Sunday 27 November 2011

Bapak dan Aku


Setiap berbicara tentang masa kecil, Ibu tidak pernah absen memberi tahu lawan bicaranya betapa manja dan arogannya a seven-year-old version of me.  Beliau lantas mengulang-ngulang cerita dimana aku menangis hebat sembari meneriakkan ‘mantra’ andalanku saat itu-Bapak, dengan diikuti penjelasan panjang lebar mengenai ketergantunganku akan sosok yang satu itu. Yah, Bapak memang tokoh idolaku sepanjang masa. Bukan karena kepintaran atau kepribadiannya, melainkan karena beliau selalu menjadikanku anak favoritnya, putri kesayangannya. Bapak adalah the fairy god mother. Orang pertama yang terlintas di pikiranku saat aku mendapat masalah dan yang dengan tongkat ajaibnya akan memberiku jalan keluar dari segala jenis kebuntuan. Hal ini tidak jarang menimbulkan kontra di antara saudara-saudaraku. Namun pada akhirnya, mereka selalu menemukan jalan masing-masing untuk memaklumi dan menerimanya.

Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ketiga saudaraku semuanya laki-laki. Posisi strategis sebagai satu-satunya anak perempuan inilah yang menjadikanku istimewa. Paling tidak begitu konsep awal yang di anut Ibu dan ketiga saudara laki-lakiku sebelum akhirnya teori itu berubah menjadi sebuah norma tidak tertulis di keluarga kami. Mungkin hal ini pula lah yang akhirnya menjadikanku begitu terikat secara emosional dengan Bapak, dan sering kali aku memanipulasi hubungan ini dengan menjadikannya senjata demi keuntungan pribadi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Namun semakin aku memahami diriku, semakin aku merasa this whole idea of ‘that special daughter’ was entirely incorrect. Semakin aku mengenal sosok Dini Rosita Sari, semakin aku tersadar bahwa aku ini tidak lain adalah bayangan yang dilihat Bapak setiap kali beliau bercermin. Aku adalah saudara kembar perempuan beliau, not literally of course.

Terkadang akan sangat sulit untuk mendefinisikan diri sendiri dibanding jika harus melakukan hal yang sama tentang orang lain. Aku pun merasakan hal yang sama. Dan sosok Bapak lah yang membantuku untuk memahami pribadi macam apa aku ini. Bapak adalah karakter yang sangat gamblang baik bagi orang terdekat ataupun kenalannya, namun dalam artian yang berbeda. Kenalannya mungkin akan menganggap beliau sosok yang akan dengan mudah dimintai pertolongan karena wataknya yang memang lembut dan toleran. Akan tetapi bagi ibu dan anak-anaknya, Bapak adalah pribadi yang sulit diperintah. Akan sangat menguras emosi dan energi hanya demi meminta beliau datang ke pernikahan saudara kalau itu bukan karena keinginannya. Hal ini lah yang terkadang menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil antara Bapak dan Ibu. Ibu tidak dan bahkan mungkin tidak akan pernah memahami semua itu, but I do, karena aku pun begitu. Kami berdua lemah lembut tapi keras kepala, toleran tapi tegas dan sering kali ringan tangan namun benci diperintah.

            Bapak juga merupakan perwujudan pribadi posesif kompulsif yang bebas. Ketika mencintai sesuatu, tanpa sadar beliau akan menunjukkan sebentuk perilaku unik yang tampak jelas bagi orang disekitarnya tapi tidak bagi dirinya sendiri. Saya ingat Ibu pernah berkata, “Bapak kamu itu lucu, Din. Dulu pernah beli kursi lipat, jumlahnya tiga biji. Padahal sudah tahu anaknya empat. Tidak lama eh beli kursi plastik, berapa jumlahnya? Tiga lagi. Terus pernah membeli kemeja warna putih berulang-ulang sampai lemari dipenuhi warna putih. Nah sekarang sepertinya beliau sedang menyukai warna hitam. Sudah lebih dari tiga kali beliau membeli kemeja warna hitam berturut-turut. Bapak kamu memang begitu, kalau sudah suka sama sesuatu, yang diulang-ulang ya benda itu.” Begitu cara Ibu secara literal mendeskripsikan karakter Bapak kepadaku. Sedangkan aku mungkin menjelaskannya dengan sedikit berbeda.

Bapak adalah jiwa perfeksionis. Yang selalu mencari kesempurnaan dari setiap hal, paling tidak bagi mata dan batinnnya sendiri. Itulah yang menjadikannya pribadi yang kompulsif. Selalu mengulang pola yang sama sampai akhirnya menemukan kombinasi yang menurutnya mendekati sempurna. Bapak adalah pria yang akan berulang kali bolak-balik memandang pantulan dirinya di dalam cermin, memperhatikan setiap detil busana yang dikenakannya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang melekat di badannya sudah yang paling indah. Begitu juga dalam mencintai sesuatu, he would do it so perfectly and passionately yang cenderung membuatnya tampak posesif namun juga sangat menikmati keposesifan. Tapi sekali kau beri kebebasan padanya, beliau akan menjelma menjadi burung yang tidak akan pernah bisa kau kandangkan, meski dengan sangkar emas sekalipun, persis seperti aku. Bapak dan aku adalah dua pribadi posesif namun haus kebebasan, perfeksionis tapi tidak membosankan.

            Satu watak lagi yang aku lihat setiap kali aku mengaca pada sosok Bapak yaitu kenyamanan dan kepercayaannya pada diri sendiri. Seorang yang inexplicably akan lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah di banding berkumpul dalam rapat RT dengan lelaki sebaya membahas isu-isu sosial. Beliau adalah sosok yang menghindari konflik dan perselisihan akan tetapi selalu melakukan apa yang menurutnya benar. Beliau adalah jenis orang yang tidak pandai bersosialisasi namun pintar bersahabat, orang yang tampak apatis namun dalam otakknya tercatat semua kepincangan yang ingin dan bisa dia selesaikan. Dan sama halnya dengan aku, Bapak adalah orang yang akan merasa nyaman di tempat yang tak karuan walaupun orang lain mengutuk habis-habisan kesemrawutan dunia kami.

            Begitu lah hubunganku dengan Bapak. Kami terikat secara emosional bukan karena beliau terlalu memanjakan aku, tapi karena beliau memahamiku, karena apa yang aku butuhkan hampir semuaya juga beliau butuhkan. Bapak dan aku, dua fisik yang berbeda akan tetapi terbentuk oleh pribadi dan karakter serupa. Kami adalah jiwa kembar yang mendiami raga yang disebut ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, menyandang status yang dipanggil ‘bapak’ dan ‘anak’.


*aku dedikasikan tulisan ini untuk sosok Bapak yang telah menjadi inspirasi terbesarku


Friday 25 November 2011

Antrian Ala Indonesia


Seminggu yang lalu saya dan seorang sahabat sepakat  pergi ke bioskop untuk nonton bareng salah satu film yang sudah lama ditunggu pemutarannya. Sebelum berangkat kami berdua sama-sama tahu bahwa untuk mendapatkan tiket bioskop kali ini akan menjadi perjuangan tersendiri. Terbuktilah semuanya setelah kami  mengantri selama satu setengah jam demi tidak kehabisan kertas kecil bertuliskan teater dan nomor kursi tersebut. Namun apa dikata, tepat saat loket pembelian dibuka, delapan gadis belia belasan tahun (dari wajah sepertinya rata-rata dibawah tujuh belas) tiba-tiba menyerondol barisan kami. Sang satpam hanya bisa mengomel tanpa ada tindakan jelas dan para ABG pun bersorak gembira atas keberhasilan mereka ‘menjinakkan’ sang satpam dan juga ‘menyeberangi’ lautan manusia yang sudah mengantri satu setengah jam sebelum mereka itu. Yah akhirnya saya dan sahabat memilih untuk merelakan delapan tiket melayang di depan mata. Tapi layaknya orang Indonesia asli, kami hanya bersyukur karena paling tidak kami masih kebagian.

Sepanjang perjalanan pulang sahabat ternyata mengeluhkan insiden sabotase antrian tersebut. Tidak ada hentinya dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, “mengapa orang Indonesia tidak tahu aturan? Mengapa mereka justru bangga atas sesuatu yang seharusnya memalukan? Mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju yang begitu teratur dan tahu cara menghargai orang lain?” Dan selanjutnya dia pun mengatakan sesuatu yang membuat saya merasa tertampar oleh kebenaran, “temanku dari Australia pernah bilang, “It’s so crazy here in Indonesia. People don’t seem to know how to respect each other. Kami di Australia tidak punya menteri agama, tapi kami tahu betul bagaimana menghargai hak orang lain. You do have it but you foolishly act like you don’t have one.” Usut punya usut, ternyata si ‘bule’ pernah mengalami peristiwa serupa.

Apa yang diceritakan sahabat saya benar-benar menohok. Terlepas objektif atau tidaknya pengaitan agama dengan sikap saling menghargai, saya tidak bisa menyangkal kebenaran di dalam ucapan kesal ‘bule’ tersebut. Bukankah sudah seharusnya negeri religius seperti Indonesia lebih menekankan etika dan sopan santun? Bukankah agama apa pun itu selalu mengajarkan pentingnya hubungan antar sesama selain hubungan vertikal dengan Tuhan? Lantas mengapa negeri tercinta Indonesia Raya ini malah miskin etika? Dan mengapa justru negeri yang kebanyakan rakyatnya mengaku not religious lah yang lebih mengerti cara menghormati orang lain? Apa yang salah dengan sistem perkembangan karakter masyarakat Indonesia?

Selama mencari jawaban logis atas pertanyaan-pertanyaan yang hanya berkutat di otak inilah tiba-tiba saya teringat pada kunjungan singkat saya ke negeri Ratu Elizabeth sebulan yang lalu. Sebagai salah satu negara maju, tidak heran kalau semua sistem yang mereka miliki berjalan jauh lebih teratur dibanding Indonesia. Memang benar salah satu penyebabnya adalah teknologi canggih yang memfasilitasi hampir setiap kegiatan, akan tetapi etika masyarakatnya pun ikut andil dalam hal ini. Setiap individu tampak sangat paham bahwa mereka hidup bersosialisasi. Hal ini tidak hanya sebatas teori yang disampaikan di dalam kelas seperti, maaf, yang kebanyakan terjadi di negara kita. Sebaliknya, semuanya jelas tercermin pada sikap dan tingkah laku sehari-hari.

Saat berada di lingkungan kerja singkat saya di Inggris, hampir setiap orang yang berpapasan dengan saya tidak pernah absen menanyakan kabar. Are you okay? How is it going? merupakan pertanyaan yang harus saya jawab lebih dari lima kali setiap harinya. Begitu juga dengan ucapan klasik thank you dan sorry, yang bahkan terdengar jauh lebih sering lagi oleh ‘telinga Indonesia’ saya. ‘Bule-bule’ itu jelas tahu cara menghargai orang lain. Mereka ingin membuat orang lain merasa nyaman dan timbal baliknya adalah mereka pun akan mendapatkan hal serupa. Dan satu hal yang pasti, mereka tidak akan pernah mengantri dengan perasaan was-was karena mereka tahu tidak akan ada orang lain yang  tiba-tiba menyerobot antrian seperti yang sering terjadi di ‘antrian ala Indonesia’.

Sunday 20 November 2011

Kamu lah Status Quo Itu!



Teruntuk KAMU,

Tidak pernah mudah buatku untuk mendefinisikan perasaan yang sudah lama mengikat jiwa bebasku ini. Sejak kamu masih berjinjit ketika melangkah masuk ke kawasan rentan yang aku sebut 'hati', sampai akhirnya sekarang saat kamu menghentakkan kaki, belum juga berhasil aku temukan kalimat atau bahkan kata yang tepat untuk menjelaskannya. Aku hanya tahu kamu adalah orang yang memesona. Kecantikanmu itu telah menaklukkan benteng ego dan self esteem ku. Eksistensimu telah berhasil menyadarkan aku akan sesuatu yang tidak pernah aku tahu namun benar terbentang disana, bahwa ada bagian dari diriku yang tidak pernah benar-benar terisi. Dan kamu secara ajaib telah berhasil menemukan jalanmu menuju ke titik tersebut dan mendiaminya. Suatu keadaan yang awalnya tidak bisa aku terima dengan logika. Sampai di suatu saat dimana aku tertegun dengan teori yang baru saja aku ciptakan. Kita ini makhluk luar angkasa yang datang dari planet yang sama di suatu tempat di galaksi Bima Sakti. Dan itu membuat semuanya tampak jelas. Kita memegang kunci yang sama, berbicara dengan bahasa serupa. Itu sebabnya sangat mudah menemukan jalanmu menuju ke pusat gravitasiku dan secara konstan menjatuhinya dengan serpihan rasa kagum akan dirimu.

Akan tetapi berbicara denganmu merupakan suatu perjuangan. Tidak pernah sebelumnya aku harus mati-matian hanya demi menyusun sebuah frasa. Dan selama pembicaraan itu, percayalah, jantungku berdebar tidak kalah kencang dengan mereka yang sedang berolah raga. Kamu pun cukup cerdas menghadapi seorang idealis perfeksionis seperti aku. Seorang yang memiliki control issues. Setiap kamu muncul, setiap itulah aku kehilangan kuasa akan diriku. Dan tidak ada yang lebih memuakkan dibanding menjadi pihak yang tidak berdaya. Semuanya terasa seperti gamble. Dan kalau itu tentangmu, setiap tebakan jituku hampir sembilan puluh persen selalu meleset. Pribadimu merupakan pribadi paling rumit yang aku pelajari. Kamu itu tidak jauh beda dengan cuaca di Inggris yang selalu berubah-ubah. Dari panas ke dingin, dari cerah ke gelap, dan dari sinar matahari ke hujan. Kamu adalah sebuah pengecualian terhadap banyak hal. Kamu adalah suhu di bawah lima derajat celcius yang diam-diam aku nikmati. Kamu adalah the wild card. Dan yang sangat menggangguku saat ini adalah kenyataan bahwa kamu telah menjadi satu-satunya alasan ekosistem tidak seimbang. Yes, the 'status quo' has finally changed, Honey.

Status Quo yang dulu sekarang sudah tidak berlaku. Things are utterly different. Sekarang kamu lah status quo itu. Kamu bukan lagi sekedar objek yang bisa aku nikmati. Lebih dari itu, kamu telah memposisikan dirimu sebagai subjek, seperti pemeran utama dalam sebuah cerita, pusat dari segala aktivitas. Aku pun mulai merasa nyaman dengan status quo baru ini. Kamu menciptakan sebuah abnormality yang sangat indah dan memikat, yang terkadang memaksaku untuk tawar menawar dengan harga diri. Sama seperti saat ini, ketika keinginan untuk sekedar melihat tanda-tanda keberadaanmu begitu kuat, harga diriku terpelanting jauh. Kamu sudah merajut jaring disekitarku. Aku pun sadar aku tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Aku merindukanmu, Cinta.



Wednesday 16 November 2011

Close to you, LOVE!

Went to Yogyakarta last week. The last time I visited the city was in January 2010- so not long ago! All the fellow teachers came along. We had so much fun shopping! Well after all, to me travelling means shopping! LOL! Yet the best bit is the outfit. I mean look at my jumpsuit and shoes! They are gorgeous, aren't they?!






Wednesday 9 November 2011

Angka = Kebahagiaan??


Malam itu Cinta sedang bahagia. Saking bahagianya, dia yang termasuk seorang introvert akut pun mampu melakukan percakapan panjang dengan kedua orang tuanya.

"Mulai bulan depan aku dapat tambahan jam siar. Program baru yang aku ajukan diterima." ujar Cinta tanpa bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
"Wah, hebat. Berarti kamu dapat tambahan juga kan?" respon sang ibu.
"Tambahan apa, Bu?" jawab Cinta setengah bingung.
"Ya gaji lah, apalagi. Kerja nambah, berarti digit juga nambah."
"Hehe..kalau yang itu belum, Bu."
"Lho kalau begitu kenapa nyari-nyari kerjaan? Toh nominal yang kamu terima tidak berbanding lurus?"
"Bu, aku bukannya nyari-nyari kerjaan. Aku nyari kesenangan dan kesenangan itu aku dapat ya dari siaran. Rasanya puas kalau bisa bikin para pendengar merasa terhibur."

***

"Dapat nilai berapa Sains nya, Ngga?"
"Dapat 90, Ma. Yang Angga pelajari tadi malam banyak yang keluar di tes. Bu Guru juga sering ngasih soal-soal itu di kelas sampai bosan"
"Wah, hebat anak mama. Selamat ya! Terus kemarin tes English dapat berapa?"
"Mm...cuma 60. Soalnya susah-susah Ma."
"Lho, tapi materinya sudah pernah diajarkan sama Bu Guru kan?"
"Ya sudah Ma. Tapi Bu Guru tidak pernah nyuruh aku menghafal ini itu."
"Terus di kelas kamu ngapain kalau tidak belajar?"
"Ya belajar, tapi gak hafal-hafalan. Biasanya aku disuruh bikin menu makanan tapi ditulis pakai English. Ada cake, cheese, noodle, juice, coffee dan lain-lain. Terus pernah disuruh bikin cerita tentang artis kesukaan. Terus ada fashion show juga Ma. Sama Bu Guru disuruh pakai shirt, skirt, cap, trousers, jacket, dan banyak lagi. Terus main game crosswords, banyak-banyakan menemukan kata melawan grup yang lain. Pokoknya aku seneng kalau waktunya English. Nggak apa-apa kalau dapat 60"

***

Dua orang sahabat tengah berargumen di suatu siang di tengah bulan November.

"Kapan nyusul? Nunggu apalagi? Sudah kepala 3 lho ya!"
"Hihi..santai dulu lah. Aku ini masih belum siap lahir batin."
"Ah kamu alasan aja dari dulu. Kamu ini memang aneh, Bil. Karir udah ok, tampang juga lebih dari pas-pasan, yang naksir juga banyak. Minta apalagi?"
"Aku cuma minta jodoh yang tepat. Untuk saat ini, Tuhan belum ngasih. Aku sudah cukup bahagia kok dengan keadaanku sekarang."
"Kamu salah, kebahagiaan itu kalau kita membina keluarga di usia yang tepat. Kepala 3 sudah sangat jauh lebih dari cukup."

Keesokan harinya...

"Kenapa hidupku seperti ini sih, Kak? Kenapa aku tidak bisa sebahagia kakak?"
"Ada apa Mel? Datang-datang kok memperkarakan kebahagiaan?"
"Ya aku iri ngeliat Kak Bila. Cantik, kerjaan bagus, pintar, banyak teman. Nggak kayak aku yang baru 28 tapi sudah kayak wanita umur 40 tahun yang terjebak dalam pernikahan tidak harmonis. Tahu gitu dulu aku tidak menikah muda"
"Kebahagiaan itu pilihan, Mer. Tidak peduli kamu menikah umur berapa, kalau memang saat menjalaninya kamu memilih untuk memberi ruang lebih pada kebahagiaan, ya kamu akan bahagia. Cobalah jadi pribadi yang positif, mungkin itu akan membantu."

***

Yusran, seorang office boy yang baru satu bulan bekerja di sebuah perusahaan besar sedang berbincang dengan seorang rekannya. 

"Sudah dengar belum? Pak Soni mau datang ke pabrik."
"Siapa itu Pak Soni?" Tanya Yusran dengan tampang innocent.
"Waduh payah kamu, Yus. Pak Soni itu ORANG NOMOR SATU di perusahaan ini. Pabrik ini merupakan satu dari empat pabriknya di seluruh Jawa. Dia sangat kaya, Yus. Andai saja kita punya sepersepuluh dari kekayaannya, kita pasti sangat bahagia."
"Kalau dia orang nomor satu, berarti aku orang nomor berapa ya Jon?" ucap Yusran sembari terkekeh.

Tidak lama di hari yang sama...

"Pak, mau saya bikinkan kopi?"
"Keluar kamu, jangan ganggu saya. Tidak tahu orang sedang kerja. Sialan kamu! Bikin hilang konsentrasi saja."
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu. Maaf." Ucap Yusran kaget.

Sambil berjalan meninggalkan kantor si bos di lantai dua, Yusran berpikir, "Kasian sekali orang nomor satu ini, pasti hari-harinya tidak bahagia karena bisa bicara sekasar itu pada orang seperti saya yang peringkat nya jauh di bawah dia dan bahkan bukan saingannya."

***

Apa yang aku tulis di atas merupakan beberapa ilustrasi singkat yang aku suguhkan sesuai dengan kemampuan dan kapasitasku. 'Angka' terkadang memang bisa menjadi ukuran yang paling baik. Seperti ukuran kaki saat kamu akan membeli sepatu atau ukuran badan saat kamu menjahitkan baju. Tapi tidak sedikit pula kasus dimana angka cuma menjadi 'ukuran palsu', yang tidak bisa menjamin harga asli dari perasaan individu. Sebut saja kebahagiaan. Kita tidak akan pernah tahu 'angka' berapa yang mampu mendeskripsikan kebahagiaan seseorang dengan tepat. Kebahagiaanku sekarang mungkin berkisar antara 1 juta...salah, mungkin 2 atau 3 juta. Well...mungkin 10 juta. Baiklah, aku tidak tahu dengan tepat berapa 'angka kebahagiaanku'. Tapi itu bukan masalah, karena yang jelas sekarang aku bahagia. 

"After all, I believe number has nothing to do with happiness." You?

Sunday 27 November 2011

Bapak dan Aku


Setiap berbicara tentang masa kecil, Ibu tidak pernah absen memberi tahu lawan bicaranya betapa manja dan arogannya a seven-year-old version of me.  Beliau lantas mengulang-ngulang cerita dimana aku menangis hebat sembari meneriakkan ‘mantra’ andalanku saat itu-Bapak, dengan diikuti penjelasan panjang lebar mengenai ketergantunganku akan sosok yang satu itu. Yah, Bapak memang tokoh idolaku sepanjang masa. Bukan karena kepintaran atau kepribadiannya, melainkan karena beliau selalu menjadikanku anak favoritnya, putri kesayangannya. Bapak adalah the fairy god mother. Orang pertama yang terlintas di pikiranku saat aku mendapat masalah dan yang dengan tongkat ajaibnya akan memberiku jalan keluar dari segala jenis kebuntuan. Hal ini tidak jarang menimbulkan kontra di antara saudara-saudaraku. Namun pada akhirnya, mereka selalu menemukan jalan masing-masing untuk memaklumi dan menerimanya.

Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ketiga saudaraku semuanya laki-laki. Posisi strategis sebagai satu-satunya anak perempuan inilah yang menjadikanku istimewa. Paling tidak begitu konsep awal yang di anut Ibu dan ketiga saudara laki-lakiku sebelum akhirnya teori itu berubah menjadi sebuah norma tidak tertulis di keluarga kami. Mungkin hal ini pula lah yang akhirnya menjadikanku begitu terikat secara emosional dengan Bapak, dan sering kali aku memanipulasi hubungan ini dengan menjadikannya senjata demi keuntungan pribadi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Namun semakin aku memahami diriku, semakin aku merasa this whole idea of ‘that special daughter’ was entirely incorrect. Semakin aku mengenal sosok Dini Rosita Sari, semakin aku tersadar bahwa aku ini tidak lain adalah bayangan yang dilihat Bapak setiap kali beliau bercermin. Aku adalah saudara kembar perempuan beliau, not literally of course.

Terkadang akan sangat sulit untuk mendefinisikan diri sendiri dibanding jika harus melakukan hal yang sama tentang orang lain. Aku pun merasakan hal yang sama. Dan sosok Bapak lah yang membantuku untuk memahami pribadi macam apa aku ini. Bapak adalah karakter yang sangat gamblang baik bagi orang terdekat ataupun kenalannya, namun dalam artian yang berbeda. Kenalannya mungkin akan menganggap beliau sosok yang akan dengan mudah dimintai pertolongan karena wataknya yang memang lembut dan toleran. Akan tetapi bagi ibu dan anak-anaknya, Bapak adalah pribadi yang sulit diperintah. Akan sangat menguras emosi dan energi hanya demi meminta beliau datang ke pernikahan saudara kalau itu bukan karena keinginannya. Hal ini lah yang terkadang menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil antara Bapak dan Ibu. Ibu tidak dan bahkan mungkin tidak akan pernah memahami semua itu, but I do, karena aku pun begitu. Kami berdua lemah lembut tapi keras kepala, toleran tapi tegas dan sering kali ringan tangan namun benci diperintah.

            Bapak juga merupakan perwujudan pribadi posesif kompulsif yang bebas. Ketika mencintai sesuatu, tanpa sadar beliau akan menunjukkan sebentuk perilaku unik yang tampak jelas bagi orang disekitarnya tapi tidak bagi dirinya sendiri. Saya ingat Ibu pernah berkata, “Bapak kamu itu lucu, Din. Dulu pernah beli kursi lipat, jumlahnya tiga biji. Padahal sudah tahu anaknya empat. Tidak lama eh beli kursi plastik, berapa jumlahnya? Tiga lagi. Terus pernah membeli kemeja warna putih berulang-ulang sampai lemari dipenuhi warna putih. Nah sekarang sepertinya beliau sedang menyukai warna hitam. Sudah lebih dari tiga kali beliau membeli kemeja warna hitam berturut-turut. Bapak kamu memang begitu, kalau sudah suka sama sesuatu, yang diulang-ulang ya benda itu.” Begitu cara Ibu secara literal mendeskripsikan karakter Bapak kepadaku. Sedangkan aku mungkin menjelaskannya dengan sedikit berbeda.

Bapak adalah jiwa perfeksionis. Yang selalu mencari kesempurnaan dari setiap hal, paling tidak bagi mata dan batinnnya sendiri. Itulah yang menjadikannya pribadi yang kompulsif. Selalu mengulang pola yang sama sampai akhirnya menemukan kombinasi yang menurutnya mendekati sempurna. Bapak adalah pria yang akan berulang kali bolak-balik memandang pantulan dirinya di dalam cermin, memperhatikan setiap detil busana yang dikenakannya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang melekat di badannya sudah yang paling indah. Begitu juga dalam mencintai sesuatu, he would do it so perfectly and passionately yang cenderung membuatnya tampak posesif namun juga sangat menikmati keposesifan. Tapi sekali kau beri kebebasan padanya, beliau akan menjelma menjadi burung yang tidak akan pernah bisa kau kandangkan, meski dengan sangkar emas sekalipun, persis seperti aku. Bapak dan aku adalah dua pribadi posesif namun haus kebebasan, perfeksionis tapi tidak membosankan.

            Satu watak lagi yang aku lihat setiap kali aku mengaca pada sosok Bapak yaitu kenyamanan dan kepercayaannya pada diri sendiri. Seorang yang inexplicably akan lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah di banding berkumpul dalam rapat RT dengan lelaki sebaya membahas isu-isu sosial. Beliau adalah sosok yang menghindari konflik dan perselisihan akan tetapi selalu melakukan apa yang menurutnya benar. Beliau adalah jenis orang yang tidak pandai bersosialisasi namun pintar bersahabat, orang yang tampak apatis namun dalam otakknya tercatat semua kepincangan yang ingin dan bisa dia selesaikan. Dan sama halnya dengan aku, Bapak adalah orang yang akan merasa nyaman di tempat yang tak karuan walaupun orang lain mengutuk habis-habisan kesemrawutan dunia kami.

            Begitu lah hubunganku dengan Bapak. Kami terikat secara emosional bukan karena beliau terlalu memanjakan aku, tapi karena beliau memahamiku, karena apa yang aku butuhkan hampir semuaya juga beliau butuhkan. Bapak dan aku, dua fisik yang berbeda akan tetapi terbentuk oleh pribadi dan karakter serupa. Kami adalah jiwa kembar yang mendiami raga yang disebut ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, menyandang status yang dipanggil ‘bapak’ dan ‘anak’.


*aku dedikasikan tulisan ini untuk sosok Bapak yang telah menjadi inspirasi terbesarku


Friday 25 November 2011

Antrian Ala Indonesia


Seminggu yang lalu saya dan seorang sahabat sepakat  pergi ke bioskop untuk nonton bareng salah satu film yang sudah lama ditunggu pemutarannya. Sebelum berangkat kami berdua sama-sama tahu bahwa untuk mendapatkan tiket bioskop kali ini akan menjadi perjuangan tersendiri. Terbuktilah semuanya setelah kami  mengantri selama satu setengah jam demi tidak kehabisan kertas kecil bertuliskan teater dan nomor kursi tersebut. Namun apa dikata, tepat saat loket pembelian dibuka, delapan gadis belia belasan tahun (dari wajah sepertinya rata-rata dibawah tujuh belas) tiba-tiba menyerondol barisan kami. Sang satpam hanya bisa mengomel tanpa ada tindakan jelas dan para ABG pun bersorak gembira atas keberhasilan mereka ‘menjinakkan’ sang satpam dan juga ‘menyeberangi’ lautan manusia yang sudah mengantri satu setengah jam sebelum mereka itu. Yah akhirnya saya dan sahabat memilih untuk merelakan delapan tiket melayang di depan mata. Tapi layaknya orang Indonesia asli, kami hanya bersyukur karena paling tidak kami masih kebagian.

Sepanjang perjalanan pulang sahabat ternyata mengeluhkan insiden sabotase antrian tersebut. Tidak ada hentinya dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, “mengapa orang Indonesia tidak tahu aturan? Mengapa mereka justru bangga atas sesuatu yang seharusnya memalukan? Mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju yang begitu teratur dan tahu cara menghargai orang lain?” Dan selanjutnya dia pun mengatakan sesuatu yang membuat saya merasa tertampar oleh kebenaran, “temanku dari Australia pernah bilang, “It’s so crazy here in Indonesia. People don’t seem to know how to respect each other. Kami di Australia tidak punya menteri agama, tapi kami tahu betul bagaimana menghargai hak orang lain. You do have it but you foolishly act like you don’t have one.” Usut punya usut, ternyata si ‘bule’ pernah mengalami peristiwa serupa.

Apa yang diceritakan sahabat saya benar-benar menohok. Terlepas objektif atau tidaknya pengaitan agama dengan sikap saling menghargai, saya tidak bisa menyangkal kebenaran di dalam ucapan kesal ‘bule’ tersebut. Bukankah sudah seharusnya negeri religius seperti Indonesia lebih menekankan etika dan sopan santun? Bukankah agama apa pun itu selalu mengajarkan pentingnya hubungan antar sesama selain hubungan vertikal dengan Tuhan? Lantas mengapa negeri tercinta Indonesia Raya ini malah miskin etika? Dan mengapa justru negeri yang kebanyakan rakyatnya mengaku not religious lah yang lebih mengerti cara menghormati orang lain? Apa yang salah dengan sistem perkembangan karakter masyarakat Indonesia?

Selama mencari jawaban logis atas pertanyaan-pertanyaan yang hanya berkutat di otak inilah tiba-tiba saya teringat pada kunjungan singkat saya ke negeri Ratu Elizabeth sebulan yang lalu. Sebagai salah satu negara maju, tidak heran kalau semua sistem yang mereka miliki berjalan jauh lebih teratur dibanding Indonesia. Memang benar salah satu penyebabnya adalah teknologi canggih yang memfasilitasi hampir setiap kegiatan, akan tetapi etika masyarakatnya pun ikut andil dalam hal ini. Setiap individu tampak sangat paham bahwa mereka hidup bersosialisasi. Hal ini tidak hanya sebatas teori yang disampaikan di dalam kelas seperti, maaf, yang kebanyakan terjadi di negara kita. Sebaliknya, semuanya jelas tercermin pada sikap dan tingkah laku sehari-hari.

Saat berada di lingkungan kerja singkat saya di Inggris, hampir setiap orang yang berpapasan dengan saya tidak pernah absen menanyakan kabar. Are you okay? How is it going? merupakan pertanyaan yang harus saya jawab lebih dari lima kali setiap harinya. Begitu juga dengan ucapan klasik thank you dan sorry, yang bahkan terdengar jauh lebih sering lagi oleh ‘telinga Indonesia’ saya. ‘Bule-bule’ itu jelas tahu cara menghargai orang lain. Mereka ingin membuat orang lain merasa nyaman dan timbal baliknya adalah mereka pun akan mendapatkan hal serupa. Dan satu hal yang pasti, mereka tidak akan pernah mengantri dengan perasaan was-was karena mereka tahu tidak akan ada orang lain yang  tiba-tiba menyerobot antrian seperti yang sering terjadi di ‘antrian ala Indonesia’.

Sunday 20 November 2011

Kamu lah Status Quo Itu!



Teruntuk KAMU,

Tidak pernah mudah buatku untuk mendefinisikan perasaan yang sudah lama mengikat jiwa bebasku ini. Sejak kamu masih berjinjit ketika melangkah masuk ke kawasan rentan yang aku sebut 'hati', sampai akhirnya sekarang saat kamu menghentakkan kaki, belum juga berhasil aku temukan kalimat atau bahkan kata yang tepat untuk menjelaskannya. Aku hanya tahu kamu adalah orang yang memesona. Kecantikanmu itu telah menaklukkan benteng ego dan self esteem ku. Eksistensimu telah berhasil menyadarkan aku akan sesuatu yang tidak pernah aku tahu namun benar terbentang disana, bahwa ada bagian dari diriku yang tidak pernah benar-benar terisi. Dan kamu secara ajaib telah berhasil menemukan jalanmu menuju ke titik tersebut dan mendiaminya. Suatu keadaan yang awalnya tidak bisa aku terima dengan logika. Sampai di suatu saat dimana aku tertegun dengan teori yang baru saja aku ciptakan. Kita ini makhluk luar angkasa yang datang dari planet yang sama di suatu tempat di galaksi Bima Sakti. Dan itu membuat semuanya tampak jelas. Kita memegang kunci yang sama, berbicara dengan bahasa serupa. Itu sebabnya sangat mudah menemukan jalanmu menuju ke pusat gravitasiku dan secara konstan menjatuhinya dengan serpihan rasa kagum akan dirimu.

Akan tetapi berbicara denganmu merupakan suatu perjuangan. Tidak pernah sebelumnya aku harus mati-matian hanya demi menyusun sebuah frasa. Dan selama pembicaraan itu, percayalah, jantungku berdebar tidak kalah kencang dengan mereka yang sedang berolah raga. Kamu pun cukup cerdas menghadapi seorang idealis perfeksionis seperti aku. Seorang yang memiliki control issues. Setiap kamu muncul, setiap itulah aku kehilangan kuasa akan diriku. Dan tidak ada yang lebih memuakkan dibanding menjadi pihak yang tidak berdaya. Semuanya terasa seperti gamble. Dan kalau itu tentangmu, setiap tebakan jituku hampir sembilan puluh persen selalu meleset. Pribadimu merupakan pribadi paling rumit yang aku pelajari. Kamu itu tidak jauh beda dengan cuaca di Inggris yang selalu berubah-ubah. Dari panas ke dingin, dari cerah ke gelap, dan dari sinar matahari ke hujan. Kamu adalah sebuah pengecualian terhadap banyak hal. Kamu adalah suhu di bawah lima derajat celcius yang diam-diam aku nikmati. Kamu adalah the wild card. Dan yang sangat menggangguku saat ini adalah kenyataan bahwa kamu telah menjadi satu-satunya alasan ekosistem tidak seimbang. Yes, the 'status quo' has finally changed, Honey.

Status Quo yang dulu sekarang sudah tidak berlaku. Things are utterly different. Sekarang kamu lah status quo itu. Kamu bukan lagi sekedar objek yang bisa aku nikmati. Lebih dari itu, kamu telah memposisikan dirimu sebagai subjek, seperti pemeran utama dalam sebuah cerita, pusat dari segala aktivitas. Aku pun mulai merasa nyaman dengan status quo baru ini. Kamu menciptakan sebuah abnormality yang sangat indah dan memikat, yang terkadang memaksaku untuk tawar menawar dengan harga diri. Sama seperti saat ini, ketika keinginan untuk sekedar melihat tanda-tanda keberadaanmu begitu kuat, harga diriku terpelanting jauh. Kamu sudah merajut jaring disekitarku. Aku pun sadar aku tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Aku merindukanmu, Cinta.



Wednesday 16 November 2011

Close to you, LOVE!

Went to Yogyakarta last week. The last time I visited the city was in January 2010- so not long ago! All the fellow teachers came along. We had so much fun shopping! Well after all, to me travelling means shopping! LOL! Yet the best bit is the outfit. I mean look at my jumpsuit and shoes! They are gorgeous, aren't they?!






Wednesday 9 November 2011

Angka = Kebahagiaan??


Malam itu Cinta sedang bahagia. Saking bahagianya, dia yang termasuk seorang introvert akut pun mampu melakukan percakapan panjang dengan kedua orang tuanya.

"Mulai bulan depan aku dapat tambahan jam siar. Program baru yang aku ajukan diterima." ujar Cinta tanpa bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
"Wah, hebat. Berarti kamu dapat tambahan juga kan?" respon sang ibu.
"Tambahan apa, Bu?" jawab Cinta setengah bingung.
"Ya gaji lah, apalagi. Kerja nambah, berarti digit juga nambah."
"Hehe..kalau yang itu belum, Bu."
"Lho kalau begitu kenapa nyari-nyari kerjaan? Toh nominal yang kamu terima tidak berbanding lurus?"
"Bu, aku bukannya nyari-nyari kerjaan. Aku nyari kesenangan dan kesenangan itu aku dapat ya dari siaran. Rasanya puas kalau bisa bikin para pendengar merasa terhibur."

***

"Dapat nilai berapa Sains nya, Ngga?"
"Dapat 90, Ma. Yang Angga pelajari tadi malam banyak yang keluar di tes. Bu Guru juga sering ngasih soal-soal itu di kelas sampai bosan"
"Wah, hebat anak mama. Selamat ya! Terus kemarin tes English dapat berapa?"
"Mm...cuma 60. Soalnya susah-susah Ma."
"Lho, tapi materinya sudah pernah diajarkan sama Bu Guru kan?"
"Ya sudah Ma. Tapi Bu Guru tidak pernah nyuruh aku menghafal ini itu."
"Terus di kelas kamu ngapain kalau tidak belajar?"
"Ya belajar, tapi gak hafal-hafalan. Biasanya aku disuruh bikin menu makanan tapi ditulis pakai English. Ada cake, cheese, noodle, juice, coffee dan lain-lain. Terus pernah disuruh bikin cerita tentang artis kesukaan. Terus ada fashion show juga Ma. Sama Bu Guru disuruh pakai shirt, skirt, cap, trousers, jacket, dan banyak lagi. Terus main game crosswords, banyak-banyakan menemukan kata melawan grup yang lain. Pokoknya aku seneng kalau waktunya English. Nggak apa-apa kalau dapat 60"

***

Dua orang sahabat tengah berargumen di suatu siang di tengah bulan November.

"Kapan nyusul? Nunggu apalagi? Sudah kepala 3 lho ya!"
"Hihi..santai dulu lah. Aku ini masih belum siap lahir batin."
"Ah kamu alasan aja dari dulu. Kamu ini memang aneh, Bil. Karir udah ok, tampang juga lebih dari pas-pasan, yang naksir juga banyak. Minta apalagi?"
"Aku cuma minta jodoh yang tepat. Untuk saat ini, Tuhan belum ngasih. Aku sudah cukup bahagia kok dengan keadaanku sekarang."
"Kamu salah, kebahagiaan itu kalau kita membina keluarga di usia yang tepat. Kepala 3 sudah sangat jauh lebih dari cukup."

Keesokan harinya...

"Kenapa hidupku seperti ini sih, Kak? Kenapa aku tidak bisa sebahagia kakak?"
"Ada apa Mel? Datang-datang kok memperkarakan kebahagiaan?"
"Ya aku iri ngeliat Kak Bila. Cantik, kerjaan bagus, pintar, banyak teman. Nggak kayak aku yang baru 28 tapi sudah kayak wanita umur 40 tahun yang terjebak dalam pernikahan tidak harmonis. Tahu gitu dulu aku tidak menikah muda"
"Kebahagiaan itu pilihan, Mer. Tidak peduli kamu menikah umur berapa, kalau memang saat menjalaninya kamu memilih untuk memberi ruang lebih pada kebahagiaan, ya kamu akan bahagia. Cobalah jadi pribadi yang positif, mungkin itu akan membantu."

***

Yusran, seorang office boy yang baru satu bulan bekerja di sebuah perusahaan besar sedang berbincang dengan seorang rekannya. 

"Sudah dengar belum? Pak Soni mau datang ke pabrik."
"Siapa itu Pak Soni?" Tanya Yusran dengan tampang innocent.
"Waduh payah kamu, Yus. Pak Soni itu ORANG NOMOR SATU di perusahaan ini. Pabrik ini merupakan satu dari empat pabriknya di seluruh Jawa. Dia sangat kaya, Yus. Andai saja kita punya sepersepuluh dari kekayaannya, kita pasti sangat bahagia."
"Kalau dia orang nomor satu, berarti aku orang nomor berapa ya Jon?" ucap Yusran sembari terkekeh.

Tidak lama di hari yang sama...

"Pak, mau saya bikinkan kopi?"
"Keluar kamu, jangan ganggu saya. Tidak tahu orang sedang kerja. Sialan kamu! Bikin hilang konsentrasi saja."
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu. Maaf." Ucap Yusran kaget.

Sambil berjalan meninggalkan kantor si bos di lantai dua, Yusran berpikir, "Kasian sekali orang nomor satu ini, pasti hari-harinya tidak bahagia karena bisa bicara sekasar itu pada orang seperti saya yang peringkat nya jauh di bawah dia dan bahkan bukan saingannya."

***

Apa yang aku tulis di atas merupakan beberapa ilustrasi singkat yang aku suguhkan sesuai dengan kemampuan dan kapasitasku. 'Angka' terkadang memang bisa menjadi ukuran yang paling baik. Seperti ukuran kaki saat kamu akan membeli sepatu atau ukuran badan saat kamu menjahitkan baju. Tapi tidak sedikit pula kasus dimana angka cuma menjadi 'ukuran palsu', yang tidak bisa menjamin harga asli dari perasaan individu. Sebut saja kebahagiaan. Kita tidak akan pernah tahu 'angka' berapa yang mampu mendeskripsikan kebahagiaan seseorang dengan tepat. Kebahagiaanku sekarang mungkin berkisar antara 1 juta...salah, mungkin 2 atau 3 juta. Well...mungkin 10 juta. Baiklah, aku tidak tahu dengan tepat berapa 'angka kebahagiaanku'. Tapi itu bukan masalah, karena yang jelas sekarang aku bahagia. 

"After all, I believe number has nothing to do with happiness." You?