Sunday 5 February 2012

Tentang Hobi dan Inspirasi


Kusendok cepat-cepat nasi goreng yang saling tumpang tindih di atas piring kaca lebar di hadapanku, sambil sesekali meneguk susu coklat hangat dari cangkir merah muda, pemberian dari seorang sahabat beberapa bulan yang lalu. Pagi ini aku bangun sedikit terlambat. Seperti biasa, aku memang melarang mama untuk menggedor pintu kamarku di pagi hari. Aku selalu menegaskan pada beliau bahwa aku ingin bangun atas kehendakku sendiri. Oleh karenanya aku memutuskan untuk membeli sebuah jam weker yang sejak satu tahun lalu terduduk manis di atas sebuah meja di samping kasur. Aku harus mandiri. Jam weker itu adalah salah satu perwujudan dari niat tersebut.

Tapi pagi ini aku merasakan kantuk luar biasa. Ketika weker itu berteriak tepat pada jam lima subuh tadi, aku malah memilih untuk membenamkan wajah ke dalam bantal. Tidak apa-apalah mengolor waktu barang sepuluh menit, pikirku. Tapi ternyata sepuluh menit berubah menjadi enam puluh menit. Dan beginilah kensekuensinya, aku harus melakukan kegiatan pagi tidak lebih dari tiga puluh menit saja. Karena tepat pada pukul setengah tujuh, aku harus sudah berada di atas boncengan mama menuju ke sebuah sekolah dasar dimana aku menimba ilmu selama hampir tiga tahun ini. 

Kantuk luar biasa yang aku rasakan tadi pagi bukannya tanpa alasan. Semalam, mata sipitku ini baru terpejam sekitar tengah malam. Bukan karena menonton film di televisi atau belajar, melainkan karena rasa gelisah yang mendadak menyerangku. Terdengar konyol memang, tapi itu benar-benar aku rasakan. Dan akan terdengar jauh lebih konyol saat aku katakan bahwa hal yang membuatku gelisah adalah kelas Bahasa Inggris. Kamu tahu mengapa? Karena pagi ini di kelas Bahasa Inggris aku akan menunjukkan kepada guru dan teman-temanku bahwa aku mempunyai hobi yang sangat menarik. Dan aku akan membuat mereka semua terbengong kagum melihat benda yang aku bawa ke kelas. 

Satu minggu yang lalu, Bu Kinan dengan jelas meminta kami untuk memilih satu jenis barang yang berhubungan erat dengan kegemaran kami, membawanya ke kelas di pertemuan selanjutnya dan menceritakan apa yang biasa kami lakukan dengan benda tersebut. Otakku sibuk mencari sesuatu yang bisa mengundang decak kagum. Berulang-ulang aku tanyakan kepada mama dan papa tentang apa yang seharusnya aku bawa, tapi jawaban mereka belum bisa memuaskan keinginanku untuk mencuri perhatian guru dan teman-teman sekelas. Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu, sebuah ide cemerlang seolah terketik secara otomatis di otakku. Iya, benda itu lah yang akan aku bawa ke kelas. Sudah lama memang aku tidak menekuni hobi yang satu ini, tapi bagaimanapun hal itu benar-benar pernah menjadi suatu kegemaran, bukan? Maka perasaan tidak sabar akan hari esok membuatku terjaga sampai hampir tengah malam. 

Kulirik tas ransel bergambarkan sepasang kupu-kupu cantik yang kini tergeletak di atas kursi di sampingku. Benda itu sudah aman berada di dalamnya. Dengan benda itu, aku akan membuat teman-teman merasa iri. Kulafalkan sekali lagi presentasi dalam Bahasa Inggris yang sudah aku buat dua hari sebelumnya dengan bantuan mama. Lancar. Seolah aku sudah benar-benar bisa berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Aku merasa seperti orang ‘bule’ kalau sudah begini. Berbekal benda yang ada di dalam ransel unguku dan apa yang baru saja aku ucapkan, sudah pasti kelas Bahasa Inggris di hari Kamis ini sepenuhnya akan menjadi milikku. 

***

Kami mepunyai perjanjian lisan dengan Bu Kinan. Bahwa setiap pergantian pelajaran Bahasa Inggris, maka setiap siswa harus sudah pada posisi siap belajar. Dalam artian kita semua harus sudah duduk manis di atas tempat duduk masing-masing dan tidak membuat kebisingan tak berarti. Kalau perjanjian ini dilanggar, maka Bu Kinan tidak akan memasuki kelas kami. Sejauh ini, aku dan teman-teman cukup berhasil dalam melaksanakannya. 

Begitu juga pagi ini, teman-teman sudah siap di kursi masing-masing. Mata mereka tampak berbinar penuh gairah. Sepertinya, bukan cuma aku yang tidak sabar ingin membuka bungkus yang menyelimuti benda misterius yang sedari tadi kami bawa. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Beberapa teman tampak sedang sibuk menghafal baris-baris presentasinya, sama seperti yang aku lakukan pagi tadi di meja makan. Bahkan ada beberapa yang sudah dengan bangga menunjukkan benda-benda favoritnya. Diantaranya aku melihat kaos sepak bola bertuliskan “Messi”, sebuah kaca mata renang, sebuah boneka beruang dan beberapa benda lainnya. Sejauh ini aku belum melihat ada seorang temanpun membawa benda yang sama dengan apa yang kusimpan rapi di dalam ransel. Diam-diam aku mengembangkan senyum.

Akhirnya saat itu datang. Terdengar suara langkah cepat dan tegas. Sudah jelas itu langkah Bu Kinan. Ketua kelas kami pun sibuk menyiapkan anggotanya, menginstruksikan kepada mereka untuk segera meletakkan benda-benda misteriusnya ke dalam loker meja masing-masing. Dan..muncullah sosok itu. Bu Kinan yang kurus, terutama bila dibanding dengan kebanyakan guru kami yang lain. Namun jangan salah, dibalik tubuhnya yang kurus itu, kami sering sekali mendengar suaranya yang menggelegar. Tapi tunggu dulu, apa itu yang ada di gendongan tangannya? Sebuah benda yang dibungkus oleh plastik hitam. Melihat dari bentuknya yang kotak, sepertinya itu adalah sebuah buku. Tapi aku tidak pernah tahu ada buku sebesar itu. Rasa penasaran seketika membuyarkan konsentrasiku pada tugas presentasi. 

Setelah mengucap salam dalam Bahasa Inggris, Bu Kinan menyakan kesiapan kami akan presentasi kali ini. Semua anak menjawab serentak, “Yes, Ma’am.” kemudian dilangkahkan kakinya menuju meja dan dengan terampil jari-jemarinya mulai membuka bungkusan plastik hitam yang dibawanya tadi. Saat akhirnya bungkusan itu terbuka, aku dan teman-teman dibuat kaget. Ternyata benar, benda kotak itu tidak lain adalah sebuah buku. Namun buku itu tidak seperti buku-buku yang aku punya atau yang terdapat di perpustakaan sekolah. Buku itu bersampul merah tua dengan tulisan berwarna kuning keemasan di sampul depannya. Ada sebuah gambar pria tua dengan memegang sesuatu seperti rokok namun tidak tampak seperti rokok. Aku tidak  tahu benda itu harus disebut apa. Rasa penasaranku buncah.

Bu Kinan tanpa diminta lantas bercerita bahwa buku itu adalah benda favoritnya. Dia membelinya dengan harga sepuluh poundsterling, atau sekitar seratus lima puluh ribu rupiah. Dan kamu tahu ada berapa halaman di buku tersebut? Seribu empat ratus delapan. Tidak kurang tidak lebih. Bisa kamu bayangkan butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikannya. Buku itu dibelinya sewaktu dia berkunjung ke Inggris beberapa saat lalu. Yang membuat Bu Kinan tertarik untuk membelinya adalah karena Bu Kinan merupakan penggemar si penulis. Dia sangat mengagumi karakter utama dari cerita fiksi yang berkisah mengenai seorang detektif itu, yang belakangan aku tahu ternyata sangat terkenal, Sherlock Holmes. Dari situ aku menyimpulkan bahwa Bu Kinan benar-benar suka membaca.

Sungguh senang rasanya mendengar Bu Kinan bercerita tentang hobi dan benda favoritnya tersebut. Kami dibuat kagum dengan cerita tentang bagaimana hobinya itu akhirnya membawa dia terbang ke Inggris dan bahkan benar-benar mendatangi museum Sherlock Holmes di jantung kota London. “Mimpi yang menjadi kenyataan”, ujarnya. Aku juga ingin menjadi seperti Bu Kinan. Aku ingin menekuni hobiku dengan lebih serius. Seperti kata Bu Kinan, hobi itu adalah salah satu cara untuk mengasah bakat dan kemampuan setiap orang. Semakin kau tekuni, semakin terampil kau dibuatnya. Semangatku terbakar. Kupegang erat sebuah album yang memuat lembaran-lembaran kertas yang penuh dengan goresan tanganku. Iya, hobiku adalah menulis. Suatu hari aku ingin menjadi penulis terkenal. Penulis yang buku-bukunya digemari oleh orang seperti Bu Kinan. Bayangkan betapa kerennya jika melihat seseorang bercerita tentang penulis pujaannya dan ternyata penulis itu adalah aku?

Lamat-lamat aku mendengar Bu Kinan menawarkan kesempatan pertama untuk melakukan presentasi. Tanpa ragu, aku angkat tangan kananku dan melangkahkan kaki ke depan kelas. Semoga ini adalah awal dari mimpi yang jadi kenyataan.

*Persembahan kecil bagi teman seprofesi. Remember, a great teacher inspires!

A Letter from (an) Angel


 It is indeed something small like this that makes me fall…

How I Unwind


I have never liked being under the spotlight. It makes me feel uncomfortable. I'd rather remain oblivious- when people just pass me by without even taking a glance. The best possible way for a person like me to unwind? Grab a book and a purse, and then go to this very place where I inexplicably feel peaceful- a park.

I love parks. I love being amongst the trees, walking on the wet grass and paddling my feet in a heap of dried leaves. I love to just sit there on the park bench reading my book and gulping down my tea. It's a heaven on earth. The best easiest way to get a charm.

This is how I unwind...

Sunday 5 February 2012

Tentang Hobi dan Inspirasi


Kusendok cepat-cepat nasi goreng yang saling tumpang tindih di atas piring kaca lebar di hadapanku, sambil sesekali meneguk susu coklat hangat dari cangkir merah muda, pemberian dari seorang sahabat beberapa bulan yang lalu. Pagi ini aku bangun sedikit terlambat. Seperti biasa, aku memang melarang mama untuk menggedor pintu kamarku di pagi hari. Aku selalu menegaskan pada beliau bahwa aku ingin bangun atas kehendakku sendiri. Oleh karenanya aku memutuskan untuk membeli sebuah jam weker yang sejak satu tahun lalu terduduk manis di atas sebuah meja di samping kasur. Aku harus mandiri. Jam weker itu adalah salah satu perwujudan dari niat tersebut.

Tapi pagi ini aku merasakan kantuk luar biasa. Ketika weker itu berteriak tepat pada jam lima subuh tadi, aku malah memilih untuk membenamkan wajah ke dalam bantal. Tidak apa-apalah mengolor waktu barang sepuluh menit, pikirku. Tapi ternyata sepuluh menit berubah menjadi enam puluh menit. Dan beginilah kensekuensinya, aku harus melakukan kegiatan pagi tidak lebih dari tiga puluh menit saja. Karena tepat pada pukul setengah tujuh, aku harus sudah berada di atas boncengan mama menuju ke sebuah sekolah dasar dimana aku menimba ilmu selama hampir tiga tahun ini. 

Kantuk luar biasa yang aku rasakan tadi pagi bukannya tanpa alasan. Semalam, mata sipitku ini baru terpejam sekitar tengah malam. Bukan karena menonton film di televisi atau belajar, melainkan karena rasa gelisah yang mendadak menyerangku. Terdengar konyol memang, tapi itu benar-benar aku rasakan. Dan akan terdengar jauh lebih konyol saat aku katakan bahwa hal yang membuatku gelisah adalah kelas Bahasa Inggris. Kamu tahu mengapa? Karena pagi ini di kelas Bahasa Inggris aku akan menunjukkan kepada guru dan teman-temanku bahwa aku mempunyai hobi yang sangat menarik. Dan aku akan membuat mereka semua terbengong kagum melihat benda yang aku bawa ke kelas. 

Satu minggu yang lalu, Bu Kinan dengan jelas meminta kami untuk memilih satu jenis barang yang berhubungan erat dengan kegemaran kami, membawanya ke kelas di pertemuan selanjutnya dan menceritakan apa yang biasa kami lakukan dengan benda tersebut. Otakku sibuk mencari sesuatu yang bisa mengundang decak kagum. Berulang-ulang aku tanyakan kepada mama dan papa tentang apa yang seharusnya aku bawa, tapi jawaban mereka belum bisa memuaskan keinginanku untuk mencuri perhatian guru dan teman-teman sekelas. Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu, sebuah ide cemerlang seolah terketik secara otomatis di otakku. Iya, benda itu lah yang akan aku bawa ke kelas. Sudah lama memang aku tidak menekuni hobi yang satu ini, tapi bagaimanapun hal itu benar-benar pernah menjadi suatu kegemaran, bukan? Maka perasaan tidak sabar akan hari esok membuatku terjaga sampai hampir tengah malam. 

Kulirik tas ransel bergambarkan sepasang kupu-kupu cantik yang kini tergeletak di atas kursi di sampingku. Benda itu sudah aman berada di dalamnya. Dengan benda itu, aku akan membuat teman-teman merasa iri. Kulafalkan sekali lagi presentasi dalam Bahasa Inggris yang sudah aku buat dua hari sebelumnya dengan bantuan mama. Lancar. Seolah aku sudah benar-benar bisa berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Aku merasa seperti orang ‘bule’ kalau sudah begini. Berbekal benda yang ada di dalam ransel unguku dan apa yang baru saja aku ucapkan, sudah pasti kelas Bahasa Inggris di hari Kamis ini sepenuhnya akan menjadi milikku. 

***

Kami mepunyai perjanjian lisan dengan Bu Kinan. Bahwa setiap pergantian pelajaran Bahasa Inggris, maka setiap siswa harus sudah pada posisi siap belajar. Dalam artian kita semua harus sudah duduk manis di atas tempat duduk masing-masing dan tidak membuat kebisingan tak berarti. Kalau perjanjian ini dilanggar, maka Bu Kinan tidak akan memasuki kelas kami. Sejauh ini, aku dan teman-teman cukup berhasil dalam melaksanakannya. 

Begitu juga pagi ini, teman-teman sudah siap di kursi masing-masing. Mata mereka tampak berbinar penuh gairah. Sepertinya, bukan cuma aku yang tidak sabar ingin membuka bungkus yang menyelimuti benda misterius yang sedari tadi kami bawa. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Beberapa teman tampak sedang sibuk menghafal baris-baris presentasinya, sama seperti yang aku lakukan pagi tadi di meja makan. Bahkan ada beberapa yang sudah dengan bangga menunjukkan benda-benda favoritnya. Diantaranya aku melihat kaos sepak bola bertuliskan “Messi”, sebuah kaca mata renang, sebuah boneka beruang dan beberapa benda lainnya. Sejauh ini aku belum melihat ada seorang temanpun membawa benda yang sama dengan apa yang kusimpan rapi di dalam ransel. Diam-diam aku mengembangkan senyum.

Akhirnya saat itu datang. Terdengar suara langkah cepat dan tegas. Sudah jelas itu langkah Bu Kinan. Ketua kelas kami pun sibuk menyiapkan anggotanya, menginstruksikan kepada mereka untuk segera meletakkan benda-benda misteriusnya ke dalam loker meja masing-masing. Dan..muncullah sosok itu. Bu Kinan yang kurus, terutama bila dibanding dengan kebanyakan guru kami yang lain. Namun jangan salah, dibalik tubuhnya yang kurus itu, kami sering sekali mendengar suaranya yang menggelegar. Tapi tunggu dulu, apa itu yang ada di gendongan tangannya? Sebuah benda yang dibungkus oleh plastik hitam. Melihat dari bentuknya yang kotak, sepertinya itu adalah sebuah buku. Tapi aku tidak pernah tahu ada buku sebesar itu. Rasa penasaran seketika membuyarkan konsentrasiku pada tugas presentasi. 

Setelah mengucap salam dalam Bahasa Inggris, Bu Kinan menyakan kesiapan kami akan presentasi kali ini. Semua anak menjawab serentak, “Yes, Ma’am.” kemudian dilangkahkan kakinya menuju meja dan dengan terampil jari-jemarinya mulai membuka bungkusan plastik hitam yang dibawanya tadi. Saat akhirnya bungkusan itu terbuka, aku dan teman-teman dibuat kaget. Ternyata benar, benda kotak itu tidak lain adalah sebuah buku. Namun buku itu tidak seperti buku-buku yang aku punya atau yang terdapat di perpustakaan sekolah. Buku itu bersampul merah tua dengan tulisan berwarna kuning keemasan di sampul depannya. Ada sebuah gambar pria tua dengan memegang sesuatu seperti rokok namun tidak tampak seperti rokok. Aku tidak  tahu benda itu harus disebut apa. Rasa penasaranku buncah.

Bu Kinan tanpa diminta lantas bercerita bahwa buku itu adalah benda favoritnya. Dia membelinya dengan harga sepuluh poundsterling, atau sekitar seratus lima puluh ribu rupiah. Dan kamu tahu ada berapa halaman di buku tersebut? Seribu empat ratus delapan. Tidak kurang tidak lebih. Bisa kamu bayangkan butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikannya. Buku itu dibelinya sewaktu dia berkunjung ke Inggris beberapa saat lalu. Yang membuat Bu Kinan tertarik untuk membelinya adalah karena Bu Kinan merupakan penggemar si penulis. Dia sangat mengagumi karakter utama dari cerita fiksi yang berkisah mengenai seorang detektif itu, yang belakangan aku tahu ternyata sangat terkenal, Sherlock Holmes. Dari situ aku menyimpulkan bahwa Bu Kinan benar-benar suka membaca.

Sungguh senang rasanya mendengar Bu Kinan bercerita tentang hobi dan benda favoritnya tersebut. Kami dibuat kagum dengan cerita tentang bagaimana hobinya itu akhirnya membawa dia terbang ke Inggris dan bahkan benar-benar mendatangi museum Sherlock Holmes di jantung kota London. “Mimpi yang menjadi kenyataan”, ujarnya. Aku juga ingin menjadi seperti Bu Kinan. Aku ingin menekuni hobiku dengan lebih serius. Seperti kata Bu Kinan, hobi itu adalah salah satu cara untuk mengasah bakat dan kemampuan setiap orang. Semakin kau tekuni, semakin terampil kau dibuatnya. Semangatku terbakar. Kupegang erat sebuah album yang memuat lembaran-lembaran kertas yang penuh dengan goresan tanganku. Iya, hobiku adalah menulis. Suatu hari aku ingin menjadi penulis terkenal. Penulis yang buku-bukunya digemari oleh orang seperti Bu Kinan. Bayangkan betapa kerennya jika melihat seseorang bercerita tentang penulis pujaannya dan ternyata penulis itu adalah aku?

Lamat-lamat aku mendengar Bu Kinan menawarkan kesempatan pertama untuk melakukan presentasi. Tanpa ragu, aku angkat tangan kananku dan melangkahkan kaki ke depan kelas. Semoga ini adalah awal dari mimpi yang jadi kenyataan.

*Persembahan kecil bagi teman seprofesi. Remember, a great teacher inspires!

A Letter from (an) Angel


 It is indeed something small like this that makes me fall…

How I Unwind


I have never liked being under the spotlight. It makes me feel uncomfortable. I'd rather remain oblivious- when people just pass me by without even taking a glance. The best possible way for a person like me to unwind? Grab a book and a purse, and then go to this very place where I inexplicably feel peaceful- a park.

I love parks. I love being amongst the trees, walking on the wet grass and paddling my feet in a heap of dried leaves. I love to just sit there on the park bench reading my book and gulping down my tea. It's a heaven on earth. The best easiest way to get a charm.

This is how I unwind...