“Ajarkan anak-anak itu
cara menghargai karya orang lain sejak dini, maka semoga saat dewasa,
mereka tidak menjelma menjadi pribadi yang bisanya cuma iri hati.”
Tidak diragukan lagi,
Indonesia memang terkenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaan. Dari sejak
kita SD sampai duduk di kursi perguruan tinggi, para guru dan dosen seolah
tidak pernah lelah sesumbar betapa beragamnya budaya dan tradisi negara kita
ini. Tentu saja hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Mengingat banyak negara di dunia yang mau tidak mau dipaksa untuk berdecak
kagum atas warisan nenek moyang tersebut. Tidak sedikit pula yang merasa iri. Bahkan
ada yang nekat untuk ‘nyolong’
kebudayaan itu.
Hal yang bisa dimaklumi.
Lihat saja betapa cantik dan menawan para penari bali dengan kain dan aksesoris
berkilaunya. Betapa ayu dan anggun para penari Jawa dengan balutan kain batik
yang tiada tanding coraknya. Betapa damai suara angklung di telinga, yang
secara misterius seolah membawa ketentraman pada batin si pendengar. Atau
betapa nikmat rendang Padang di lidah, memanjakan liur yang seketika menggeliat
hanya dari mencium aromanya. Dan itu hanya segilintir dari sekian banyak kebudayaan
yang dapat disajikan bangsa Indonesia. Wajar saja kalau mereka, bangsa lain, akhirnya
begitu terobsesi dan menggebu untuk mengakui semua itu sebagai propertinya.
Tapi kebudayaan tidak
hanya sekedar hal-hal yang kasat mata, yang materiil. Bukan cuma kain, alat
musik, makanan ataupun gerakan tari. Kebudayaan bisa juga dalam bentuk karakter
bangsa. Mental bangsa. Lantas dengan begitu kayanya kebudayaan ‘materiil’ kita,
apakah kebudayaan ‘karakter dan mental bangsa’ kita ini juga kaya? Aku tidak mau
mengeneralisir jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena mengeneralisir berarti
aku harus berani mempertanggung jawabkan secara menyeluruh. Namun aku bisa
menggambarkan sebuah situasi yang mungkin sedikit, aku tegaskan sekali lagi di
sini- hanya sedikit, bisa membantu
memberi jawaban.
Seorang karyawan baru menimbulkan kehebohan di tempat kerja. Bukan
kehebohan macam anak SMA menyambut siswa baru yang cantik atau tampan. Tapi
dalam bentuk bisik-bisik tetangga akibat rasa sebal dari para rekan kerja. Si
anak bawang di anggap sok tahu dan ‘keminter’ karena berusaha menerapkan cara
pandang dan sistem kerja yang berbeda dari para pendahulunya. Setiap si
karyawan baru melakukan terobosan atau sekedar menyampaikan pendapat, bukan
pujian yang di dapat, melainkan cibiran meremehkan.
Apa susahnya sebuah
apresiasi basa-basi di mulut? Mengatakan hal itu brilian, bahkan ketika
kenyataannya biasa saja. Tidak ada ruginya bukan mengapresiasi usaha seseorang?
Justru hal ini akan banyak menghasilkan keuntungan di masa depan. Si anak bawang justru
akan semakin bersemangat menghasilkan ide-ide baru. Siapa tahu kelak salah
satunya akan menjadi inovasi luar biasa.
Ternyata inilah salah satu
titik dimana kita sedikit ‘miskin’ kebudayaan.
Miskin menghargai pendapat. Miskin mengapresiasi karya. Miskin karakter
dan mental. Kita tidak terlatih untuk mengamini kepintaran orang lain. Sebaliknya,
justru sangat terampil menjadikan orang tersebut objek gunjingan. Kita tidak
terbiasa menjadikan kecerdasan orang lain sebagai bahan motivasi. Sebaliknya,
malah menjadikannya suatu alasan untuk merasa terintimidasi. Kita sepertinya
juga tidak terdidik untuk antusias dalam menerima ide-ide baru dan cenderung menganggap
hal itu tidak lebih dari usaha cari perhatian.
Oleh karena itu, penting untuk
mengajarkan nilai menghargai karya orang lain ini sejak dini. Tentu saja dalam
artian menghargai yang sesungguhnya, bukan yang ditambah-tambahi semata demi
keuntungan pribadi. Tapi penghargaan yang tulus atas usaha seseorang. Dengan
harapan untuk memberi motivasi secara tidak langsung kepadanya agar terus
berkarya dan menghembuskan ide-ide baru. Sehingga tidak ada lagi yang namanya generasi
tukang iri dan pendengki. Mereka yang melihat keberhasilan orang lain sebagai
objek yang bisa mengancam posisinya.
Sudah waktunya kita
melahirkan lebih banyak lagi generasi yang siap menerima tantangan dan mau
mengakui kelebihan orang lain. Mereka yang mau bekerja sama dengan siapa saja
tanpa perasaan risih. Karena pada dasarnya, mau menerima dan berkawan dengan
mereka yang luar biasa, perlahan juga akan mengubah kita menjadi pribadi yang
tidak sekedar biasa saja. Dan begitulah seharusnya karakter ini untuk mulai
diperkaya.
"Miskin mental untuk menghargai orang lain dan tidak merasa terintimidasi" memang jadi issue masyarakat di sekitar kita. Mencibir, kasak-kusuk, bisik-bisik, adalah respon yang paling sering didapat seorang inovator. Padahal mereka yang iri dengki seharusnya termotivasi. Tetap perkaya diri.. Stay extraordinary :)
ReplyDeleteItulah salah satu tema yang diusung dalam Pendidikan Budaya dan Krakter Bangsa yang sedang ramai dibicarakan di dunia pendidikan saat ini. Tapi bisa dibilang aku sedikit pesimis dengan pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, semoga cepat atau lambat para pendidik memahami dengan baik dan tahu bagaimana caranya agar hal ini tidak berhenti di teori atau wacana saja. Untuk sementara waktu, aku menerapkan apa yang sudah aku pahami di kelas yang aku ajar dulu.. ;)
ReplyDelete