Saturday 24 March 2012

Anak itu Jiwanya Besar


Sepasang mata itu membelalak, sorotnya diarahkan lekat ke bola mataku. Bahkan dengan sisa jarak yang berdasarkan hitungan kasar serta mengandalkan kemampuan matematika yang bisa dibilang sangat pas-pasan adalah berkisar 10 meter, aku bisa dengan jelas melihat perubahan binar didalamnya. Sepertinya gadis kecil ini sudah sedari tadi menanti kehadiranku. 

Good morning, Ma’am.” Sapaan khas anak didik kepada guru perempuan di sekolah tempat aku mengajar ini pun diucapkannya dengan penuh unsur magis. Seolah ada lonceng tak terlihat yang seketika bergemerincing mengiringi ucapannya. Tersungging senyum yang teramat manis dibibirnya ketika aku mendekat.

Morning.” Jawabku sembari mengulas senyum yang tidak kalah manisnya. Meskipun secara teknis aku enam belas tahun lebih tua dari anak didikku yang satu ini, dan akan kalah telak jika harus melawan kelincahan dan kespontanannya, aku merasa masih bisa berkompetisi dengannya, paling tidak dalam hal ‘senyuman manis’ tadi.

“Ini Ma’am buku-bukunya C. S. Lewis yang kemarin aku bilang ke Ma’am lewat SMS.” Terangnya sembari menyodorkan tiga bendel buku yang sebenarnya tidak asing lagi buatku. Setiap pergi ke toko buku, tidak pernah absen aku melihatnya terpampang di salah satu rak di dalam toko tersebut. 

“Wah terima kasih ya, Ras. Tapi mungkin Ma’am ngembalikannya agak lama. Tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Ma’am. Santai saja. Besok aku bawakan lagi empat buku sisanya, semuanya kan ada tujuh buku, Ma’am.” Yang dimaksud olehnya disini adalah tujuh buku The Chronicles of Narnia yang luar biasa terkenal dan sudah diangkat ke layar lebar itu.

“WOW! Okay, thank you, Ras. Kamu memberi PR yang lumayan banyak nih ke Ma’am.” Ujarku dengan sedikit merasa terintimidasi oleh Bu Guru kecil yang sedang berdiri dengan PD di hadapanku ini. Merasa terintimidasi apakah aku akan bisa menyelesaikan PR dengan baik dan tepat waktu.

***

Namanya Raras. Sekarang dia masih duduk di bangku kelas enam SD. Tapi jangan samakan ‘enam SD’-nya dengan ‘enam SD’-ku. ‘Enam SD’-ku artinya berhaha-hihi dengan teman, bertengkar dan kemudian tidak saling sapa, juga malas berangkat sekolah karena takut pada Guru Matematika. Sedangkan ‘enam SD’-nya berarti ikut lomba pidato Bahasa Inggris dan baca puisi, bergabung dalam klub jurnalistik, serta mengembangkan hobi fotografi. Kalau dulu ketika seumurannya aku masih sibuk dengan dakon, bongkar pasang dan bekel, dia sudah berkutat dengan blog, powerpoint, dan buku. Dan khusus untuk yang terakhir tadi, gadis cilik ini benar-benar membuatku heran sekaligus lega karena akhirnya ada kesamaan diantara setumpuk perbedaan ‘enam SD’ antara kami berdua, yaitu kami sama-sama berangan membangun sebuah perpustakaan pribadi.

Tidak kusangka ada gadis berumur sebelas tahun yang sudah begitu cintanya pada dunia baca, terutama melihat sebagian besar anak bangsa yang bahkan tidak tahu pentingnya budaya literasi ini. Dan demi menggapai citanya tersebut, rupanya dia sudah banyak mengambil langkah pasti. Sudah banyak buku yang dikoleksinya. Tidak tanggung-tanggung, buku yang dibaca pun bukan lagi buku cerita bergambar seperti yang selalu laris manis dipinjam siswa-siswa dari perpustakaan sekolah kami, tapi buku-buku yang mungkin banyak kakak kelasnya di SMP ataupun SMA bahkan tidak mau membacanya.

Gadis ini sudah kenal dengan Tere Liye dan Hafalan Shalat Delisa ataupun Dahlan Iskan dan Ganti Hati. Dia juga akrab dengan penulis internasional macam C.S. Lewis, Enid Blyton ataupun Roald Dahl. Dan nampaknya, kini si gadis cilik akan segera melebarkan sayapnya ke dunia sastra dan filsafat. Hal ini aku simpulkan sesaat setelah aku menerima SMS darinya siang tadi.

“Ma’am jadi beli bukunya Dahlan Iskan?”

“Tidak jadi, Ras. Ma’am kemarin beli beberapa buku sastra dan filsafat.”

“Aku sudah beli buku Dahlan Iskan, Ma’am. Juga bukunya Dee yang Madre. Aku tahu buku itu setelah baca blog Ma’am, Go Grab Books.”

“Wah padahal Ma’am sudah lama tidak posting di blog yang itu, Ras.”

“Ma’am sudah dapat bukunya Pramoedya Ananta Toer belum? Aku boleh pinjam Ma’am?”

“Dapat, tapi belum lengkap. Boleh, besok Ma’am bawakan yang biografi Kartini. Ma’am juga punya buku filsafat nih. Ceritanya tentang buku-buku dan perpustakaan ajaib. Mau pinjam?”

“Okay, Ma’am. Pinjam ya??”

“Sip.”

Mau jadi apakah gadis cilik ini? Sesaat aku merasa kecil dan.. iri hati. Iri pada minat bacanya yang gendut dibalik badannya yang kurus. Iri pada segudang prestasi yang didapatkannya di usianya yang masih belia. Iri pada semangatnya dalam menghidupkan budaya literasi. Hal ini bukan sekedar tong kosong nyaring bunyinya, aku sudah berulang kali mendapatinya meminjamkan buku-bukunya pada teman dan bahkan menyumbangkannya pada perpustakaan sekolah. Bukankah itu perwujudan paling nyata?

Di sisi lain, aku merasa bangga. Melihat anak didik yang berkilau dengan begitu indahnya. Dan bahkan hanya dengan berbincang beberapa menit saja aku tahu dia bujan anak kelas enam SD biasa. Cita-citanya besar, sebesar jiwa sosialnya. Kini aku merasa dia adalah seorang perempuan dewasa, bukan lagi anak didik apalagi anak kecil. Seketika ada yang membuncah di dadaku. Ah.. Begini rupanya kebahagiaan sejati itu.

Sunday 11 March 2012

Aduh Ibu!


Aduh Ibu, apa yang tadi malam kau lakukan?
Bukankah seharusnya kau di pojok kamar itu memegangi tangan kanannya
ketika dia belajar menggoreskan ujung sebuah pensil warna di atas selembar kertas?
Tidakkah kau mendudukkannya di pangkuanmu yang hangat?
Mengejakan puluhan huruf yang ada di buku cerita yang kini menyembul bisu dari tas sekolahnya.
Korupsi lah lima belas menit saja dari malam gemerlapmu
Sekedar untuk menjawab semua pertanyaan konyol khas anak-anak yang meluncur dengan lugu dari mulut kecilnya itu.
Oh Ibu, kenapa kau lewatkan kesempatan emas yang dititipkan Tuhan melalui malaikat kecil, yang dulu kau kandung di dalam rahimmu?


Aduh Ibu, apa yang sedang kau lakukan?
Benarkah gaun, tas, sepatu dan make up kini menjadi satu-satunya kenikmatan bagimu?
Lantas bagaimana dengan robot, mobil-mobilan, boneka beruang ataupun Barbie?
Benda-benda yang berhasil memaku dia pada pandangan pertama.
Yang kini teronggok di sudut kotak segi empat berharap suatu saat kau mau memainkannya bersama tuan kecilnya.
Ibu, tidakkah kau ingin menikmati sebuah pertunjukan ala kadarnya yang dipersiapkan khusus untukmu?
Yang mungkin dia pelajari saat bercanda dengan teman-teman atau gurunya.
Oh Ibu, ayolah ambil kursi dan duduk di hadapannya, minta dia menyanyi untukmu.


Aduh Ibu, apa lagi yang kini sedang kau lakukan?
Bukankah semestinya kau duduk di meja makan dan menanyakan bagaimana harinya di sekolah?
Lihatlah ada banyak sekali cerita yang dia simpan untukmu.
Tidakkah kau ingin tahu bagaimana tangannya bisa tergores atau bagaimana baju putih bersihnya bisa berbekas noda?
Ah Ibu, kau melewatkan setiap detilnya.
Sekarang dia tidak akan lagi menunggumu pulang dengan sebuah pensil warna di tangan.
Tidak akan ada lagi buku cerita yang menyembul dari dalam tas apalagi sebuah pertunjukan.
Oh Ibu, dia sekarang menghilang.
Bukan lagi malaikat kecil dengan tawa riang.
Siapakah dia sekarang?

Saturday 3 March 2012

Ingin jadi PNS apa Guru sih?


“Kalau niat awalnya ingin mendidik, jadi atau tidak jadi PNS seharusnya tidak masalah bukan? Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjadi Guru.”


Biarkan aku bernostalgia ke empat tahun silam, ketika akhirnya aku resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Sebuah pencapaian paling prestisius bagiku dan keluargaku kala itu yang ditandai dengan berlabuhnya selembar kertas berharga jutaan rupiah yang disebut ‘ijazah’ ke genggaman tangan. Saat itu terlintas dibenak akan masa depan yang terang benderang, dalam artian aku akan menjadi seorang pengajar dengan gaji dari pemerintah yang jumlahnya cukup menggiurkan. Aku memang begitu naifnya menganggap semua Sarjana Pendidikan yang menjadi guru akan secara otomatis menjadi PNS. Gambaran tentang PNS memang selalu buram di pikiranku. Tidak ada satupun dari silsilah keluargaku yang menyandang titel tersebut. Jadi wajar kalau sampai menginjak kampus pun aku tidak pernah mempunyai data valid mengenai seorang pegawai negeri sipil. Yang aku tahu hanya bahwa menjadi PNS berarti hidupmu akan 'aman'.

Ternyata kenyataan hidup memang terkadang sungguh pahit. Betapa kecewanya aku ketika tahu ternyata untuk menjadi seorang PNS itu tidak sekedar masalah menjadi guru, tak peduli seberapa tinggi kompetensimu di bidang yang kamu geluti tersebut. Menjadi PNS itu berarti kamu harus melawan ratusan orang di sebuah tes yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat demi tempat yang terkadang bisa dihitung dengan jari. Menjadi PNS itu berarti salah satu antara keberuntungan atau keberanian. Belakangan aku tahu ternyata yang terakhir lah yang lebih banyak berbicara. Dan mungkin itu pula sebabnya akhir-akhir ini muncul slogan dalam Bahasa Jawa “wani piro?” yang makin lama makin populer sebagai bahan candaan. Sebuah humor sinis dari masyarakat kecil seperti aku.

Dan semuanya terbukti pada saat aku mengikuti tes yang akrab disebut tes CPNS tersebut untuk pertama kalinya. Kala itu aku melamar menjadi seorang guru Bahasa Inggris, satu-satunya hal yang aku pikir bisa aku lakukan dengan sangat baik, mengingat pencapaian yang aku raih di kampus. Dan dengan tingkat percaya diri yang tinggi, akhirnya aku maju ke medan perang. Semangat juang aku kobarkan, senjata aku genggam erat di tangan. Tapi bagaikan petir di siang bolong, alangkah kagetnya aku saat tahu ternyata yang harus aku kerjakan justru seratus soal psikotes. Oh tidaaaak! Bagaimana mungkin mereka bisa tahu kemampuanku kalau yang harus aku kerjakan adalah seratus soal ‘berandai-andai.’ Tidak ada simple past tense ataupun future tense, apalagi micro teaching. Aku pun mengerjakan soal-soal itu dengan asal. Memaksa otakku mengeluarkan jawaban dari soal yang tidak pernah diajarkan oleh para dosen di bangku kuliah dulu. Sejak saat itu aku kapok dengan yang namanya tes CPNS. Goodbye tes CPNS.

Kecewa? Sudah pasti. Apalagi setelah mendengar info dari berbagai sumber tentang betapa nyamannya hidup seorang PNS di negeri kita ini. Seolah nasib baik tiba-tiba dihapus dari garis takdirku. Namun beruntung kekecewaan ini tidak berumur panjang. Karena dari awal aku memang tidak kenal baik dengan konsep PNS yang sering digembor-gemborkan orang tersebut. Tak kenal maka tak sayang! Begitulah, saat impian menjadi PNS akhirnya melayang, aku tetap bisa santai. Kekecewaan menguap dengan cepat, dan yang pasti sudah mati keinginanku untuk berlomba di medan tes CPNS. 

Selanjutnya aku runtut lagi semua dari awal. Aku suka mengajar, aku ingin menjadi guru. Pekerjaan ini adalah satu-satunya hal yang ingin dan bisa aku lakukan dengan hati. Dan untuk menjadi guru aku tidak perlu menjadi PNS dulu bukan? Akhirnya aku putuskan untuk mengajar di salah satu sekolah swasta. Disini hasratku akan dunia pendidikan akhirnya terpuaskan. Meskipun tidak menyandang gelar PNS, ternyata aku tetap bisa mendidik anak bangsa. Ada yang bilang mengajar itu adalah panggilan hati, sebuah pekerjaan mulia yang bisa dilakukan siapa saja meski tanpa embel-embel PNS. Itu memang benar. Sampai sekarang aku tetap bukan PNS, aku hanya seorang guru. Gaji yang aku terima pun tidak sebesar PNS, tapi aku bekerja tidak kalah profesional. Sekarang aku sadar, semuanya memang terletak pada tujuan awal, ingin jadi PNS, apa ingin jadi guru?

Saturday 24 March 2012

Anak itu Jiwanya Besar


Sepasang mata itu membelalak, sorotnya diarahkan lekat ke bola mataku. Bahkan dengan sisa jarak yang berdasarkan hitungan kasar serta mengandalkan kemampuan matematika yang bisa dibilang sangat pas-pasan adalah berkisar 10 meter, aku bisa dengan jelas melihat perubahan binar didalamnya. Sepertinya gadis kecil ini sudah sedari tadi menanti kehadiranku. 

Good morning, Ma’am.” Sapaan khas anak didik kepada guru perempuan di sekolah tempat aku mengajar ini pun diucapkannya dengan penuh unsur magis. Seolah ada lonceng tak terlihat yang seketika bergemerincing mengiringi ucapannya. Tersungging senyum yang teramat manis dibibirnya ketika aku mendekat.

Morning.” Jawabku sembari mengulas senyum yang tidak kalah manisnya. Meskipun secara teknis aku enam belas tahun lebih tua dari anak didikku yang satu ini, dan akan kalah telak jika harus melawan kelincahan dan kespontanannya, aku merasa masih bisa berkompetisi dengannya, paling tidak dalam hal ‘senyuman manis’ tadi.

“Ini Ma’am buku-bukunya C. S. Lewis yang kemarin aku bilang ke Ma’am lewat SMS.” Terangnya sembari menyodorkan tiga bendel buku yang sebenarnya tidak asing lagi buatku. Setiap pergi ke toko buku, tidak pernah absen aku melihatnya terpampang di salah satu rak di dalam toko tersebut. 

“Wah terima kasih ya, Ras. Tapi mungkin Ma’am ngembalikannya agak lama. Tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Ma’am. Santai saja. Besok aku bawakan lagi empat buku sisanya, semuanya kan ada tujuh buku, Ma’am.” Yang dimaksud olehnya disini adalah tujuh buku The Chronicles of Narnia yang luar biasa terkenal dan sudah diangkat ke layar lebar itu.

“WOW! Okay, thank you, Ras. Kamu memberi PR yang lumayan banyak nih ke Ma’am.” Ujarku dengan sedikit merasa terintimidasi oleh Bu Guru kecil yang sedang berdiri dengan PD di hadapanku ini. Merasa terintimidasi apakah aku akan bisa menyelesaikan PR dengan baik dan tepat waktu.

***

Namanya Raras. Sekarang dia masih duduk di bangku kelas enam SD. Tapi jangan samakan ‘enam SD’-nya dengan ‘enam SD’-ku. ‘Enam SD’-ku artinya berhaha-hihi dengan teman, bertengkar dan kemudian tidak saling sapa, juga malas berangkat sekolah karena takut pada Guru Matematika. Sedangkan ‘enam SD’-nya berarti ikut lomba pidato Bahasa Inggris dan baca puisi, bergabung dalam klub jurnalistik, serta mengembangkan hobi fotografi. Kalau dulu ketika seumurannya aku masih sibuk dengan dakon, bongkar pasang dan bekel, dia sudah berkutat dengan blog, powerpoint, dan buku. Dan khusus untuk yang terakhir tadi, gadis cilik ini benar-benar membuatku heran sekaligus lega karena akhirnya ada kesamaan diantara setumpuk perbedaan ‘enam SD’ antara kami berdua, yaitu kami sama-sama berangan membangun sebuah perpustakaan pribadi.

Tidak kusangka ada gadis berumur sebelas tahun yang sudah begitu cintanya pada dunia baca, terutama melihat sebagian besar anak bangsa yang bahkan tidak tahu pentingnya budaya literasi ini. Dan demi menggapai citanya tersebut, rupanya dia sudah banyak mengambil langkah pasti. Sudah banyak buku yang dikoleksinya. Tidak tanggung-tanggung, buku yang dibaca pun bukan lagi buku cerita bergambar seperti yang selalu laris manis dipinjam siswa-siswa dari perpustakaan sekolah kami, tapi buku-buku yang mungkin banyak kakak kelasnya di SMP ataupun SMA bahkan tidak mau membacanya.

Gadis ini sudah kenal dengan Tere Liye dan Hafalan Shalat Delisa ataupun Dahlan Iskan dan Ganti Hati. Dia juga akrab dengan penulis internasional macam C.S. Lewis, Enid Blyton ataupun Roald Dahl. Dan nampaknya, kini si gadis cilik akan segera melebarkan sayapnya ke dunia sastra dan filsafat. Hal ini aku simpulkan sesaat setelah aku menerima SMS darinya siang tadi.

“Ma’am jadi beli bukunya Dahlan Iskan?”

“Tidak jadi, Ras. Ma’am kemarin beli beberapa buku sastra dan filsafat.”

“Aku sudah beli buku Dahlan Iskan, Ma’am. Juga bukunya Dee yang Madre. Aku tahu buku itu setelah baca blog Ma’am, Go Grab Books.”

“Wah padahal Ma’am sudah lama tidak posting di blog yang itu, Ras.”

“Ma’am sudah dapat bukunya Pramoedya Ananta Toer belum? Aku boleh pinjam Ma’am?”

“Dapat, tapi belum lengkap. Boleh, besok Ma’am bawakan yang biografi Kartini. Ma’am juga punya buku filsafat nih. Ceritanya tentang buku-buku dan perpustakaan ajaib. Mau pinjam?”

“Okay, Ma’am. Pinjam ya??”

“Sip.”

Mau jadi apakah gadis cilik ini? Sesaat aku merasa kecil dan.. iri hati. Iri pada minat bacanya yang gendut dibalik badannya yang kurus. Iri pada segudang prestasi yang didapatkannya di usianya yang masih belia. Iri pada semangatnya dalam menghidupkan budaya literasi. Hal ini bukan sekedar tong kosong nyaring bunyinya, aku sudah berulang kali mendapatinya meminjamkan buku-bukunya pada teman dan bahkan menyumbangkannya pada perpustakaan sekolah. Bukankah itu perwujudan paling nyata?

Di sisi lain, aku merasa bangga. Melihat anak didik yang berkilau dengan begitu indahnya. Dan bahkan hanya dengan berbincang beberapa menit saja aku tahu dia bujan anak kelas enam SD biasa. Cita-citanya besar, sebesar jiwa sosialnya. Kini aku merasa dia adalah seorang perempuan dewasa, bukan lagi anak didik apalagi anak kecil. Seketika ada yang membuncah di dadaku. Ah.. Begini rupanya kebahagiaan sejati itu.

Sunday 11 March 2012

Aduh Ibu!


Aduh Ibu, apa yang tadi malam kau lakukan?
Bukankah seharusnya kau di pojok kamar itu memegangi tangan kanannya
ketika dia belajar menggoreskan ujung sebuah pensil warna di atas selembar kertas?
Tidakkah kau mendudukkannya di pangkuanmu yang hangat?
Mengejakan puluhan huruf yang ada di buku cerita yang kini menyembul bisu dari tas sekolahnya.
Korupsi lah lima belas menit saja dari malam gemerlapmu
Sekedar untuk menjawab semua pertanyaan konyol khas anak-anak yang meluncur dengan lugu dari mulut kecilnya itu.
Oh Ibu, kenapa kau lewatkan kesempatan emas yang dititipkan Tuhan melalui malaikat kecil, yang dulu kau kandung di dalam rahimmu?


Aduh Ibu, apa yang sedang kau lakukan?
Benarkah gaun, tas, sepatu dan make up kini menjadi satu-satunya kenikmatan bagimu?
Lantas bagaimana dengan robot, mobil-mobilan, boneka beruang ataupun Barbie?
Benda-benda yang berhasil memaku dia pada pandangan pertama.
Yang kini teronggok di sudut kotak segi empat berharap suatu saat kau mau memainkannya bersama tuan kecilnya.
Ibu, tidakkah kau ingin menikmati sebuah pertunjukan ala kadarnya yang dipersiapkan khusus untukmu?
Yang mungkin dia pelajari saat bercanda dengan teman-teman atau gurunya.
Oh Ibu, ayolah ambil kursi dan duduk di hadapannya, minta dia menyanyi untukmu.


Aduh Ibu, apa lagi yang kini sedang kau lakukan?
Bukankah semestinya kau duduk di meja makan dan menanyakan bagaimana harinya di sekolah?
Lihatlah ada banyak sekali cerita yang dia simpan untukmu.
Tidakkah kau ingin tahu bagaimana tangannya bisa tergores atau bagaimana baju putih bersihnya bisa berbekas noda?
Ah Ibu, kau melewatkan setiap detilnya.
Sekarang dia tidak akan lagi menunggumu pulang dengan sebuah pensil warna di tangan.
Tidak akan ada lagi buku cerita yang menyembul dari dalam tas apalagi sebuah pertunjukan.
Oh Ibu, dia sekarang menghilang.
Bukan lagi malaikat kecil dengan tawa riang.
Siapakah dia sekarang?

Saturday 3 March 2012

Ingin jadi PNS apa Guru sih?


“Kalau niat awalnya ingin mendidik, jadi atau tidak jadi PNS seharusnya tidak masalah bukan? Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjadi Guru.”


Biarkan aku bernostalgia ke empat tahun silam, ketika akhirnya aku resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Sebuah pencapaian paling prestisius bagiku dan keluargaku kala itu yang ditandai dengan berlabuhnya selembar kertas berharga jutaan rupiah yang disebut ‘ijazah’ ke genggaman tangan. Saat itu terlintas dibenak akan masa depan yang terang benderang, dalam artian aku akan menjadi seorang pengajar dengan gaji dari pemerintah yang jumlahnya cukup menggiurkan. Aku memang begitu naifnya menganggap semua Sarjana Pendidikan yang menjadi guru akan secara otomatis menjadi PNS. Gambaran tentang PNS memang selalu buram di pikiranku. Tidak ada satupun dari silsilah keluargaku yang menyandang titel tersebut. Jadi wajar kalau sampai menginjak kampus pun aku tidak pernah mempunyai data valid mengenai seorang pegawai negeri sipil. Yang aku tahu hanya bahwa menjadi PNS berarti hidupmu akan 'aman'.

Ternyata kenyataan hidup memang terkadang sungguh pahit. Betapa kecewanya aku ketika tahu ternyata untuk menjadi seorang PNS itu tidak sekedar masalah menjadi guru, tak peduli seberapa tinggi kompetensimu di bidang yang kamu geluti tersebut. Menjadi PNS itu berarti kamu harus melawan ratusan orang di sebuah tes yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat demi tempat yang terkadang bisa dihitung dengan jari. Menjadi PNS itu berarti salah satu antara keberuntungan atau keberanian. Belakangan aku tahu ternyata yang terakhir lah yang lebih banyak berbicara. Dan mungkin itu pula sebabnya akhir-akhir ini muncul slogan dalam Bahasa Jawa “wani piro?” yang makin lama makin populer sebagai bahan candaan. Sebuah humor sinis dari masyarakat kecil seperti aku.

Dan semuanya terbukti pada saat aku mengikuti tes yang akrab disebut tes CPNS tersebut untuk pertama kalinya. Kala itu aku melamar menjadi seorang guru Bahasa Inggris, satu-satunya hal yang aku pikir bisa aku lakukan dengan sangat baik, mengingat pencapaian yang aku raih di kampus. Dan dengan tingkat percaya diri yang tinggi, akhirnya aku maju ke medan perang. Semangat juang aku kobarkan, senjata aku genggam erat di tangan. Tapi bagaikan petir di siang bolong, alangkah kagetnya aku saat tahu ternyata yang harus aku kerjakan justru seratus soal psikotes. Oh tidaaaak! Bagaimana mungkin mereka bisa tahu kemampuanku kalau yang harus aku kerjakan adalah seratus soal ‘berandai-andai.’ Tidak ada simple past tense ataupun future tense, apalagi micro teaching. Aku pun mengerjakan soal-soal itu dengan asal. Memaksa otakku mengeluarkan jawaban dari soal yang tidak pernah diajarkan oleh para dosen di bangku kuliah dulu. Sejak saat itu aku kapok dengan yang namanya tes CPNS. Goodbye tes CPNS.

Kecewa? Sudah pasti. Apalagi setelah mendengar info dari berbagai sumber tentang betapa nyamannya hidup seorang PNS di negeri kita ini. Seolah nasib baik tiba-tiba dihapus dari garis takdirku. Namun beruntung kekecewaan ini tidak berumur panjang. Karena dari awal aku memang tidak kenal baik dengan konsep PNS yang sering digembor-gemborkan orang tersebut. Tak kenal maka tak sayang! Begitulah, saat impian menjadi PNS akhirnya melayang, aku tetap bisa santai. Kekecewaan menguap dengan cepat, dan yang pasti sudah mati keinginanku untuk berlomba di medan tes CPNS. 

Selanjutnya aku runtut lagi semua dari awal. Aku suka mengajar, aku ingin menjadi guru. Pekerjaan ini adalah satu-satunya hal yang ingin dan bisa aku lakukan dengan hati. Dan untuk menjadi guru aku tidak perlu menjadi PNS dulu bukan? Akhirnya aku putuskan untuk mengajar di salah satu sekolah swasta. Disini hasratku akan dunia pendidikan akhirnya terpuaskan. Meskipun tidak menyandang gelar PNS, ternyata aku tetap bisa mendidik anak bangsa. Ada yang bilang mengajar itu adalah panggilan hati, sebuah pekerjaan mulia yang bisa dilakukan siapa saja meski tanpa embel-embel PNS. Itu memang benar. Sampai sekarang aku tetap bukan PNS, aku hanya seorang guru. Gaji yang aku terima pun tidak sebesar PNS, tapi aku bekerja tidak kalah profesional. Sekarang aku sadar, semuanya memang terletak pada tujuan awal, ingin jadi PNS, apa ingin jadi guru?