Setiap berbicara tentang
masa kecil, Ibu tidak pernah absen memberi tahu lawan bicaranya betapa manja
dan arogannya a seven-year-old version of
me. Beliau lantas mengulang-ngulang
cerita dimana aku menangis hebat sembari meneriakkan ‘mantra’ andalanku saat
itu-Bapak, dengan diikuti penjelasan panjang lebar mengenai ketergantunganku
akan sosok yang satu itu. Yah, Bapak memang tokoh idolaku sepanjang masa. Bukan
karena kepintaran atau kepribadiannya, melainkan karena beliau selalu
menjadikanku anak favoritnya, putri kesayangannya. Bapak adalah the fairy god mother. Orang pertama yang
terlintas di pikiranku saat aku mendapat masalah dan yang dengan tongkat
ajaibnya akan memberiku jalan keluar dari segala jenis kebuntuan. Hal ini tidak
jarang menimbulkan kontra di antara saudara-saudaraku. Namun pada akhirnya, mereka
selalu menemukan jalan masing-masing untuk memaklumi dan menerimanya.
Aku adalah anak ketiga dari
empat bersaudara. Ketiga saudaraku semuanya laki-laki. Posisi strategis sebagai
satu-satunya anak perempuan inilah yang menjadikanku istimewa. Paling tidak begitu
konsep awal yang di anut Ibu dan ketiga saudara laki-lakiku sebelum akhirnya
teori itu berubah menjadi sebuah norma tidak tertulis di keluarga kami. Mungkin
hal ini pula lah yang akhirnya menjadikanku begitu terikat secara emosional
dengan Bapak, dan sering kali aku memanipulasi hubungan ini dengan menjadikannya
senjata demi keuntungan pribadi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Namun semakin
aku memahami diriku, semakin aku merasa this
whole idea of ‘that special daughter’ was entirely incorrect. Semakin aku
mengenal sosok Dini Rosita Sari, semakin aku tersadar bahwa aku ini tidak lain
adalah bayangan yang dilihat Bapak setiap kali beliau bercermin. Aku adalah
saudara kembar perempuan beliau, not
literally of course.
Terkadang akan sangat sulit
untuk mendefinisikan diri sendiri dibanding jika harus melakukan hal yang sama
tentang orang lain. Aku pun merasakan hal yang sama. Dan sosok Bapak lah yang
membantuku untuk memahami pribadi macam apa aku ini. Bapak adalah karakter yang
sangat gamblang baik bagi orang terdekat ataupun kenalannya, namun dalam artian
yang berbeda. Kenalannya mungkin akan menganggap beliau sosok yang akan dengan
mudah dimintai pertolongan karena wataknya yang memang lembut dan toleran. Akan
tetapi bagi ibu dan anak-anaknya, Bapak adalah pribadi yang sulit diperintah.
Akan sangat menguras emosi dan energi hanya demi meminta beliau datang ke
pernikahan saudara kalau itu bukan karena keinginannya. Hal ini lah yang
terkadang menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil antara Bapak dan Ibu. Ibu
tidak dan bahkan mungkin tidak akan pernah memahami semua itu, but I do, karena aku pun begitu. Kami berdua
lemah lembut tapi keras kepala, toleran tapi tegas dan sering kali ringan
tangan namun benci diperintah.
Bapak
juga merupakan perwujudan pribadi posesif kompulsif yang bebas. Ketika
mencintai sesuatu, tanpa sadar beliau akan menunjukkan sebentuk perilaku unik
yang tampak jelas bagi orang disekitarnya tapi tidak bagi dirinya sendiri. Saya
ingat Ibu pernah berkata, “Bapak kamu itu lucu, Din. Dulu pernah beli kursi
lipat, jumlahnya tiga biji. Padahal sudah tahu anaknya empat. Tidak lama eh
beli kursi plastik, berapa jumlahnya? Tiga lagi. Terus pernah membeli kemeja
warna putih berulang-ulang sampai lemari dipenuhi warna putih. Nah sekarang sepertinya
beliau sedang menyukai warna hitam. Sudah lebih dari tiga kali beliau membeli
kemeja warna hitam berturut-turut. Bapak kamu memang begitu, kalau sudah suka
sama sesuatu, yang diulang-ulang ya benda itu.” Begitu cara Ibu secara literal
mendeskripsikan karakter Bapak kepadaku. Sedangkan aku mungkin menjelaskannya
dengan sedikit berbeda.
Bapak adalah jiwa perfeksionis.
Yang selalu mencari kesempurnaan dari setiap hal, paling tidak bagi mata dan batinnnya
sendiri. Itulah yang menjadikannya pribadi yang kompulsif. Selalu mengulang
pola yang sama sampai akhirnya menemukan kombinasi yang menurutnya mendekati
sempurna. Bapak adalah pria yang akan berulang kali bolak-balik memandang pantulan dirinya di dalam cermin, memperhatikan setiap detil busana yang dikenakannya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang melekat di badannya sudah yang paling indah. Begitu juga dalam mencintai sesuatu, he would do it so perfectly and passionately yang cenderung membuatnya tampak posesif namun juga sangat menikmati keposesifan. Tapi sekali kau beri kebebasan padanya, beliau akan menjelma menjadi
burung yang tidak akan pernah bisa kau kandangkan, meski dengan sangkar emas
sekalipun, persis seperti aku. Bapak dan aku adalah dua pribadi posesif namun
haus kebebasan, perfeksionis tapi tidak membosankan.
Satu
watak lagi yang aku lihat setiap kali aku mengaca pada sosok Bapak yaitu
kenyamanan dan kepercayaannya pada diri sendiri. Seorang yang inexplicably akan lebih memilih untuk
berdiam diri di dalam rumah di banding berkumpul dalam rapat RT dengan lelaki
sebaya membahas isu-isu sosial. Beliau adalah sosok yang menghindari konflik
dan perselisihan akan tetapi selalu melakukan apa yang menurutnya benar. Beliau
adalah jenis orang yang tidak pandai bersosialisasi namun pintar bersahabat, orang
yang tampak apatis namun dalam otakknya tercatat semua kepincangan yang ingin dan
bisa dia selesaikan. Dan sama halnya dengan aku, Bapak adalah orang yang akan merasa nyaman di tempat yang tak karuan walaupun orang lain mengutuk habis-habisan kesemrawutan dunia kami.
Begitu lah
hubunganku dengan Bapak. Kami terikat secara emosional bukan karena beliau
terlalu memanjakan aku, tapi karena beliau memahamiku, karena apa yang aku
butuhkan hampir semuaya juga beliau butuhkan. Bapak dan aku, dua fisik yang berbeda
akan tetapi terbentuk oleh pribadi dan karakter serupa. Kami adalah jiwa kembar
yang mendiami raga yang disebut ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, menyandang status yang dipanggil ‘bapak’ dan ‘anak’.
*aku dedikasikan tulisan ini untuk sosok Bapak yang telah menjadi
inspirasi terbesarku
No comments:
Post a Comment