Friday 31 August 2012

Batas Mimpi



Kampung itu sedari dulu memang sunyi senyap. Terlebih ketika matahari mulai beringsut dari jarak pandang manusia, bersembunyi di balik gagahnya Gunung Penanggungan. Konon, kampung yang namanya memiliki arti sebagai pemisah itu dahulu adalah salah satu garis paling luar kekuasaan Majapahit. Entah membatasinya dari apa, yang pasti orang-orang di kampung kecil itu menamakan diri sebagai warga perbatasan. Beberapa mengagungkan Majapahit, namun banyak juga yang tidak mampu menahan godaan untuk menduakan hati pada kekuasaan lain yang ada di seberang jalan. Mungkin kesetiaan bukan hal yang pantas dibicarakan. Pikiran yang selalu terombang-ambing dari satu sisi ke sisi lain, kehidupan yang selalu bercermin pada kehidupan lain di luar garis, menjadikan warga kampung tersebut tidak berpendirian. Mereka hanya mengikuti kemana naluri mereka mengalir. Naluri yang tidak didasarkan pada pemahaman, melainkan pada kenyamanan semata. 

Bocah-bocah kampung dari generasi ke generasi mempunyai pikiran yang hampir seragam. Berangkat sekolah berjalan kaki, menempuh jarak ratusan meter dengan dimanjakan ketentraman sawah menghijau di sebelah kiri, dan kekokohan Gunung Penanggungan di sebelah kanan. Mereka berbarengan mengayuh langkah dengan riang demi selembar ijazah. Tidak tahu mereka pentingnya selembar kertas tersebut. Mereka hanya melihat para bocah-bocah tetangga yang sudah lebih tua dengan bangga mengenakan merah putih, membusungkan dada mengaku anak sekolahan. Bahkan arti anak sekolahan pun mereka tidak paham betul. Memang, terdengar keren di kupingnya, maka mengekorlah mereka. Penyakit latah yang namanya sekolah ini menjalari seluruh bocah. Dari yang paling miskin, sampai yang paling kaya.

Namun ada satu anak yang keadaan dan tindak tanduknya berbeda dari yang lain. Jikalau teman-temannya hanya mampu mengenakan sepatu murahan yang warna hitamnya memudar sebelum genap tiga bulan, dia memiliki dua dan bahkan tiga. Semuanya bisa bernilai dua kali lipat dari sepatu kebanyakan. Ketika para bocah kampung bersenda gurau sambil menangkap jangkrik di sawah warga, dia hanya duduk di depan rumah gedongnya dan terlihat tekun membaca. Atau ketika bocah yang lain bermain gundu di siang bolong, dan para gadis cilik bermain dakon, anak itu terpekur di depan televisi sambil menikmati segelas sirup dingin. Surga dunia nampaknya tempat dimana dia berlindung dari semburan panas mentari dan dekapan angin dingin itu. Ah, bocah yang sungguh bernasib baik terlahir di tengah keluarga serba berkecukupan. Kakak-kakaknya sudah tamat sekolah menengah atas dan beberapa diantaranya bahkan sudah berhasil menjadi pegawai pemerintahan, meskipun hanya setingkat desa. Dan kakak perempuannya, meskipun tidak berhasil tamat sekolah setinggi para kakak lelaki, kini sudah dilamar menjadi istri seorang aparat. Hidup nampaknya memang hanya berpihak pada mereka yang sudah kuat dari awal. Nasib baik yang satu, diturunkan pada yang lain. Begitu sederhana yang namanya keberuntungan.

Bocah itu tumbuh besar di lingkungan yang jauh lebih bersahabat dibanding teman sebaya. Semua kebutuhan tercukupi, bahkan lebih. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah sudah ditamatkan. Lembar-lembar ijazah menyusup ke tas si pelajar. Kini dijajalnya dunia perkuliahan. Di kampung tersebut, masih bisa dihitung dengan jari jumlah pemuda yang bisa memasuki dunia kemahasiswaan. Bahkan dihitung dengan lima jari saja belum genap. Lihatlah bocah emas yang dulu rajin mengaji dan belajar itu. Sungguh gagah dan tegap cara berjalannya kini. Langkahnya lebar-lebar, menunjukkan kepercayaan pada diri sendiri yang sudah mengakar dan berurat. Wajahnya yang rupawan sanggup mengembang-kempiskan hati para gadis-gadis tanggung. Semua berebut dan saling sikut demi bertemu pandang dan bersitatap dengan si pemuda kaya nan terpelajar. Wanita-wanita paruh baya pun tidak mau terlewat. Semua berharap semoga anak gadisnya dilirik oleh si pemuda berbakat dan diangkat menjadi pendamping. Aih, sebegitu dekat jarak antara mimpi dan ilusi. Mimpi yang tidak tahu aturan, karena memang tidak pernah orang disekolahkan hanya untuk bermimpi. 

Dan sekarang pemuda itu sudah jadi sarjana. Gelarnya tidak lupa dia sematkan dimana-mana. Ketika menulis surat ijin, menandatangani bon-bon, atau ketika dia manjadi panitia pengajian, tidak lupa dia sematkan gelarnya di undangan. Gelar itu memang mahal. Tidak sembarang orang di anugerahi gelar. Pada jaman dulu, hanya orang-orang yang berjasa bisa mendapat gelar dari Raja. Dan memang, terkadang orang berjasa itu berasal dari kasta yang sudah dipandang dari mula. Mereka yang berasal dari kasta rendahan, perlu berusaha mati-matian untuk mendapatkannya, itupun terkadang gelar yang hanya sebatas gelar. Tidak pernah mendapat pengakuan lahir ataupun batin. Pandangan para pembesar tetap rendah dan menghinakan. Kalau sudah begitu, untuk apa mempunyai gelar? Hanya sekedar hiasan pada nama. Memang, gelar itu sejatinya cuma embel-embel belaka, tanpa makna bagi mereka yang tidak punya kekuasaan.

Tuesday 28 August 2012

This Balloon that Refuses to Pop




Maybe I am so helplessly drunk, or merely over sentimental. But this state of bliss is literally filling me in. Even when I think I’ve had enough, yet this happiness keeps penetrating me, again and again. Sometimes I tell myself, “you must have been dreaming, young lady; for feeling this beautiful, this serene, and simply complete.” As what has happened in my life this couple of months is seriously extraordinary. Then I will reply to my own inquiry, “indeed, you are right, my dear. I must have been dreaming. This state of happiness is only a delusion. It’s not real. It can’t be real by any chance.” And so I will close my eyes, cover my face with both hands, and try to let the illusion fade away. Yet, they stay. I can still feel the rush of those wonderful feelings inside of me. It’s bubbling. It makes my tiny body appears too small for its giant becoming.

I am about to explode. I am a rubber balloon which has reached the limit of its elasticity. It seems so much that I am going to pop. This quirky pleasant feeling is just like a gas that fills me, probably helium, hydrogen, oxygen, or plainly air, or probably even the combination of all. I don’t know for sure as it is invisible. It always is. Like the air that you breathe, you can never ever see it, but you know that it’s real. You can feel that something is going in and out. Something is being pushed to enter you that you can’t help billowing. And so how this wonderful feeling appears to me. Something fine that races to reach and save a place inside of me. 

Somehow, I feel strange lately. Despite its huge amount, this massive race of that different kind of gas doesn’t seem to put a stress on this tiny little balloon. I thought I was ready to explode, to pop. I reckoned this air inside my body just could not wait to escape, to get out fast and go back to where they belong. I was wrong. I was looking down to this very own rubber balloon of mine. It is more powerful than it used to be. It seems like it doesn’t have a limit to its elasticity. No matter how much it is filled, it stays invulnerable. It keeps getting bigger and bigger.

Maybe this is how love is supposed to work in the first place. It fills you with the feeling of happiness, excitement, captivation, and affection without necessarily forcing a tear on you. All it has to give is something pleasant, in the absence of any single inconvenience. It holds you in the arms of security so tightly, yet still have the will to set you free, sincerely. Love, once it comes to you, it plies you with its glory. And your body will inevitably turn into a giant balloon in this oh-appear-so-tiny universe.  Then this balloon will fly far, far away, and leave the gravity behind. It is gracefully floating, bouncing here and there. Guess what is even better? It can retain its buoyancy for good, for the rest of its life.

Love, once it fills you, it eventually puts you to the highest degree of being a human. God's creature that needs something to validate its existence. And I am now clearly at my best moment of being one, or should I say of being a rubber balloon? Yes, honey, I’m wonderfully bubbling. My world has ridiculously turned inside out, upside down, since that very day when you put the ring on my finger. And you are to me, is this perfect air to breath in, something that I greedily want more and more. Yet, it stays harmless. It can never hurt me, not even to leave a single scratch on my elastic skin. So no worries, honey, I will not explode. Thus I require you to keep me occupied every now and then. Cause the way I see myself now, is a rubber balloon that refuses to pop. 



*Dedicated to Jasa; "you're constantly filling me in, and I can't help greedily letting you in."

Friday 31 August 2012

Batas Mimpi



Kampung itu sedari dulu memang sunyi senyap. Terlebih ketika matahari mulai beringsut dari jarak pandang manusia, bersembunyi di balik gagahnya Gunung Penanggungan. Konon, kampung yang namanya memiliki arti sebagai pemisah itu dahulu adalah salah satu garis paling luar kekuasaan Majapahit. Entah membatasinya dari apa, yang pasti orang-orang di kampung kecil itu menamakan diri sebagai warga perbatasan. Beberapa mengagungkan Majapahit, namun banyak juga yang tidak mampu menahan godaan untuk menduakan hati pada kekuasaan lain yang ada di seberang jalan. Mungkin kesetiaan bukan hal yang pantas dibicarakan. Pikiran yang selalu terombang-ambing dari satu sisi ke sisi lain, kehidupan yang selalu bercermin pada kehidupan lain di luar garis, menjadikan warga kampung tersebut tidak berpendirian. Mereka hanya mengikuti kemana naluri mereka mengalir. Naluri yang tidak didasarkan pada pemahaman, melainkan pada kenyamanan semata. 

Bocah-bocah kampung dari generasi ke generasi mempunyai pikiran yang hampir seragam. Berangkat sekolah berjalan kaki, menempuh jarak ratusan meter dengan dimanjakan ketentraman sawah menghijau di sebelah kiri, dan kekokohan Gunung Penanggungan di sebelah kanan. Mereka berbarengan mengayuh langkah dengan riang demi selembar ijazah. Tidak tahu mereka pentingnya selembar kertas tersebut. Mereka hanya melihat para bocah-bocah tetangga yang sudah lebih tua dengan bangga mengenakan merah putih, membusungkan dada mengaku anak sekolahan. Bahkan arti anak sekolahan pun mereka tidak paham betul. Memang, terdengar keren di kupingnya, maka mengekorlah mereka. Penyakit latah yang namanya sekolah ini menjalari seluruh bocah. Dari yang paling miskin, sampai yang paling kaya.

Namun ada satu anak yang keadaan dan tindak tanduknya berbeda dari yang lain. Jikalau teman-temannya hanya mampu mengenakan sepatu murahan yang warna hitamnya memudar sebelum genap tiga bulan, dia memiliki dua dan bahkan tiga. Semuanya bisa bernilai dua kali lipat dari sepatu kebanyakan. Ketika para bocah kampung bersenda gurau sambil menangkap jangkrik di sawah warga, dia hanya duduk di depan rumah gedongnya dan terlihat tekun membaca. Atau ketika bocah yang lain bermain gundu di siang bolong, dan para gadis cilik bermain dakon, anak itu terpekur di depan televisi sambil menikmati segelas sirup dingin. Surga dunia nampaknya tempat dimana dia berlindung dari semburan panas mentari dan dekapan angin dingin itu. Ah, bocah yang sungguh bernasib baik terlahir di tengah keluarga serba berkecukupan. Kakak-kakaknya sudah tamat sekolah menengah atas dan beberapa diantaranya bahkan sudah berhasil menjadi pegawai pemerintahan, meskipun hanya setingkat desa. Dan kakak perempuannya, meskipun tidak berhasil tamat sekolah setinggi para kakak lelaki, kini sudah dilamar menjadi istri seorang aparat. Hidup nampaknya memang hanya berpihak pada mereka yang sudah kuat dari awal. Nasib baik yang satu, diturunkan pada yang lain. Begitu sederhana yang namanya keberuntungan.

Bocah itu tumbuh besar di lingkungan yang jauh lebih bersahabat dibanding teman sebaya. Semua kebutuhan tercukupi, bahkan lebih. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah sudah ditamatkan. Lembar-lembar ijazah menyusup ke tas si pelajar. Kini dijajalnya dunia perkuliahan. Di kampung tersebut, masih bisa dihitung dengan jari jumlah pemuda yang bisa memasuki dunia kemahasiswaan. Bahkan dihitung dengan lima jari saja belum genap. Lihatlah bocah emas yang dulu rajin mengaji dan belajar itu. Sungguh gagah dan tegap cara berjalannya kini. Langkahnya lebar-lebar, menunjukkan kepercayaan pada diri sendiri yang sudah mengakar dan berurat. Wajahnya yang rupawan sanggup mengembang-kempiskan hati para gadis-gadis tanggung. Semua berebut dan saling sikut demi bertemu pandang dan bersitatap dengan si pemuda kaya nan terpelajar. Wanita-wanita paruh baya pun tidak mau terlewat. Semua berharap semoga anak gadisnya dilirik oleh si pemuda berbakat dan diangkat menjadi pendamping. Aih, sebegitu dekat jarak antara mimpi dan ilusi. Mimpi yang tidak tahu aturan, karena memang tidak pernah orang disekolahkan hanya untuk bermimpi. 

Dan sekarang pemuda itu sudah jadi sarjana. Gelarnya tidak lupa dia sematkan dimana-mana. Ketika menulis surat ijin, menandatangani bon-bon, atau ketika dia manjadi panitia pengajian, tidak lupa dia sematkan gelarnya di undangan. Gelar itu memang mahal. Tidak sembarang orang di anugerahi gelar. Pada jaman dulu, hanya orang-orang yang berjasa bisa mendapat gelar dari Raja. Dan memang, terkadang orang berjasa itu berasal dari kasta yang sudah dipandang dari mula. Mereka yang berasal dari kasta rendahan, perlu berusaha mati-matian untuk mendapatkannya, itupun terkadang gelar yang hanya sebatas gelar. Tidak pernah mendapat pengakuan lahir ataupun batin. Pandangan para pembesar tetap rendah dan menghinakan. Kalau sudah begitu, untuk apa mempunyai gelar? Hanya sekedar hiasan pada nama. Memang, gelar itu sejatinya cuma embel-embel belaka, tanpa makna bagi mereka yang tidak punya kekuasaan.

Tuesday 28 August 2012

This Balloon that Refuses to Pop




Maybe I am so helplessly drunk, or merely over sentimental. But this state of bliss is literally filling me in. Even when I think I’ve had enough, yet this happiness keeps penetrating me, again and again. Sometimes I tell myself, “you must have been dreaming, young lady; for feeling this beautiful, this serene, and simply complete.” As what has happened in my life this couple of months is seriously extraordinary. Then I will reply to my own inquiry, “indeed, you are right, my dear. I must have been dreaming. This state of happiness is only a delusion. It’s not real. It can’t be real by any chance.” And so I will close my eyes, cover my face with both hands, and try to let the illusion fade away. Yet, they stay. I can still feel the rush of those wonderful feelings inside of me. It’s bubbling. It makes my tiny body appears too small for its giant becoming.

I am about to explode. I am a rubber balloon which has reached the limit of its elasticity. It seems so much that I am going to pop. This quirky pleasant feeling is just like a gas that fills me, probably helium, hydrogen, oxygen, or plainly air, or probably even the combination of all. I don’t know for sure as it is invisible. It always is. Like the air that you breathe, you can never ever see it, but you know that it’s real. You can feel that something is going in and out. Something is being pushed to enter you that you can’t help billowing. And so how this wonderful feeling appears to me. Something fine that races to reach and save a place inside of me. 

Somehow, I feel strange lately. Despite its huge amount, this massive race of that different kind of gas doesn’t seem to put a stress on this tiny little balloon. I thought I was ready to explode, to pop. I reckoned this air inside my body just could not wait to escape, to get out fast and go back to where they belong. I was wrong. I was looking down to this very own rubber balloon of mine. It is more powerful than it used to be. It seems like it doesn’t have a limit to its elasticity. No matter how much it is filled, it stays invulnerable. It keeps getting bigger and bigger.

Maybe this is how love is supposed to work in the first place. It fills you with the feeling of happiness, excitement, captivation, and affection without necessarily forcing a tear on you. All it has to give is something pleasant, in the absence of any single inconvenience. It holds you in the arms of security so tightly, yet still have the will to set you free, sincerely. Love, once it comes to you, it plies you with its glory. And your body will inevitably turn into a giant balloon in this oh-appear-so-tiny universe.  Then this balloon will fly far, far away, and leave the gravity behind. It is gracefully floating, bouncing here and there. Guess what is even better? It can retain its buoyancy for good, for the rest of its life.

Love, once it fills you, it eventually puts you to the highest degree of being a human. God's creature that needs something to validate its existence. And I am now clearly at my best moment of being one, or should I say of being a rubber balloon? Yes, honey, I’m wonderfully bubbling. My world has ridiculously turned inside out, upside down, since that very day when you put the ring on my finger. And you are to me, is this perfect air to breath in, something that I greedily want more and more. Yet, it stays harmless. It can never hurt me, not even to leave a single scratch on my elastic skin. So no worries, honey, I will not explode. Thus I require you to keep me occupied every now and then. Cause the way I see myself now, is a rubber balloon that refuses to pop. 



*Dedicated to Jasa; "you're constantly filling me in, and I can't help greedily letting you in."