“Kalau
niat awalnya ingin mendidik, jadi atau tidak jadi PNS seharusnya tidak masalah
bukan? Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjadi Guru.”
Biarkan aku bernostalgia ke empat tahun
silam, ketika akhirnya aku resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Sebuah pencapaian paling prestisius bagiku dan keluargaku kala itu yang ditandai dengan berlabuhnya selembar kertas berharga jutaan rupiah yang disebut ‘ijazah’
ke genggaman tangan. Saat itu terlintas dibenak akan masa depan yang terang benderang,
dalam artian aku akan menjadi seorang pengajar dengan gaji dari pemerintah yang
jumlahnya cukup menggiurkan. Aku memang begitu naifnya menganggap semua Sarjana
Pendidikan yang menjadi guru akan secara otomatis menjadi PNS. Gambaran tentang
PNS memang selalu buram di pikiranku. Tidak ada satupun dari silsilah
keluargaku yang menyandang titel tersebut. Jadi wajar kalau sampai menginjak
kampus pun aku tidak pernah mempunyai data valid mengenai seorang pegawai
negeri sipil. Yang aku tahu hanya bahwa menjadi PNS berarti hidupmu akan 'aman'.
Ternyata kenyataan hidup memang terkadang
sungguh pahit. Betapa kecewanya aku ketika tahu ternyata untuk menjadi seorang
PNS itu tidak sekedar masalah menjadi guru, tak peduli seberapa tinggi
kompetensimu di bidang yang kamu geluti tersebut. Menjadi PNS itu berarti kamu harus
melawan ratusan orang di sebuah tes yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat demi tempat yang
terkadang bisa dihitung dengan jari. Menjadi PNS itu berarti salah satu antara keberuntungan
atau keberanian. Belakangan aku tahu ternyata yang terakhir lah yang lebih banyak berbicara. Dan mungkin itu pula sebabnya akhir-akhir ini muncul slogan dalam
Bahasa Jawa “wani piro?” yang makin lama makin populer sebagai bahan candaan. Sebuah
humor sinis dari masyarakat kecil seperti aku.
Dan semuanya terbukti pada saat aku
mengikuti tes yang akrab disebut tes CPNS tersebut untuk pertama kalinya. Kala
itu aku melamar menjadi seorang guru Bahasa Inggris, satu-satunya hal yang aku
pikir bisa aku lakukan dengan sangat baik, mengingat pencapaian yang aku raih
di kampus. Dan dengan tingkat percaya diri yang tinggi, akhirnya aku maju ke
medan perang. Semangat juang aku kobarkan, senjata aku genggam erat di tangan. Tapi
bagaikan petir di siang bolong, alangkah kagetnya aku saat tahu ternyata yang
harus aku kerjakan justru seratus soal psikotes. Oh tidaaaak! Bagaimana mungkin
mereka bisa tahu kemampuanku kalau yang harus aku kerjakan adalah seratus soal
‘berandai-andai.’ Tidak ada simple past
tense ataupun future tense,
apalagi micro teaching. Aku pun
mengerjakan soal-soal itu dengan asal. Memaksa otakku mengeluarkan jawaban dari
soal yang tidak pernah diajarkan oleh para dosen di bangku kuliah dulu. Sejak
saat itu aku kapok dengan yang namanya tes CPNS. Goodbye tes CPNS.
Kecewa? Sudah pasti. Apalagi setelah
mendengar info dari berbagai sumber tentang betapa nyamannya hidup seorang PNS
di negeri kita ini. Seolah nasib baik tiba-tiba dihapus dari garis takdirku. Namun
beruntung kekecewaan ini tidak berumur panjang. Karena dari awal aku memang tidak kenal baik dengan konsep PNS yang sering digembor-gemborkan orang tersebut. Tak kenal maka tak sayang! Begitulah,
saat impian menjadi PNS akhirnya melayang, aku tetap bisa santai. Kekecewaan
menguap dengan cepat, dan yang pasti sudah mati keinginanku untuk berlomba di
medan tes CPNS.
Selanjutnya aku runtut lagi semua dari awal. Aku
suka mengajar, aku ingin menjadi guru. Pekerjaan ini adalah satu-satunya hal
yang ingin dan bisa aku lakukan dengan hati. Dan untuk menjadi guru aku tidak
perlu menjadi PNS dulu bukan? Akhirnya aku putuskan untuk
mengajar di salah satu sekolah swasta. Disini hasratku akan dunia pendidikan akhirnya terpuaskan. Meskipun tidak menyandang gelar PNS,
ternyata aku tetap bisa mendidik anak bangsa. Ada yang bilang mengajar itu adalah panggilan
hati, sebuah pekerjaan mulia yang bisa dilakukan siapa saja meski tanpa
embel-embel PNS. Itu memang benar. Sampai sekarang aku tetap bukan PNS, aku hanya seorang guru.
Gaji yang aku terima pun tidak sebesar PNS, tapi aku bekerja tidak kalah
profesional. Sekarang aku sadar, semuanya memang terletak pada tujuan awal,
ingin jadi PNS, apa ingin jadi guru?
No comments:
Post a Comment