Aku sangat menikmati momen keberadaanku di dunia anak-anak.
Mereka menjadikan aku sosok yang lebih ‘hidup’. Mungkin itu sebabnya bahkan sebelum
menyadari kenapa, ketika lulus dari SMA, aku memutuskan
untuk menjadi salah satu mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Aku
ingin menjadi seorang pendidik. Rupanya Allah menyetujui rencana ini. Pada
tahun 2003 silam, aku resmi di terima di Program Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas
Jember melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru)- sebuah seleksi untuk masuk
ke perguruan tinggi negeri pada zamannya.
Selama masa kuliah, aku tidak banyak menemui kesulitan berarti.
Aku bisa membaur dengan mudah. Teman-teman menyadari dengan baik keberadaanku
di antara mereka. Para dosen pun satu per satu mengembangkan senyum setiap
melihatku. Dan hampir semua mata kuliah yang kutempuh, aku jalani dengan senang
hati. Mungkin karena memang disitulah jiwaku berada. Di antara kata, frasa, dan
struktur kalimat. Bahasa dan dunia pendidikan, kombinasi sempurna yang mampu
menjadikan aku seorang ‘pecandu’. Dua
hal yang mampu membangkitkan hasratku untuk sekedar berdiam di dalam kamar,
membaca buku dan menghadap komputer- menuliskan segala hal yang meletup-letup
di otak.
Namun sungguh sebuah ironi, ketika aku berhasil
menyelesaikan studi bahkan dengan predikat lulusan terbaik dari fakultas, nyatanya tidak mudah mencari
sebuah posisi yang orang bilang bergengsi. Ujungnya aku terdampar di
sebuah perusahaan menjadi salah satu tenaga administrasi. Tiga bulan pertama
aku lewati dengan manis. Aku merasa telah mendapat mainan baru yang aku sebut ‘Excel’.
Sebagai salah satu staf HRD, aku memang diwajibkan familiar dengan formula
semacam average, sumif, dan
teman-temannya. Dan percaya atau tidak, ternyata
aku cukup bagus dalam hal ini. Aku cepat belajar cara mengolah data menggunakan
kombinasi formula yang awalnya tampak rumit bagi seorang yang gagap teknologi
seperti aku. Aku merasa dunia baru ini sungguh menarik. Aku mulai memahami betapa komputer
adalah sahabat terbaik para ‘budak’ dunia.
Tapi beberapa kesenangan memang benar sifatnya sementara.
Dalam hitungan bulan semua tantangan yang awalnya menggoda berubah menjadi
momok. Tidak sekedar membosankan, melainkan memuakkan. Dulu aku masa bodoh
dengan istilah psikosomatik. Tapi ternyata penyakit itu sungguh ada dan bisa
hinggap pada siapa saja. Gejala aneh aku rasakan di pertengah bulan ke-7 masa
kerjaku di perusahaan tersebut. Rasa malas luar biasa menjalar hampir setiap
pagi. Bayangan akan tumpukan kertas, panggilan telepon yang harus aku jawab,
dan angka-angka di file Excel, secara
bergantian memenuhi pikiranku. Parahnya, hampir setiap hari aku merasa mual
luar biasa. Perutku seolah ingin memuntahkan semua isi yang di kandungnya. Aku terserang
gejala psikosomatik.
Aku bersyukur karena tidak butuh waktu lama untuk
menemukan jalan keluar dari serangan psikis dan fisik yang tidak di harapkan
itu. Meskipun harga cukup mahal harus aku bayar. Tepat di saat psikosomatis itu
menggerogoti kesehatan jiwaku, suatu peristiwa luar biasa terjadi padaku. Dunia
yang selama ini aku pikir akan menaungi sisa hidupku ternyata terenggut dariku.
Apa yang selama ini tampak begitu benar, seolah menusukku dari belakang,
menjelma menjadi pisau bermata dua. Aku kehilangan pegangan dan merasa terjatuh
dalam kubangan kehidupan, yang aku sadar telah aku gali sendiri selama
bertahun-tahun ke belakang. Tidak pernah aku merasa begitu kesakitan seperti
kala itu. Jiwaku sakit, badanku remuk redam. Untuk beberapa saat, aku tenggelam
dalam kegelapan.
Hari menjadi begitu panjang dan lama. Kegiatan tidur
yang selala ini rutin aku lakukan antara jam sembilan atau sepuluh malam, mulai
bergeser. Jadwalku mulai berantakan. Mata ini tidak akan terpejam sebelum jarum
menunjuk angka tiga, dan bahkan lebih. Aku terserang insomnia. Makan dan minum
tidak lagi tiga kali sehari. Memuntahkan makanan seolah menjadi hal yang wajar.
Dari semua itu, yang terburuk adalah kebisuanku. Aku menolak bicara dengan
siapapun. Aku mendapat kedamaian dari keheningan. Aku merasa aman dengan seharian
berdiam diri di sebuah ruang segi empat. Kamar tidurku. Dan akhirnya itulah
saat dimana aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku. Satu lagi ironi
kehidupan. Aku mendapat kebebasan dari penyebab utama munculnya gejala
psikosomatis, hanya untuk tenggelam pada penyakit yang sebenarnya.
Tidak ada yang membantuku. Bukan karena mereka tidak
mampu, tapi karena aku menyisihkannya. Seolah aku membangun tembok tinggi dan
mengucilkan diri di baliknya. Aku menarik diriku sendiri keluar dari lingkaran
kehidupan. Selama tiga bulan penuh hal itu berlangsung. Sungguh suatu siksaan dunia
fana yang berlebihan. Yang aku rancang dan uji sendiri kedahsyatannya. Dan
akhirnya di suatu malam yang dingin, saat manusia terlelap di balik selimat
masing-masing, aku mendapati diriku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa sangat
bodoh. Tiba-tiba aku merasa menjadi anak yang durhaka. Untuk apa semua unjuk
rasa itu? Untuk apa aku bergelut dengan Penciptaku? Semua jelas sia-sia. Aku
tidak lebih adalah perempuan yang tidak tahu malu. Meminta tanpa mau memberi.
Jadi inikah potret diriku selama ini? Aku menangis sampai paruku tak berfungsi
lagi. Udara berhambur pergi, aku sesak nafas. Mengakui bahwa aku adalah ciptaan
yang tidak tahu diri.
Begitulah saat duniaku yang sekarang dimulai. Allah
menuntunku untuk melamar ke sebuah lembaga pendidikan di salah satu sudut di tempat
tinggalku. Sebuah awal dari keajaiban saat akhirnya aku berada di dalam suatu ruangan bersama
dengan si pemiliknya. Obrolan santai yang sama sekali tidak tampak seperti
wawancara itu membawaku kembali ke dunia yang sempat aku lupakan. Bahasa dan pendidikan.
Aku kembali menjadi seorang pendidik. Persis seperti tujuan utamaku menginjak
kampus sembilan tahun silam. Sekarang, dua tahun lebih aku menjadi teman
belajar anak didikku. Hatiku tidak
pernah setentram ini. Gairahku bersemi setiap kali mereka mencium tanganku. Dunia
kembali memantul di sekitarku.
Lepaskan apa yang ada di tanganmu, sehingga kau bisa
menggenggam sesuatu yang lain. Mungkin itulah yang coba di ajarkan oleh hidup
padaku. Kehilangan satu dunia yang aku kenal, bukan berarti kehilangan dunia itu
sendiri secara menyeluruh. Karena dunia itu seperti kumpulan bola yang memantul
di sekeliling manusia. Ada kalanya bola itu memantul tinggi, jatuh ke zona lain
dan tak pernah kembali. Akan tetapi, akan tiba pula waktunya saat bola yang
tidak kau kenal jatuh di sekitarmu dan memantul tepat ke arahmu. Genggamlah.