahkannya dari kelompok yang seolah sudah berkomplot menyesaknya. Namun mataku hanya mampu mempertahankan rasa penasaran untuk sepersekian detik, seterusnya yang aku rasa hanya jengah. Sekali lagi aku paksakan membaca nama yang muncul di layar, sedikit kaget aku mendengar diriku sendiri kali ini mendesah. Akhirnya dengan sedikit enggan, kudekatkan benda berwarna hitam itu ke kuping kananku,

“Halo. Tumben? Jangan katakan kau akan memaksaku datang ke acara ‘beauty seminar’ seperti terakhir kali kau menelponku” Sambungku dalam hati.
“Dapat bonus pulsa, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Aku ingin bicara denganmu, sudah lama aku tidak mendengar ocehan merdumu itu.”
Bukankah setiap hari kau mendengar ocehan itu dari radio? Di program Breakfast and Sun Shine yang aku pandu selama dua jam penuh? Belum sempat aku memprotes pilihan katanya, dia sudah mulai memberondongku lagi,
 “Tahu tidak, salah satu kenikmatan menjadi wanita itu adalah kita bisa bebas berbicara dengan sesama jenis selama berjam-jam dimana saja, baik di telpon atau bahkan sambil duduk berdua di salah satu pojok cafĂ© di pinggiran kota, tanpa pernah takut dicap mengidap gender identity disorder. “
“Apa maksudmu?”
“Coba bayangkan. Dua pria saling menelpon, atau mungkin duduk bersama di sebuah bangku di taman dan saling mengumbar senyum ataupun tawa, bukankah hal itu akan menimbulkan kecurigaan? Ada semacam hubungan terselubung, yang kalau ternyata benar, sudah pasti memunculkan fakta bahwa salah satu dari mereka pasti mengidap sexual disorder tadi. Sedangkan wanita, bukankah sudah kodratnya semua wanita itu suka bicara?”
“Sepanjang yang aku ingat, kau lah wanita yang mempunyai kelebihan paling luar biasa secara verbal. Ada apa sebenarnya? Baru membaca sebuah artikel di majalah dan mencari teman untuk berdiskusi? Maaf aku tidak ada waktu” Ujarku seiring melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Apa itu caramu mengatakan bahwa kau sedang mencurigaiku?” nada bicara lawan bicaraku berubah menjadi ketus.
Kuhela nafas panjang, membayangkan wajah orang di ujung sambungan ini yang seketika berubah masam. Kedua matanya dipicingkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengalah, “Tidak, yang itu tadi murni kalimat tanya. Jadi, ada kabar apa?”
Seketika moodnya buncah, nada bicara menjadi ringan dan antusiasme pun mengembang, “Sudah dapat undangan belum? Cinta monyetmu saat sekolah menengah akan mengakhiri masa berburu, dan memutuskan untuk memelihara seekor burung cendrawasih yang tidak hanya rupawan tapi juga dibelinya dari keluarga baik-baik dan berada.”
“Mm… Kabar yang bagus, tapi sepertinya tidak cukup menarik untuk membuatmu menelponku. Bukan begitu?” Bukan tentang hal itu lagi, kumohon.
“Resepsinya minggu depan, sepertinya aku tidak bisa datang.” Nada bicaranya berubah datar, tapi cepat-cepat disambungnya lagi, “Oh iya, si Merry, sepupuku, teman kita SD dulu, ingat? Dia juga segera diminta menjadi pendamping hidup seseorang. Belum tahu kapan tepatnya, tapi sepertinya dalam 2 atau 3 bulan kedepan.”
Ada jeda agak lama yang terasa begitu canggung antara kata terakhirnya dengan kata pertamaku, “Kamu mau berubah menjadi pribadi yang oportunis sekarang? Mencoba mencari manfaat dari semua detail bahkan yang paling tidak signifikan sekalipun?” Sudah aku duga sejak mataku mengeja namanya di layar iPhone tadi, pasti tentang hal itu.
“Ayolah, sudah saatnya, Julia. Satu persatu teman kita akan memulai kehidupan baru. Semua orang yang sudah stabil, dalam artian mental dan materi, sudah seharusnya mulai mencari partner hidup. Semua teman kita menikah sebelum kepala 3, bahkan banyak yang sebelum menginjak 25. Apa lagi yang kau tunggu? Pada akhirnya beginilah hidup, perempuan akan menjadi istri dan kemudian menjadi seorang ibu. Kau tahu pasti akan hal itu. Jelas ada yang salah dengan otakmu kalau kau menganggapnya teori sampah”
“Ini persis seperti teori mandi, bukan sampah, Wan. Begini, siapa yang bilang mandi itu harus 2 kali sehari? Sejak kapan ritual semacam ini dijalankan? Sejak zaman Dayang Sumbi yang kecantikannya memanah hati putra kandungnya, si Sangkuriang? Tidak ada yang tahu dan tidak pula ada yang bisa menjamin itulah yang paling benar. Jangan hanya karena semua orang mandi sehari 2 kali, lantas mereka yang mandi cuma sehari sekali dianggap salah, dianggap menyimpang. Itu semua cuma masalah tradisi kok. Jadi jangan hanya karena aku memandang konsep pernikahan dengan sedikit berbeda, maka kau memberiku label ‘luar angkasa’. Terdengar sangat sempit dan tidak adil buatku.”
“Tapi kau hidup bersosialisasi, Miss Perfectionist. Ada keluargamu yang harus kau pikirkan, selain tetangga-tetanggamu yang usil itu tentunya. Kau mau jadi hot topic selama satu dekade?” ujarnya mulai gusar.
“Nah ini dia yang aku sebut globalisasi. Welcome to modern civilization! Zaman dimana orang sudah tidak lagi menyebut handphone atau ponsel, tapi berganti menjadi BB dan iPhone. Memikirkan apa kata orang lain bukankah itu sudah terlalu ketinggalan zaman? Aku pikir kau orang yang paling peka dengan isu ini.”
“Tapi 33 tahun sudah lebih.. tidak, yang benar sudah sangat lebih dari cukup. Mau menunggu sampai kapan?” dari nada suaranya terdengar temanku itu semakin gemas dengan jawaban-jawaban yang aku lontarkan.
Oh honey, age is …”
just a number.” Belum tuntas aku bicara, Wanda sudah memotongnya dengan ekspresi wajah, yang sudah bisa aku gambar dengan jelas di otak, perpaduan antara rasa jengkel dan muak. “Sampai kapan kau akan berpegang pada klise semacam itu? Sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan mereka yang selalu bilang ‘age is just a number’. Kau tahu, sebenarnya frasa itu dibuat hanya untuk membantu mereka merasa lebih baik. Padahal di dalam hatinya, mereka sama khawatirnya dengan para istri yang sudah menikah puluhan tahun tapi tak kunjung diberikan momongan. Itu tak lain adalah satu lagi bentuk kamuflase selain ‘aku sedang fokus dengan karir’. So please, stop all that rubbish, darling.”
Wanda menumpahkan semua kekesalannya dalam satu tarikan nafas. Belum sempat aku melontarkan pembelaanku, dia sudah melanjutkan lagi khotbah panjangnya. “Dan lagipula, kalau memang benar age is just a number, and you take it just as simple as that, then so is price, so is exchange rate. Padahal kita sama-sama tahu, masing-masing dari variabel itu bisa berdampak besar pada variabel yang lain. Seperti variabel bebas yang menghasilkan variabel terikat. Seperti harga yang bisa mempengaruhi daya beli konsumen ataupun nilai tukar mata uang yang mempengaruhi pasar saham. Kau harus mulai memikirkan masa depan, Jul. Cantikmu itu akan memudar seiring bertambahnya umur. Tunggu sampai keriput mulai menghantuimu!”
Excuse me, apa yang dulu selalu kau bilang? Inner beauty is one thing that matters? Kenapa sekarang jadi sibuk memikirkan keriput diwajah? Wajahku pula. Percayalah, aku akan awet muda. Dan satu hal lagi, pada akhirnya kamuflase yang kamu jabarkan panjang lebar tadi, terkadang bisa menyelamatkan hidup suatu organisme lho.” Aku membayangkan tentang bunglon yang merubah warna kulitnya sesuai dengan batang pohon untuk mengelabui pemburunya, atau seekor belalang yang menyerupai daun-daun di sekitarnya.
“Susah ya ngomong sama penyiar? Apa kalian selalu seperti ini? Pintar mencari celah dan memutarbalikkan keadaan?”
“Jangan bawa-bawa profesi dong, bu dokter. Kamu juga tidak akan suka kalau suatu saat ada seseorang yang bilang; susah ya ngelawan bu dokter, tulisannya hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Iya kan?” Kututup permainan catur itu dengan skak mat yang dibalas dengan bunyi tut panjang disaluran seberang. Rupanya si empunya telpon mengakhiri panggilannya.

Tuesday 13 September 2011

Perawan Tua itu apa sih?

Sebelumnya aku minta maaf kalau mungkin nanti ada yang tersinggung dengan tulisanku ini. Hanya saja akhir-akhir ini semakin banyak kenalan yang mengeluhkan hal sejenis, dan ini membuatku merasa tergelitik untuk menuliskannya. Tidak ada maksud lain, hanya sekedar ingin berbagi. Mari kita awali dengan pertanyaan mudah, "sebenarnya, Perawan Tua itu apa sih?" Sudah sering aku mendengar istilah ini, dan aku pun bisa menyebutkan dengan cepat nama beberapa tetanggaku yang diberi julukan 'spesial' ini oleh ibu-ibu di kampungku yang rajin 'rapat' saat belanja itu.

Memang semakin bertambah umurku, semakin besar pemahamanku akan istilah ini. Tapi bagaimanapun juga, aku belum bisa benar-benar mengerti dengan konsep Perawan Tua itu sendiri. Menurut salah seorang teman, Perawan Tua itu adalah mereka (wanita) yang belum menikah padahal umurnya sudah lebih dari cukup. Nah pertanyaannya, umur yang cukup itu berapa kisarannya? Apakah aku yang sebentar lagi menginjak angka 27 juga termasuk golongan perawan tua? Akhirnya setelah mengetikkan kata kunci Perawan Tua di Google Search dan menekan tombol enter, aku mendapatkan definisi yang lebih akurat. Berdasarkan kamus besar, Perawan Tua bisa juga disebut Gadis Tua, artinya gadis yang telah berumur lebih dari 35 tahun, tetapi belum kawin. Baiklah, aku kantongi definisi yang satu ini. Berarti aku masih belum bisa dijuluki Perawan Tua oleh ibu-ibu itu dong?

Masalah utamanya adalah kenapa istilah Perawan Tua ini sekarang seolah menjadi momok yang menghantui hari-hari kebanyakan wanita lajang yang umurnya bahkan jauh lebih muda dari aku? Ada seorang tetangga yang baru saja menginjak 23 tahun sudah bingung akan kejelasan statusnya yang notabene tak kunjung menerima lamaran. Sampai-sampai ibunya rela bertamu ke rumah seorang temannya dan meminta tolong pada temannya tersebut untuk mencarikan 'calon' untuk putrinya itu. WOW ~ kasih ibu sepanjang jalan! Meskipun toh akhirnya hasilnya nihil. Apa benar si gadis ingin cepat menikah karena tidak mau dibilang perawan tua? Sungguh hebat memang konsep yang satu ini, berhasil membuat ribuan gadis merasa tidak nyaman lagi dengan keadaannya sendiri. 

Dan begini aku melihatnya. Menikah itu bisa dibilang gampang-gampang susah. Gampang kalau kedua belah pihak memang sudah sepakat dan merasa siap untuk menjalani komitmen sakral antara dua orang asing yang segera akan menjalani kehidupan bersama dengan dilandaskan kasih sayang. Sebaliknya bagi beberapa orang, menikah itu bukan perkara mudah. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pada dasarnya, aku mengelompokkan menjadi 2 faktor utama, dalam dan luar. Faktor dalam berhubungan dengan psikologis yaitu siap atau tidaknya seseorang. Sedangkan faktor luar yaitu hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan dan materi.

Entah yang mana yang menjadi alasan, bagiku ketika seorang wanita memilih untuk tidak dulu menikah (bukan berarti tidak akan), seharusnya kita tidak perlu lagi mencampuri keputusannya tersebut, meskipun saran memang masih bisa dimaklumi. Dan juga tidak seharusnya wanita menjadi merasa terintimidasi dengan keadaan apalagi oleh istilah Perawan Tua ini. Nikmatilah hidupmu, jangan sampai hal ini membuatmu melewatkan masa single yang jelas tidak akan terulang setelah kamu duduk berdua dengannya di depan penghulu. Yang paling menakutkan adalah kalau sampai ketakutanmu pada 'perawan tua' ini membuatmu terjebak pada kompromi yang tidak pernah sungguh-sungguh bisa kamu jalani. Karena pada akhirnya, yang bahagia atau tersiksa bukan orang lain, melainkan kamu sendiri.

Kesimpulanku, Perawan Tua itu sebenarnya tidak lebih dari konsep yang diciptakan untuk membuat wanita merasa tidak aman dengan kesendirianya. Sehingga memonopoli otak mereka dan mengisinya dengan ketakutan-ketakutan konyol akan masa depan yang menyedihkan. Sadarkah kamu, pikiran-pikiran semacam itu justru semakin menggerogoti karaktermu? Tidak lama kamu akan berubah menjadi pribadi yang tak lagi terlihat indah baik luar maupun dalam karena kamu terlalu sibuk memikirkan apa kata mereka yang bahkan hanya bisa menggunjingmu di belakang. Dan saat keindahan pribadimu memudar, bukankah kesempatan Perawan Tua mampir padamu semakin besar?


Just in case you’re curious…


Okay I am completely aware of the fact that I am neither that celebrity whom young girls would scream for nor this hot model whom paparazzi would like to take photos of secretly. I am this regular girl you will meet in almost every corner of your neighborhood. So why care about me? Why bother? Well, whatever the reason you are reading this post is, I just want you to know that I am not different, I am just trying to think differently, in a good way of course. So just in case you’re curious, I’ll let you know one of those odd things about me.
Well everybody- wait, not everybody, using the word seems to me like exaggerating what I’m trying to point out here, maybe merely some of my pals- yes that sounds better,  know exactly how I love books. Well yes, I love books- always get over excited in a bookshop, always feel miserable when I accidentally fold a page, am determined not to lend any of my friends- not even the best one those books I adore so much and some other silly things I just won’t tell.  Am I being horribly nerdy for doing so? You judge! I don’t care. All I know is that books have managed to give me this feeling of comfort and security. Yet the best bit is “because they actually never get bored or tired of telling me stories when anyone else does.” What a weird me!

Does Karma actually exist?


A friend of mine wrote "Karma does Exist" on her facebook the other day, then this very question "Does Karma actually Exist?" suddenly crossed my mind right after I read the statement. However the question seemed to be too hard to answer without raising pros and cons, unlike those math problems which you can easily solve clearly and of course without any doubts.

Then I asked my self a much simpler question, "Do I really believe in Karma?". Well this one was easy as I refer to someone's personal idea of a certain issue. My answer was: "No, I don't." Let me tell you why. In my very own opinion, I believe what one has done in their lives is absolutely under their own control with GOD's permission. There is no way Karma will get in the way. Yes, if you think of those examples given to assure you that Karma does exist, you may find it possible. But to me, they are merely trying to deceive the concept.

Let me get this clear. In Karma's world, they recognize positive and negative karma. Positive karma is when one receives a good thing as an impact of the virtue they have done somewhere in the past. So something like rewards for those good boys or girls. Meanwhile, there is this negative karma which leads you to the concept of you are the victim of your own misdeeds. It gives you this idea that no body will get hurt by your mischieve but you yourself at the end. Either way, we can simply put karma as the noun of "what goes around, comes around." I know it is kind of ringing the bell when you heard the phrase.
So, karma, to me, was designed to make people believe that every single thing in life does count. It was a concept which was created to control people to do the right things. It was an invisible burden consisting of fear and guilt which is put on the shoulder of those people who seem to not fully understand the meaning of life.
Now ask me the former question again, "Does Karma actually Exist?" I have no idea. 

Thursday 8 September 2011

so much for fairy tales!


YES! You've got a crush, you fall in love, you date, you get along, you fight, you part, you move on, you've got another crush, you fall again, and so on! Those happen, right? I mean, it's always been that repetitious cycle. Many people, even perhaps, every body has been there, some even have been there for like hundreds time before they finally make it. Things are utterly unpredictable with this so called love. Sometimes you feel so damn confident with your security, but in the end you've still got to face the loss which sucks of course.

But hey, isn't it good to be given the chance to acknowledge so many different states about life? So that if your daughter one day told you how miserable it felt to be left behind, you would confidently be able to tell her how to get rid of it. Besides, imagine if one has never fallen in love or say, had a crush on somebody, how odd is that? how boring life can be? Rather a bore, isn't it? I mean, crush is one of those stuff that keeps you going to school excitedly and gleefully, right? Without it life would be a total crap. Well, OK, that's when I was a school girl. Now I go to school excitedly as I think it would be a lot boring if I stayed home the whole day, like the WHOLE day. But that doesn't mean that I go to school as I have no other option. NO! I love school! I adore my students, and I believe they adore me too. But it's just that other type of love we're talking about here. You know what I mean, don't you?

Anyway, the awful thing about this love life is we tend to expect this fairy tale's happy ending for ours. Excuse me? Doesn't anybody ever tell you that not all fairy tales have a "happily ever after"? Sometimes it's just a "once upon a time". Yes, I know it's sometimes very hard to deal with, but at least you have the memories. No body can take that away from you, not even your lost lover. So just face it! You cannot have all good stuff, but at least you can still see the good side. Try to be wise to yourself, will you?

Wednesday 7 September 2011

sometimes...small things mean big!



I was having this school bulletin meeting with the kids when I learnt the best lesson which most people probably ignore. I was to read the job description that every body on the board should do for the upcoming edition. When it came to this creativity part, one of the kids with her eyes filled with tears suddenly said "No, I'm not doing it again." I was a bit surprised at her unexpected retort as it was really unusual of her.

So I asked her the reason and she, nearly cried, said: "I'm not doing it because I know where my last project ended in- a trash can! I saw it! It was in that trash can near the toilet. So I'm not doing it again" I felt very sorry for this look of disappointment on her face. It made me feel like I was the worst and the meanest person on earth though I wasn't actually the one who threw her project away.

Now I shall always remember that no matter how small one has done, try to appreciate it as if it were the best thing ever. Because you'd never know if your praise would give them such encouragement to do things better. And another lesson I learnt is "always have your trash can covered!"

When we prefer to keep silent...



Have you noticed that some of your buddies sometimes are so persistent in keeping their mouths shut in spite of the insistence on doing the opposite? They will keep what's going on in their minds confidential even if it were the end of the world. I do that sometimes too. And hey, there's nothing wrong about it, is it?
What is wrong is those who keep insisting on telling us that things are going to be easier if we open our mouths and just blurt out everything. Well it may be correct on one occasion, but obviously it won't be the same on others. We have reasons for every single thing we do, and so does our decision to remain silent.
So for you who think you are or you know a person with this sort of qualification, just remember one thing: the reason I don't talk is because I keep thinking if I wanted to then I would. So please just stay out of it!

Monday 5 September 2011

I Love You! (well, I'm not just saying!)

This statement has become one of those things you can hear and say very easily. 'I love you, mum!' 'I love you, dad!' 'I love you, honey!'. But how about saying the words for the first time to the one you have a huge crush on? What is behind this  kind of "I love you" statement?

Well, letting the one you love secretly know about your feeling is something special. It has discourse in it! When you say "I love you", it might mean:
  • hey, I love you! Can we go out on a date? Are we officially in a relationship now?
  • hey, I love you! Tell me your feeling! Do you love me too?
  • hey, I love you! I wish to hear it back from you!
  • hey, I love you! You don't have to do anything, it's more than enough to let you know.
  • hey, I love you! If you don't feel the same, stop acting like you do!
  • hey, I love you! If you don't feel the same, I'll just go and get another guy to love me!

So, which one is your "I love you"? xx

Saturday 24 September 2011

Ijinkan Kutembak Kau


Kamu pasti datang dari jaman Orde Baru kalau masih perlu waktu untuk mikir saat mendengar kata Vierra. Atau mungkin kamu bukan golongan ‘anak gaul masa kini’. I mean, ibuku yang kelahiran  1959 saja tahu siapa itu Vierra, kalau ternyata kamu tidak, bisa simpulkan sendiri kan kamu termasuk jenis yang mana. Well, tapi bukan band bentukan putra dari hasil kawin silang antara komposer handal Addie MS dan penyanyi Memes ini yang mau aku bicarakan. Aku cuma ingin mengaitkannya dengan salah satu lagu mereka yang dinyanyikan dengan sangat manis oleh sang vokalis, Widi. Salah satu baris liriknya berkata seperti ini, “Hari ini ku akan menyatakan cinta.” Sounds familiar? Dan entah karena ‘kepincut’ dengan liriknya, nadanya, atau justru konsep videonya, tiba-tiba ada dorongan kuat yang seolah memintaku untuk segera lari ke depan pintu rumah si dia dan saat dia membuka pintunya, aku akan dengan percaya diri bilang, “Aku suka kamu!” atau kalau meminjam istilah populernya yaitu ‘nembak’. Sayang aku tidak tahu alamat si dia selain email dan beberapa social networking-nya. Meringis.

Lagu dengan judul Terlalu Lama yang terkesan anggun namun sekaligus jantan ini sepertinya cukup bagus untuk dijadikan salah satu motivasi buat para cewek untuk bernyali dalam melakukan first move. Liriknya membuat semua hal yang sebelumnya terasa tabu dan memalukan menjadi begitu benar dan gamblang. Memang ini bukan termasuk hal baru lagi di era Kabinet Indonesia Bersatu ini. Banyak orang memandang bahwa cewek mengungkapkan perasaannya ke cowok adalah hal yang sudah sangat lazim. Tapi ngaku deh, para cewek, tetap saja kita merasa terintimidasi dengan ide tersebut. Entah sudah semodern apa kebudayaan kita atau sejauh mana emansipasi wanita diterapkan, tetap tidak bisa semudah itu menyatakan cinta pada cowok yang kita taksir. Setuju? Sekali lagi, easier said than done. Manggut-manggut.

Banyak sih faktor yang mempengaruhi selain pola pikir yang masih terlalu kental dengan kebudayaan masyarakat timur. Salah satunya mungkin adalah gengsi. Bagi aku pribadi, cewek itu terlihat anggun saat gengsinya menjadi prioritas. Kamu boleh tidak setuju, karena ini memang sebatas teori asal bukan hasil penelitian. Tidak selalu berujung manis memegang prinsip seperti ini, ada kalanya kamu akan menyesali sesuatu dan mengutuk habis-habisan gengsimu yang terlalu tinggi. Tapi percaya atau tidak, justru itulah yang menjadikanmu dirimu yang sekarang.  Tidak terkecuali dalam urusan cinta, yang namanya gengsi pasti ikut ambil suara. Terlebih saat kamu memutuskan untuk menyatakannya. Yang terlintas di otak cewek saat pertama kali mendengar kata ‘nembak’ pasti, "Gengsi ah! Seharusnya cowok yang ngomong duluan. Bagaimana kalau nanti aku ditolak? Mau ditaruh dimana nih muka?" Aku setuju 200 persen dengan pikiran semacam ini, karena memang bukan kodrat kita untuk ditolak. Pernah dengar ungkapan bahasa Jawa, ‘cowok menang milih, cewek menang nolak’? Nah itu tuh yang membuat kita jadi maju mundur saat mau bilang cinta. Manggut-manggut lagi.

Tapi dalam situasi tertentu, selalu ada pengecualian. Setinggi apapun gengsi seorang cewek, saat dia sudah memutuskan untuk melakukan ‘penembakan’, bukan berarti dia sudah kehilangan gengsinya. Jangan salah sangka, justru itu tindakan paling cerdas yang dilakukan olehnya. Tidak mudah bagi tipe cewek  seperti ini untuk mengungkapkan perasaan, jadi saat dia rela mengesampingkan sejenak prioritasnya tersebut demi seseorang, bisa dibayangkan dong sehebat apa cowok tersebut? Yang jelas jauh lebih berharga dari sekedar ‘mubazir kalau tidak dicoba’. Lantas, apa tujuan sebenarnya? 

It goes like this. Perasaan yang dipendam itu selain bisa menimbulkan jerawat (ini kata orang-orang, aku sih tidak percaya), juga sangat mengganggu ketenangan hidup lho. Bagaimana hidup bisa tenang kalau ada seseorang di luar sana yang eksistensinya secara konstan membuat emosimu jungkir balik, kadang senang kadang sedih, kadang khawatir kadang marah, dan ‘kadang’ yang lainnya. Seolah kamu tidak punya lagi kontrol pada dirimu sendiri. Yang menjengkelkan adalah kita tidak bisa menyalahkan si dia untuk ini, karena memang dia melakukannya secara tidak sengaja. Bagaimana mau sengaja, dia bahkan tidak tahu perasaan kamu padanya?

Akan tetapi, yang paling menyebalkan saat seorang cewek menyukai cowok dengan diam-diam adalah kita akan secara otomatis merasa ‘tergantung’ olehnya. Analoginya seperti ini. Anggap cowok itu seperti sepasang sepatu. Tidak ada maksud tertentu, ini hanya sebatas own preference. Kita seperti berdiri di depan sebuah toko sepatu dan terus menatap sepasang sepatu cantik yang terpajang di etalasenya tanpa benar-benar berniat membelinya. Kita tidak akan tahu bahwa ada sepatu sejenis yang mungkin di jual di toko lain, atau paling tidak sepatu yang tidak kalah cantiknya. Jadi tidak ada salahnya bukan kalau cewek tertentu memilih masuk ke dalam toko tersebut dan menanyakan harganya? Kalau ternyata dijual dengan harga yang terjangkau, bersukur saja karena berarti kita bisa membelinya dan segera membawanya pulang. Sebaliknya, kalau ternyata sepatu itu terlalu mahal, atau mungkin sudah terjual pada pelanggan lain, paling tidak kita bisa meninggalkan toko tersebut tanpa ada rasa penasaran dan siapa tahu dalam perjalanan pulang nanti kita melintasi toko lain yang mempunyai sepatu yang justru lebih cantik. Kemungkinan itu selalu ada lho.

Jadi buat para cewek, tidak usah ragu untuk mengungkapkan perasaan. Kamu tidak akan rugi apa-apa kok. Justru saat memendam perasaan itu lah kamu akan rugi, rugi waktu dan juga emosi. Pada akhirmya kembali pada hukum alam, kalau tidak ditembak, ya nembak. Bukan begitu? Akhir kata, “Selamat ‘nembak’ ya?!” Senyum manis.

Tuesday 20 September 2011

Camouflage

Erangan mesin itu lenyap seiring dengan berputarnya posisi kontak yang aku gapit di antara ibu jari dan telunjuk, begitu pula dengan bunyi knalpot. Tidak lebih dari tiga detik, seolah sudah menanti untuk ditemukan, suara Adam Levine yang seksi tiba-tiba menyeruak dari keheningan dan terbendung oleh gendang telingaku. Well hal ini bisa bermakna ambigu, apakah memang ‘suara’ si Adam yang seksi ataukah justru ‘si Adam’ itu sendiri. Namun kalau pembicaraan ini mengarah pada vokalis Maroon 5 tersebut, berarti keduanya sama benar. Sejak kemunculannya di hingar bingar industri musik sepuluh tahun silam, pentolan grup band asal negeri Paman Sam itu telah berhasil menancapkan patokan akan sosok lelaki idaman di otakku. Entah karena sensasi luar biasa yang acap kali aku rasa sewaktu menikmati desahan suaranya melalui lagu-lagunya yang hampir setiap hari aku putar, atau tersihir oleh aksi panggung yang hampir selalu dengan bertelanjang dada, menonjolkan otot-otot yang semakin memantapkan kejantanannya, bagiku lelaki harusnya seperti itu. Garang dan seksi di saat yang sama.

Kurogoh isi perut tas coklat tua yang sedari tadi bergelayut manis pada pundak kiriku. Benda mungil tersebut aku dapatkan beberapa bulan sebelumnya dari seorang teman akrab sebagai kado ulang tahun yang ke-33. Sebuah hadiah yang aku tahu jelas tidak murah karena setiap wanita dewasa sudah pasti mampu menaksir jumlah digit yang dibandrol oleh jenis merk tertentu, hanya untuk sebuah tas. Fenomena yang sudah sangat merakyat di era dimana tas sudah bukan lagi suatu alat, melainkan gaya hidup. Tas yang ide awalnya diciptakan untuk menampung barang-barang pribadi, sekarang seolah mengingkari takdirnya. Mereka lebih senang dipanggil sebagai fashion item. Ah betapa lucunya penyakit ‘gaya hidup’ ini! Manusia dibuat keblinger olehnya. Yang dulu hanya perlu satu, sekarang lima bahkan masih kurang.

Jari-jemariku tidak membutuhkan waktu lama untuk mendeteksi keberadaan benda elektronik super canggih sumber dari bunyi tersebut. Dia terpojok di salah satu sudut diantara onggokan kertas, pena, pensil, dompet dan benda-benda lain yang bahkan aku sendiri tidak ingat membawanya. Kuangkat benda itu, memisahkannya dari kelompok yang seolah sudah berkomplot menyesaknya. Namun mataku hanya mampu mempertahankan rasa penasaran untuk sepersekian detik, seterusnya yang aku rasa hanya jengah. Sekali lagi aku paksakan membaca nama yang muncul di layar, sedikit kaget aku mendengar diriku sendiri kali ini mendesah. Akhirnya dengan sedikit enggan, kudekatkan benda berwarna hitam itu ke kuping kananku,

“Halo. Tumben? Jangan katakan kau akan memaksaku datang ke acara ‘beauty seminar’ seperti terakhir kali kau menelponku” Sambungku dalam hati.
“Dapat bonus pulsa, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Aku ingin bicara denganmu, sudah lama aku tidak mendengar ocehan merdumu itu.”
Bukankah setiap hari kau mendengar ocehan itu dari radio? Di program Breakfast and Sun Shine yang aku pandu selama dua jam penuh? Belum sempat aku memprotes pilihan katanya, dia sudah mulai memberondongku lagi,
 “Tahu tidak, salah satu kenikmatan menjadi wanita itu adalah kita bisa bebas berbicara dengan sesama jenis selama berjam-jam dimana saja, baik di telpon atau bahkan sambil duduk berdua di salah satu pojok cafĂ© di pinggiran kota, tanpa pernah takut dicap mengidap gender identity disorder. “
“Apa maksudmu?”
“Coba bayangkan. Dua pria saling menelpon, atau mungkin duduk bersama di sebuah bangku di taman dan saling mengumbar senyum ataupun tawa, bukankah hal itu akan menimbulkan kecurigaan? Ada semacam hubungan terselubung, yang kalau ternyata benar, sudah pasti memunculkan fakta bahwa salah satu dari mereka pasti mengidap sexual disorder tadi. Sedangkan wanita, bukankah sudah kodratnya semua wanita itu suka bicara?”
“Sepanjang yang aku ingat, kau lah wanita yang mempunyai kelebihan paling luar biasa secara verbal. Ada apa sebenarnya? Baru membaca sebuah artikel di majalah dan mencari teman untuk berdiskusi? Maaf aku tidak ada waktu” Ujarku seiring melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Apa itu caramu mengatakan bahwa kau sedang mencurigaiku?” nada bicara lawan bicaraku berubah menjadi ketus.
Kuhela nafas panjang, membayangkan wajah orang di ujung sambungan ini yang seketika berubah masam. Kedua matanya dipicingkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengalah, “Tidak, yang itu tadi murni kalimat tanya. Jadi, ada kabar apa?”
Seketika moodnya buncah, nada bicara menjadi ringan dan antusiasme pun mengembang, “Sudah dapat undangan belum? Cinta monyetmu saat sekolah menengah akan mengakhiri masa berburu, dan memutuskan untuk memelihara seekor burung cendrawasih yang tidak hanya rupawan tapi juga dibelinya dari keluarga baik-baik dan berada.”
“Mm… Kabar yang bagus, tapi sepertinya tidak cukup menarik untuk membuatmu menelponku. Bukan begitu?” Bukan tentang hal itu lagi, kumohon.
“Resepsinya minggu depan, sepertinya aku tidak bisa datang.” Nada bicaranya berubah datar, tapi cepat-cepat disambungnya lagi, “Oh iya, si Merry, sepupuku, teman kita SD dulu, ingat? Dia juga segera diminta menjadi pendamping hidup seseorang. Belum tahu kapan tepatnya, tapi sepertinya dalam 2 atau 3 bulan kedepan.”
Ada jeda agak lama yang terasa begitu canggung antara kata terakhirnya dengan kata pertamaku, “Kamu mau berubah menjadi pribadi yang oportunis sekarang? Mencoba mencari manfaat dari semua detail bahkan yang paling tidak signifikan sekalipun?” Sudah aku duga sejak mataku mengeja namanya di layar iPhone tadi, pasti tentang hal itu.
“Ayolah, sudah saatnya, Julia. Satu persatu teman kita akan memulai kehidupan baru. Semua orang yang sudah stabil, dalam artian mental dan materi, sudah seharusnya mulai mencari partner hidup. Semua teman kita menikah sebelum kepala 3, bahkan banyak yang sebelum menginjak 25. Apa lagi yang kau tunggu? Pada akhirnya beginilah hidup, perempuan akan menjadi istri dan kemudian menjadi seorang ibu. Kau tahu pasti akan hal itu. Jelas ada yang salah dengan otakmu kalau kau menganggapnya teori sampah”
“Ini persis seperti teori mandi, bukan sampah, Wan. Begini, siapa yang bilang mandi itu harus 2 kali sehari? Sejak kapan ritual semacam ini dijalankan? Sejak zaman Dayang Sumbi yang kecantikannya memanah hati putra kandungnya, si Sangkuriang? Tidak ada yang tahu dan tidak pula ada yang bisa menjamin itulah yang paling benar. Jangan hanya karena semua orang mandi sehari 2 kali, lantas mereka yang mandi cuma sehari sekali dianggap salah, dianggap menyimpang. Itu semua cuma masalah tradisi kok. Jadi jangan hanya karena aku memandang konsep pernikahan dengan sedikit berbeda, maka kau memberiku label ‘luar angkasa’. Terdengar sangat sempit dan tidak adil buatku.”
“Tapi kau hidup bersosialisasi, Miss Perfectionist. Ada keluargamu yang harus kau pikirkan, selain tetangga-tetanggamu yang usil itu tentunya. Kau mau jadi hot topic selama satu dekade?” ujarnya mulai gusar.
“Nah ini dia yang aku sebut globalisasi. Welcome to modern civilization! Zaman dimana orang sudah tidak lagi menyebut handphone atau ponsel, tapi berganti menjadi BB dan iPhone. Memikirkan apa kata orang lain bukankah itu sudah terlalu ketinggalan zaman? Aku pikir kau orang yang paling peka dengan isu ini.”
“Tapi 33 tahun sudah lebih.. tidak, yang benar sudah sangat lebih dari cukup. Mau menunggu sampai kapan?” dari nada suaranya terdengar temanku itu semakin gemas dengan jawaban-jawaban yang aku lontarkan.
Oh honey, age is …”
just a number.” Belum tuntas aku bicara, Wanda sudah memotongnya dengan ekspresi wajah, yang sudah bisa aku gambar dengan jelas di otak, perpaduan antara rasa jengkel dan muak. “Sampai kapan kau akan berpegang pada klise semacam itu? Sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan mereka yang selalu bilang ‘age is just a number’. Kau tahu, sebenarnya frasa itu dibuat hanya untuk membantu mereka merasa lebih baik. Padahal di dalam hatinya, mereka sama khawatirnya dengan para istri yang sudah menikah puluhan tahun tapi tak kunjung diberikan momongan. Itu tak lain adalah satu lagi bentuk kamuflase selain ‘aku sedang fokus dengan karir’. So please, stop all that rubbish, darling.”
Wanda menumpahkan semua kekesalannya dalam satu tarikan nafas. Belum sempat aku melontarkan pembelaanku, dia sudah melanjutkan lagi khotbah panjangnya. “Dan lagipula, kalau memang benar age is just a number, and you take it just as simple as that, then so is price, so is exchange rate. Padahal kita sama-sama tahu, masing-masing dari variabel itu bisa berdampak besar pada variabel yang lain. Seperti variabel bebas yang menghasilkan variabel terikat. Seperti harga yang bisa mempengaruhi daya beli konsumen ataupun nilai tukar mata uang yang mempengaruhi pasar saham. Kau harus mulai memikirkan masa depan, Jul. Cantikmu itu akan memudar seiring bertambahnya umur. Tunggu sampai keriput mulai menghantuimu!”
Excuse me, apa yang dulu selalu kau bilang? Inner beauty is one thing that matters? Kenapa sekarang jadi sibuk memikirkan keriput diwajah? Wajahku pula. Percayalah, aku akan awet muda. Dan satu hal lagi, pada akhirnya kamuflase yang kamu jabarkan panjang lebar tadi, terkadang bisa menyelamatkan hidup suatu organisme lho.” Aku membayangkan tentang bunglon yang merubah warna kulitnya sesuai dengan batang pohon untuk mengelabui pemburunya, atau seekor belalang yang menyerupai daun-daun di sekitarnya.
“Susah ya ngomong sama penyiar? Apa kalian selalu seperti ini? Pintar mencari celah dan memutarbalikkan keadaan?”
“Jangan bawa-bawa profesi dong, bu dokter. Kamu juga tidak akan suka kalau suatu saat ada seseorang yang bilang; susah ya ngelawan bu dokter, tulisannya hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Iya kan?” Kututup permainan catur itu dengan skak mat yang dibalas dengan bunyi tut panjang disaluran seberang. Rupanya si empunya telpon mengakhiri panggilannya.

Tuesday 13 September 2011

Perawan Tua itu apa sih?

Sebelumnya aku minta maaf kalau mungkin nanti ada yang tersinggung dengan tulisanku ini. Hanya saja akhir-akhir ini semakin banyak kenalan yang mengeluhkan hal sejenis, dan ini membuatku merasa tergelitik untuk menuliskannya. Tidak ada maksud lain, hanya sekedar ingin berbagi. Mari kita awali dengan pertanyaan mudah, "sebenarnya, Perawan Tua itu apa sih?" Sudah sering aku mendengar istilah ini, dan aku pun bisa menyebutkan dengan cepat nama beberapa tetanggaku yang diberi julukan 'spesial' ini oleh ibu-ibu di kampungku yang rajin 'rapat' saat belanja itu.

Memang semakin bertambah umurku, semakin besar pemahamanku akan istilah ini. Tapi bagaimanapun juga, aku belum bisa benar-benar mengerti dengan konsep Perawan Tua itu sendiri. Menurut salah seorang teman, Perawan Tua itu adalah mereka (wanita) yang belum menikah padahal umurnya sudah lebih dari cukup. Nah pertanyaannya, umur yang cukup itu berapa kisarannya? Apakah aku yang sebentar lagi menginjak angka 27 juga termasuk golongan perawan tua? Akhirnya setelah mengetikkan kata kunci Perawan Tua di Google Search dan menekan tombol enter, aku mendapatkan definisi yang lebih akurat. Berdasarkan kamus besar, Perawan Tua bisa juga disebut Gadis Tua, artinya gadis yang telah berumur lebih dari 35 tahun, tetapi belum kawin. Baiklah, aku kantongi definisi yang satu ini. Berarti aku masih belum bisa dijuluki Perawan Tua oleh ibu-ibu itu dong?

Masalah utamanya adalah kenapa istilah Perawan Tua ini sekarang seolah menjadi momok yang menghantui hari-hari kebanyakan wanita lajang yang umurnya bahkan jauh lebih muda dari aku? Ada seorang tetangga yang baru saja menginjak 23 tahun sudah bingung akan kejelasan statusnya yang notabene tak kunjung menerima lamaran. Sampai-sampai ibunya rela bertamu ke rumah seorang temannya dan meminta tolong pada temannya tersebut untuk mencarikan 'calon' untuk putrinya itu. WOW ~ kasih ibu sepanjang jalan! Meskipun toh akhirnya hasilnya nihil. Apa benar si gadis ingin cepat menikah karena tidak mau dibilang perawan tua? Sungguh hebat memang konsep yang satu ini, berhasil membuat ribuan gadis merasa tidak nyaman lagi dengan keadaannya sendiri. 

Dan begini aku melihatnya. Menikah itu bisa dibilang gampang-gampang susah. Gampang kalau kedua belah pihak memang sudah sepakat dan merasa siap untuk menjalani komitmen sakral antara dua orang asing yang segera akan menjalani kehidupan bersama dengan dilandaskan kasih sayang. Sebaliknya bagi beberapa orang, menikah itu bukan perkara mudah. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pada dasarnya, aku mengelompokkan menjadi 2 faktor utama, dalam dan luar. Faktor dalam berhubungan dengan psikologis yaitu siap atau tidaknya seseorang. Sedangkan faktor luar yaitu hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan dan materi.

Entah yang mana yang menjadi alasan, bagiku ketika seorang wanita memilih untuk tidak dulu menikah (bukan berarti tidak akan), seharusnya kita tidak perlu lagi mencampuri keputusannya tersebut, meskipun saran memang masih bisa dimaklumi. Dan juga tidak seharusnya wanita menjadi merasa terintimidasi dengan keadaan apalagi oleh istilah Perawan Tua ini. Nikmatilah hidupmu, jangan sampai hal ini membuatmu melewatkan masa single yang jelas tidak akan terulang setelah kamu duduk berdua dengannya di depan penghulu. Yang paling menakutkan adalah kalau sampai ketakutanmu pada 'perawan tua' ini membuatmu terjebak pada kompromi yang tidak pernah sungguh-sungguh bisa kamu jalani. Karena pada akhirnya, yang bahagia atau tersiksa bukan orang lain, melainkan kamu sendiri.

Kesimpulanku, Perawan Tua itu sebenarnya tidak lebih dari konsep yang diciptakan untuk membuat wanita merasa tidak aman dengan kesendirianya. Sehingga memonopoli otak mereka dan mengisinya dengan ketakutan-ketakutan konyol akan masa depan yang menyedihkan. Sadarkah kamu, pikiran-pikiran semacam itu justru semakin menggerogoti karaktermu? Tidak lama kamu akan berubah menjadi pribadi yang tak lagi terlihat indah baik luar maupun dalam karena kamu terlalu sibuk memikirkan apa kata mereka yang bahkan hanya bisa menggunjingmu di belakang. Dan saat keindahan pribadimu memudar, bukankah kesempatan Perawan Tua mampir padamu semakin besar?


Just in case you’re curious…


Okay I am completely aware of the fact that I am neither that celebrity whom young girls would scream for nor this hot model whom paparazzi would like to take photos of secretly. I am this regular girl you will meet in almost every corner of your neighborhood. So why care about me? Why bother? Well, whatever the reason you are reading this post is, I just want you to know that I am not different, I am just trying to think differently, in a good way of course. So just in case you’re curious, I’ll let you know one of those odd things about me.
Well everybody- wait, not everybody, using the word seems to me like exaggerating what I’m trying to point out here, maybe merely some of my pals- yes that sounds better,  know exactly how I love books. Well yes, I love books- always get over excited in a bookshop, always feel miserable when I accidentally fold a page, am determined not to lend any of my friends- not even the best one those books I adore so much and some other silly things I just won’t tell.  Am I being horribly nerdy for doing so? You judge! I don’t care. All I know is that books have managed to give me this feeling of comfort and security. Yet the best bit is “because they actually never get bored or tired of telling me stories when anyone else does.” What a weird me!

Does Karma actually exist?


A friend of mine wrote "Karma does Exist" on her facebook the other day, then this very question "Does Karma actually Exist?" suddenly crossed my mind right after I read the statement. However the question seemed to be too hard to answer without raising pros and cons, unlike those math problems which you can easily solve clearly and of course without any doubts.

Then I asked my self a much simpler question, "Do I really believe in Karma?". Well this one was easy as I refer to someone's personal idea of a certain issue. My answer was: "No, I don't." Let me tell you why. In my very own opinion, I believe what one has done in their lives is absolutely under their own control with GOD's permission. There is no way Karma will get in the way. Yes, if you think of those examples given to assure you that Karma does exist, you may find it possible. But to me, they are merely trying to deceive the concept.

Let me get this clear. In Karma's world, they recognize positive and negative karma. Positive karma is when one receives a good thing as an impact of the virtue they have done somewhere in the past. So something like rewards for those good boys or girls. Meanwhile, there is this negative karma which leads you to the concept of you are the victim of your own misdeeds. It gives you this idea that no body will get hurt by your mischieve but you yourself at the end. Either way, we can simply put karma as the noun of "what goes around, comes around." I know it is kind of ringing the bell when you heard the phrase.
So, karma, to me, was designed to make people believe that every single thing in life does count. It was a concept which was created to control people to do the right things. It was an invisible burden consisting of fear and guilt which is put on the shoulder of those people who seem to not fully understand the meaning of life.
Now ask me the former question again, "Does Karma actually Exist?" I have no idea. 

Thursday 8 September 2011

so much for fairy tales!


YES! You've got a crush, you fall in love, you date, you get along, you fight, you part, you move on, you've got another crush, you fall again, and so on! Those happen, right? I mean, it's always been that repetitious cycle. Many people, even perhaps, every body has been there, some even have been there for like hundreds time before they finally make it. Things are utterly unpredictable with this so called love. Sometimes you feel so damn confident with your security, but in the end you've still got to face the loss which sucks of course.

But hey, isn't it good to be given the chance to acknowledge so many different states about life? So that if your daughter one day told you how miserable it felt to be left behind, you would confidently be able to tell her how to get rid of it. Besides, imagine if one has never fallen in love or say, had a crush on somebody, how odd is that? how boring life can be? Rather a bore, isn't it? I mean, crush is one of those stuff that keeps you going to school excitedly and gleefully, right? Without it life would be a total crap. Well, OK, that's when I was a school girl. Now I go to school excitedly as I think it would be a lot boring if I stayed home the whole day, like the WHOLE day. But that doesn't mean that I go to school as I have no other option. NO! I love school! I adore my students, and I believe they adore me too. But it's just that other type of love we're talking about here. You know what I mean, don't you?

Anyway, the awful thing about this love life is we tend to expect this fairy tale's happy ending for ours. Excuse me? Doesn't anybody ever tell you that not all fairy tales have a "happily ever after"? Sometimes it's just a "once upon a time". Yes, I know it's sometimes very hard to deal with, but at least you have the memories. No body can take that away from you, not even your lost lover. So just face it! You cannot have all good stuff, but at least you can still see the good side. Try to be wise to yourself, will you?

Wednesday 7 September 2011

sometimes...small things mean big!



I was having this school bulletin meeting with the kids when I learnt the best lesson which most people probably ignore. I was to read the job description that every body on the board should do for the upcoming edition. When it came to this creativity part, one of the kids with her eyes filled with tears suddenly said "No, I'm not doing it again." I was a bit surprised at her unexpected retort as it was really unusual of her.

So I asked her the reason and she, nearly cried, said: "I'm not doing it because I know where my last project ended in- a trash can! I saw it! It was in that trash can near the toilet. So I'm not doing it again" I felt very sorry for this look of disappointment on her face. It made me feel like I was the worst and the meanest person on earth though I wasn't actually the one who threw her project away.

Now I shall always remember that no matter how small one has done, try to appreciate it as if it were the best thing ever. Because you'd never know if your praise would give them such encouragement to do things better. And another lesson I learnt is "always have your trash can covered!"

When we prefer to keep silent...



Have you noticed that some of your buddies sometimes are so persistent in keeping their mouths shut in spite of the insistence on doing the opposite? They will keep what's going on in their minds confidential even if it were the end of the world. I do that sometimes too. And hey, there's nothing wrong about it, is it?
What is wrong is those who keep insisting on telling us that things are going to be easier if we open our mouths and just blurt out everything. Well it may be correct on one occasion, but obviously it won't be the same on others. We have reasons for every single thing we do, and so does our decision to remain silent.
So for you who think you are or you know a person with this sort of qualification, just remember one thing: the reason I don't talk is because I keep thinking if I wanted to then I would. So please just stay out of it!

Monday 5 September 2011

I Love You! (well, I'm not just saying!)

This statement has become one of those things you can hear and say very easily. 'I love you, mum!' 'I love you, dad!' 'I love you, honey!'. But how about saying the words for the first time to the one you have a huge crush on? What is behind this  kind of "I love you" statement?

Well, letting the one you love secretly know about your feeling is something special. It has discourse in it! When you say "I love you", it might mean:
  • hey, I love you! Can we go out on a date? Are we officially in a relationship now?
  • hey, I love you! Tell me your feeling! Do you love me too?
  • hey, I love you! I wish to hear it back from you!
  • hey, I love you! You don't have to do anything, it's more than enough to let you know.
  • hey, I love you! If you don't feel the same, stop acting like you do!
  • hey, I love you! If you don't feel the same, I'll just go and get another guy to love me!

So, which one is your "I love you"? xx