Erangan mesin itu lenyap seiring
dengan berputarnya posisi kontak yang aku gapit di antara ibu jari dan telunjuk,
begitu pula dengan bunyi knalpot. Tidak lebih dari tiga detik, seolah sudah
menanti untuk ditemukan, suara Adam Levine yang seksi tiba-tiba menyeruak dari
keheningan dan terbendung oleh gendang telingaku. Well hal ini bisa
bermakna ambigu, apakah memang ‘suara’
si Adam yang seksi ataukah justru ‘si Adam’ itu sendiri. Namun kalau pembicaraan
ini mengarah pada vokalis Maroon 5 tersebut,
berarti keduanya sama benar. Sejak kemunculannya di hingar bingar industri
musik sepuluh tahun silam, pentolan grup band asal negeri Paman Sam itu telah
berhasil menancapkan patokan akan sosok lelaki idaman di otakku. Entah karena sensasi
luar biasa yang acap kali aku rasa sewaktu menikmati desahan suaranya melalui
lagu-lagunya yang hampir setiap hari aku putar, atau tersihir oleh aksi
panggung yang hampir selalu dengan bertelanjang dada, menonjolkan otot-otot
yang semakin memantapkan kejantanannya, bagiku lelaki harusnya seperti itu.
Garang dan seksi di saat yang sama.
Kurogoh isi perut tas coklat tua
yang sedari tadi bergelayut manis pada pundak kiriku. Benda mungil tersebut aku
dapatkan beberapa bulan sebelumnya dari seorang teman akrab sebagai kado ulang
tahun yang ke-33. Sebuah hadiah yang aku tahu jelas tidak murah karena setiap
wanita dewasa sudah pasti mampu menaksir jumlah digit yang dibandrol oleh jenis
merk tertentu, hanya untuk sebuah tas. Fenomena yang sudah sangat merakyat di
era dimana tas sudah bukan lagi suatu alat, melainkan gaya hidup. Tas yang ide
awalnya diciptakan untuk menampung barang-barang pribadi, sekarang seolah
mengingkari takdirnya. Mereka lebih senang dipanggil sebagai fashion item. Ah betapa lucunya penyakit
‘gaya hidup’ ini! Manusia dibuat keblinger
olehnya. Yang dulu hanya perlu satu, sekarang lima bahkan masih kurang.
Jari-jemariku tidak membutuhkan
waktu lama untuk mendeteksi keberadaan benda elektronik super canggih sumber
dari bunyi tersebut. Dia terpojok di salah satu sudut diantara onggokan kertas,
pena, pensil, dompet dan benda-benda lain yang bahkan aku sendiri tidak ingat
membawanya. Kuangkat benda itu, memisahkannya dari kelompok yang seolah sudah
berkomplot menyesaknya. Namun mataku hanya mampu mempertahankan rasa penasaran
untuk sepersekian detik, seterusnya yang aku rasa hanya jengah. Sekali lagi aku
paksakan membaca nama yang muncul di layar, sedikit kaget aku mendengar diriku
sendiri kali ini mendesah. Akhirnya dengan sedikit enggan, kudekatkan benda
berwarna hitam itu ke kuping kananku,
“Halo. Tumben? Jangan katakan kau akan memaksaku datang
ke acara ‘beauty seminar’ seperti terakhir kali kau menelponku” Sambungku
dalam hati.
“Dapat bonus pulsa, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Aku
ingin bicara denganmu, sudah lama aku tidak mendengar ocehan merdumu itu.”
Bukankah setiap hari kau mendengar
ocehan itu dari radio? Di program Breakfast
and Sun Shine yang aku pandu selama dua jam penuh? Belum sempat aku memprotes
pilihan katanya, dia sudah mulai memberondongku lagi,
“Tahu tidak, salah
satu kenikmatan menjadi wanita itu adalah kita bisa bebas berbicara dengan
sesama jenis selama berjam-jam dimana saja, baik di telpon atau bahkan sambil
duduk berdua di salah satu pojok café di pinggiran kota, tanpa pernah takut
dicap mengidap gender identity disorder. “
“Apa maksudmu?”
“Coba bayangkan. Dua pria saling menelpon, atau mungkin
duduk bersama di sebuah bangku di taman dan saling mengumbar senyum ataupun
tawa, bukankah hal itu akan menimbulkan kecurigaan? Ada semacam hubungan
terselubung, yang kalau ternyata benar, sudah pasti memunculkan fakta bahwa
salah satu dari mereka pasti mengidap sexual
disorder tadi. Sedangkan wanita, bukankah sudah kodratnya semua wanita itu
suka bicara?”
“Sepanjang yang aku ingat, kau lah wanita yang mempunyai
kelebihan paling luar biasa secara verbal. Ada apa sebenarnya? Baru membaca
sebuah artikel di majalah dan mencari teman untuk berdiskusi? Maaf aku tidak
ada waktu” Ujarku seiring melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Apa itu caramu mengatakan bahwa kau sedang mencurigaiku?”
nada bicara lawan bicaraku berubah menjadi ketus.
Kuhela nafas panjang, membayangkan wajah orang di ujung
sambungan ini yang seketika berubah masam. Kedua matanya dipicingkan. Akhirnya
aku putuskan untuk mengalah, “Tidak, yang itu tadi murni kalimat tanya. Jadi,
ada kabar apa?”
Seketika moodnya buncah, nada bicara menjadi ringan dan
antusiasme pun mengembang, “Sudah dapat undangan belum? Cinta monyetmu saat
sekolah menengah akan mengakhiri masa berburu, dan memutuskan untuk memelihara
seekor burung cendrawasih yang tidak hanya rupawan tapi juga dibelinya dari
keluarga baik-baik dan berada.”
“Mm… Kabar yang bagus, tapi sepertinya tidak cukup menarik
untuk membuatmu menelponku. Bukan begitu?” Bukan
tentang hal itu lagi, kumohon.
“Resepsinya minggu depan, sepertinya aku tidak bisa datang.”
Nada bicaranya berubah datar, tapi cepat-cepat disambungnya lagi, “Oh iya, si
Merry, sepupuku, teman kita SD dulu, ingat? Dia juga segera diminta menjadi
pendamping hidup seseorang. Belum tahu kapan tepatnya, tapi sepertinya dalam 2
atau 3 bulan kedepan.”
Ada jeda agak lama yang terasa begitu canggung antara kata terakhirnya
dengan kata pertamaku, “Kamu mau berubah menjadi pribadi yang oportunis
sekarang? Mencoba mencari manfaat dari semua detail bahkan yang paling tidak
signifikan sekalipun?” Sudah aku duga
sejak mataku mengeja namanya di layar iPhone tadi, pasti tentang hal itu.
“Ayolah, sudah saatnya, Julia. Satu persatu teman kita akan
memulai kehidupan baru. Semua orang yang sudah stabil, dalam artian mental dan
materi, sudah seharusnya mulai mencari partner hidup. Semua teman kita menikah
sebelum kepala 3, bahkan banyak yang sebelum menginjak 25. Apa lagi yang kau
tunggu? Pada akhirnya beginilah hidup, perempuan akan menjadi istri dan
kemudian menjadi seorang ibu. Kau tahu pasti akan hal itu. Jelas ada yang salah
dengan otakmu kalau kau menganggapnya teori sampah”
“Ini persis seperti teori mandi, bukan sampah, Wan. Begini,
siapa yang bilang mandi itu harus 2 kali sehari? Sejak kapan ritual semacam ini
dijalankan? Sejak zaman Dayang Sumbi yang kecantikannya memanah hati putra
kandungnya, si Sangkuriang? Tidak ada yang tahu dan tidak pula ada yang bisa
menjamin itulah yang paling benar. Jangan hanya karena semua orang mandi sehari
2 kali, lantas mereka yang mandi cuma sehari sekali dianggap salah, dianggap
menyimpang. Itu semua cuma masalah tradisi kok. Jadi jangan hanya karena aku memandang konsep pernikahan dengan sedikit
berbeda, maka kau memberiku label ‘luar angkasa’. Terdengar sangat
sempit dan tidak adil buatku.”
“Tapi kau hidup bersosialisasi, Miss Perfectionist.
Ada keluargamu yang harus kau pikirkan, selain tetangga-tetanggamu yang usil
itu tentunya. Kau mau jadi hot topic selama satu dekade?” ujarnya mulai
gusar.
“Nah ini dia yang aku sebut globalisasi. Welcome to modern civilization! Zaman
dimana orang sudah tidak lagi menyebut handphone atau ponsel, tapi berganti
menjadi BB dan iPhone. Memikirkan apa
kata orang lain bukankah itu sudah terlalu ketinggalan zaman? Aku pikir
kau orang yang paling peka dengan isu ini.”
“Tapi 33 tahun sudah lebih.. tidak, yang benar sudah sangat
lebih dari cukup. Mau menunggu sampai kapan?” dari nada suaranya terdengar
temanku itu semakin gemas dengan jawaban-jawaban yang aku lontarkan.
“Oh honey, age is …”
“just a number.” Belum tuntas aku bicara, Wanda sudah
memotongnya dengan ekspresi wajah, yang sudah bisa aku gambar dengan jelas di
otak, perpaduan antara rasa jengkel dan muak. “Sampai kapan kau akan berpegang
pada klise semacam itu? Sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan mereka
yang selalu bilang ‘age is just a number’. Kau tahu, sebenarnya frasa
itu dibuat hanya untuk membantu mereka merasa lebih baik. Padahal di dalam
hatinya, mereka sama khawatirnya dengan para istri yang sudah menikah puluhan
tahun tapi tak kunjung diberikan momongan. Itu tak lain adalah satu lagi bentuk
kamuflase selain ‘aku sedang fokus dengan karir’. So please, stop all that rubbish,
darling.”
Wanda menumpahkan semua kekesalannya dalam satu tarikan
nafas. Belum sempat aku melontarkan pembelaanku, dia sudah melanjutkan lagi
khotbah panjangnya. “Dan lagipula, kalau memang benar age is just a number,
and you take it just as simple as that, then so is price, so is exchange rate.
Padahal kita sama-sama tahu, masing-masing dari variabel itu bisa berdampak
besar pada variabel yang lain. Seperti variabel bebas yang menghasilkan
variabel terikat. Seperti harga yang bisa mempengaruhi daya beli konsumen
ataupun nilai tukar mata uang yang mempengaruhi pasar saham. Kau harus mulai
memikirkan masa depan, Jul. Cantikmu
itu akan memudar seiring bertambahnya umur. Tunggu sampai keriput mulai
menghantuimu!”
“Excuse me, apa yang dulu selalu kau bilang? Inner
beauty is one thing that matters? Kenapa sekarang jadi sibuk memikirkan
keriput diwajah? Wajahku pula. Percayalah, aku akan awet muda. Dan satu hal
lagi, pada akhirnya kamuflase yang kamu
jabarkan panjang lebar tadi, terkadang bisa menyelamatkan hidup suatu organisme
lho.” Aku membayangkan tentang bunglon yang merubah warna kulitnya
sesuai dengan batang pohon untuk mengelabui pemburunya, atau seekor belalang
yang menyerupai daun-daun di sekitarnya.
“Susah ya ngomong sama penyiar? Apa kalian selalu seperti
ini? Pintar mencari celah dan memutarbalikkan keadaan?”
“Jangan bawa-bawa profesi dong, bu
dokter. Kamu juga tidak akan suka kalau suatu saat ada seseorang yang bilang;
susah ya ngelawan bu dokter, tulisannya hanya ditujukan untuk kalangan
tertentu. Iya kan?” Kututup permainan catur itu dengan skak mat yang dibalas
dengan bunyi tut panjang disaluran seberang. Rupanya si empunya telpon
mengakhiri panggilannya.
Julia is right, but Wanda is not wrong. Julia stands up for her idealism, Wanda reminds her about the realism. Realism is for our existence as we live in a real world, where people judge and social pressure bugs. Without being realistic, we do exist, but in a different way from the realists. "Oh honeybear,Get real!" One would say. But idealism is what you believe. It makes you who you are. "Who would you be living without it?" A wise man might say. There has been a constant fight between the two. There will always be. Being another Julia or Wanda, or being neither of them and stand in between, has been, is, and will be our decisions.
ReplyDeletekdang qta brbicara utk mmberi kn alasan yg se real mungkin pd mreka, pdahal qta mmandang sidikt berbeda saja. aq kira bkn it jwb an yg kluar dr otak kanan miss Dini Rosita Sari. maybe
ReplyDeleteYes, there are always idealism and realism. Man, I think, will always stand in between. It's just that sometime they get closer to the previous and sometime to the latter. When I first created Julia, I thought she was being idealist. But the more I tried to 'define' her, the more I liked the term 'perfectionist'. When she made all those arguments, she was actually trying to let Wanda know that she was fine. She is not being idealist, she is simply feeling secure and comfortable with the way she is at the moment. Well she does want to get married, but she wants it to be perfetct. And that's actually the major issue here.
ReplyDeleteOkta: aku tidak terlalu paham dengan teori otak kanan dan otak kiri. Tapi cerita singkat ini menggambarkan suatu pola pikir yang sebenarnya sederhana, tapi karena bertentangan dengan 'apa yang seharusnya' hal itu berubah menjadi hal yang luar biasa.
ReplyDeletewaahh..belum ngasih komen..uda minder duluan sama komen2 diatas yg kata2nya cerdas & kritis..tp jauh lebih minder lagi sama "cerita" nya yang smooth, mudah dicerna, menarik untuk dibaca & bikin ga sbar baca lanjutannya..aplg ending nya yg pasti bikin mangkel yg baca hihihi *krn pst salah tebak :p..ceritanya sederhana, antara tuntutan keadaan & prinsip hidup, sering terjadi dan selalu ada dilema untuk pilih salah satu..tp yg terpenting mengikuti kata hati mgk jauh lebih arif yaa..selain itu pergantian siang & malam pun sdh ada yang ngatur..aplg hanya masalah "itu" hehehe..i love it so much..tak tunggu lanjutannya ^^
ReplyDeletecerita sederhana yang dikemas dengan kata2 & cara pikir yang luar biasa :) berbeda bukan berarti aneh..namun menunjukkan bhw kita bisa & berani memegang teguh keyakinan yg sedikit langka..karna kita memang langka khn :p
ReplyDeleteEndingnya nanti kita pikirkan bareng-bareng ya say, aku masih belum ada gambaran harus dihadiahi apa si Julia di akhir cerita nanti. Yang jelas saat ini kita biarkan Julia menikmati dunia perctionist-nya yang justru tampak idealist di kehidupan yang menuntut kerealistisan seperti sekarang. :)
ReplyDeletewanita, usia, pasangan hidup (pernikahan)
ReplyDelete3 hal tersebut di atas memang selalu menarik untuk dibahas dan dituangkan dalam sebuah tulisan dengan segala persoalan dan problematika kehidupannya.
Kenapa wanita???
karena kita wanita dan kita mengerti betul seperti apa wanita itu dan segala seluk beluk persoalan kehidupannya dari sudut pandang wanita tentunya.
Kenapa dengan usia???
Wanita sepertinya selalu diberi warning (secara tidak langsung) oleh keluarga (terkadang) terutama masyarakat sekitar bahwa usia menjadi titik penting bagi wanita untuk bisa "lolos seleksi" (kayak kompetisi idola aja yah....)alias seleksi ala manusia2 yang mengaku modern tapi kenyataannya pola pikirnya masih sama kayak embah-embahku dulu....
Kenapa dengan pernikahan???
Isu yang satu ini yang paling vital untuk dibahas. Pernikahan, yah semua manusia pastilah akan menuju kesana. Memiliki pasangan hidup dan membangun keluarga sesuai konsep hidup yang memang telah DISEPAKATI oleh 2 orang manusia DEWASA yang telah sama2 YAKIN akan menjalani kehidupan ini sesuai dengan TUJUAN awal mereka membangun KONSEP HIDUP BERSAMA ini. Menikah merupakan hak manusia sebagai seorang pribadi bukan komunal, jadi hargailah pribadi tersebut bukan sebagai objek tapi sebagai subjek (suggestion for Wanda).
Mungkin Julia memang perfectsionist (hanya julukan) tapi dia tetaplah seorang WANITA, seorang pribadi yang ingin dipandang sebagai subjek bukan objek semata.