Sepasang mata itu membelalak, sorotnya diarahkan lekat ke bola mataku. Bahkan dengan sisa jarak yang berdasarkan hitungan kasar serta mengandalkan kemampuan matematika yang bisa dibilang sangat pas-pasan adalah berkisar 10 meter, aku bisa dengan jelas melihat perubahan binar didalamnya. Sepertinya gadis kecil ini sudah sedari tadi menanti kehadiranku.
“Good
morning, Ma’am.” Sapaan khas anak didik kepada guru perempuan di sekolah
tempat aku mengajar ini pun diucapkannya dengan penuh unsur magis. Seolah ada
lonceng tak terlihat yang seketika bergemerincing mengiringi ucapannya. Tersungging
senyum yang teramat manis dibibirnya ketika aku mendekat.
“Morning.”
Jawabku sembari mengulas senyum yang tidak kalah manisnya. Meskipun secara
teknis aku enam belas tahun lebih tua dari anak didikku yang satu ini, dan akan
kalah telak jika harus melawan kelincahan dan kespontanannya, aku merasa masih
bisa berkompetisi dengannya, paling tidak dalam hal ‘senyuman manis’ tadi.
“Ini Ma’am buku-bukunya C. S. Lewis yang
kemarin aku bilang ke Ma’am lewat SMS.” Terangnya sembari menyodorkan tiga
bendel buku yang sebenarnya tidak asing lagi buatku. Setiap pergi ke toko buku,
tidak pernah absen aku melihatnya terpampang di salah satu rak di dalam toko tersebut.
“Wah terima kasih ya, Ras. Tapi mungkin Ma’am
ngembalikannya agak lama. Tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa Ma’am. Santai saja. Besok
aku bawakan lagi empat buku sisanya, semuanya kan ada tujuh buku, Ma’am.” Yang
dimaksud olehnya disini adalah tujuh buku The
Chronicles of Narnia yang luar biasa terkenal dan sudah diangkat ke layar
lebar itu.
“WOW! Okay,
thank you, Ras. Kamu memberi PR yang
lumayan banyak nih ke Ma’am.” Ujarku dengan sedikit merasa terintimidasi oleh
Bu Guru kecil yang sedang berdiri dengan PD di hadapanku ini. Merasa
terintimidasi apakah aku akan bisa menyelesaikan PR dengan baik dan tepat
waktu.
***
Namanya Raras. Sekarang dia masih duduk di
bangku kelas enam SD. Tapi jangan samakan ‘enam SD’-nya dengan ‘enam SD’-ku. ‘Enam
SD’-ku artinya berhaha-hihi dengan teman, bertengkar dan kemudian tidak saling
sapa, juga malas berangkat sekolah karena takut pada Guru Matematika. Sedangkan ‘enam
SD’-nya berarti ikut lomba pidato Bahasa Inggris dan baca puisi, bergabung
dalam klub jurnalistik, serta mengembangkan hobi fotografi. Kalau dulu ketika
seumurannya aku masih sibuk dengan dakon,
bongkar pasang dan bekel, dia sudah
berkutat dengan blog, powerpoint, dan buku. Dan khusus untuk
yang terakhir tadi, gadis cilik ini benar-benar membuatku heran sekaligus lega
karena akhirnya ada kesamaan diantara setumpuk perbedaan ‘enam SD’ antara kami
berdua, yaitu kami sama-sama berangan membangun sebuah perpustakaan pribadi.
Tidak kusangka ada gadis berumur sebelas
tahun yang sudah begitu cintanya pada dunia baca, terutama melihat sebagian
besar anak bangsa yang bahkan tidak tahu pentingnya budaya literasi ini. Dan
demi menggapai citanya tersebut, rupanya dia sudah banyak mengambil langkah
pasti. Sudah banyak buku yang dikoleksinya. Tidak tanggung-tanggung, buku yang
dibaca pun bukan lagi buku cerita bergambar seperti yang selalu laris manis dipinjam
siswa-siswa dari perpustakaan sekolah kami, tapi buku-buku yang mungkin banyak kakak
kelasnya di SMP ataupun SMA bahkan tidak mau membacanya.
Gadis ini sudah kenal dengan Tere Liye dan
Hafalan Shalat Delisa ataupun Dahlan Iskan dan Ganti Hati. Dia juga akrab
dengan penulis internasional macam C.S. Lewis, Enid Blyton ataupun Roald Dahl. Dan
nampaknya, kini si gadis cilik akan segera melebarkan sayapnya ke dunia sastra
dan filsafat. Hal ini aku simpulkan sesaat setelah aku menerima SMS darinya
siang tadi.
“Aku sudah beli buku Dahlan Iskan, Ma’am.
Juga bukunya Dee yang Madre. Aku tahu buku itu setelah baca blog Ma’am, Go Grab Books.”
“Wah
padahal Ma’am sudah lama tidak posting
di blog yang itu, Ras.”
“Ma’am
sudah dapat bukunya Pramoedya Ananta Toer belum? Aku boleh pinjam Ma’am?”
“Dapat,
tapi belum lengkap. Boleh, besok Ma’am bawakan yang biografi Kartini. Ma’am
juga punya buku filsafat nih. Ceritanya tentang buku-buku dan perpustakaan
ajaib. Mau pinjam?”
“Okay,
Ma’am. Pinjam ya??”
“Sip.”
Mau jadi apakah gadis cilik ini? Sesaat aku
merasa kecil dan.. iri hati. Iri pada minat bacanya yang gendut dibalik
badannya yang kurus. Iri pada segudang prestasi yang didapatkannya di usianya
yang masih belia. Iri pada semangatnya dalam menghidupkan budaya literasi. Hal ini
bukan sekedar tong kosong nyaring bunyinya, aku sudah berulang kali
mendapatinya meminjamkan buku-bukunya pada teman dan bahkan menyumbangkannya pada
perpustakaan sekolah. Bukankah itu perwujudan paling nyata?
Di sisi lain, aku merasa bangga. Melihat anak
didik yang berkilau dengan begitu indahnya. Dan bahkan hanya dengan berbincang
beberapa menit saja aku tahu dia bujan anak kelas enam SD biasa. Cita-citanya
besar, sebesar jiwa sosialnya. Kini aku merasa dia adalah seorang perempuan
dewasa, bukan lagi anak didik apalagi anak kecil. Seketika ada yang membuncah
di dadaku. Ah.. Begini rupanya kebahagiaan sejati itu.
No comments:
Post a Comment