Kusendok cepat-cepat nasi goreng yang
saling tumpang tindih di atas piring kaca lebar di hadapanku, sambil sesekali
meneguk susu coklat hangat dari cangkir merah muda, pemberian dari seorang
sahabat beberapa bulan yang lalu. Pagi ini aku bangun sedikit terlambat.
Seperti biasa, aku memang melarang mama untuk menggedor pintu kamarku di pagi
hari. Aku selalu menegaskan pada beliau bahwa aku ingin bangun atas kehendakku
sendiri. Oleh karenanya aku memutuskan untuk membeli sebuah jam weker yang sejak
satu tahun lalu terduduk manis di atas sebuah meja di samping kasur. Aku harus
mandiri. Jam weker itu adalah salah satu perwujudan dari niat tersebut.
Tapi pagi ini aku merasakan kantuk luar
biasa. Ketika weker itu berteriak tepat pada jam lima subuh tadi, aku malah
memilih untuk membenamkan wajah ke dalam bantal. Tidak apa-apalah mengolor
waktu barang sepuluh menit, pikirku. Tapi ternyata sepuluh menit berubah
menjadi enam puluh menit. Dan beginilah kensekuensinya, aku harus melakukan
kegiatan pagi tidak lebih dari tiga puluh menit saja. Karena tepat pada pukul setengah
tujuh, aku harus sudah berada di atas boncengan mama menuju ke sebuah sekolah dasar
dimana aku menimba ilmu selama hampir tiga tahun ini.
Kantuk luar biasa yang aku rasakan tadi
pagi bukannya tanpa alasan. Semalam, mata sipitku ini baru terpejam sekitar
tengah malam. Bukan karena menonton film di televisi atau belajar, melainkan
karena rasa gelisah yang mendadak menyerangku. Terdengar konyol memang, tapi
itu benar-benar aku rasakan. Dan akan terdengar jauh lebih konyol saat aku
katakan bahwa hal yang membuatku gelisah adalah kelas Bahasa Inggris. Kamu tahu
mengapa? Karena pagi ini di kelas Bahasa Inggris aku akan menunjukkan kepada
guru dan teman-temanku bahwa aku mempunyai hobi yang sangat menarik. Dan aku
akan membuat mereka semua terbengong kagum melihat benda yang aku bawa ke
kelas.
Satu minggu yang lalu, Bu Kinan dengan
jelas meminta kami untuk memilih satu jenis barang yang berhubungan erat dengan
kegemaran kami, membawanya ke kelas di pertemuan selanjutnya dan menceritakan
apa yang biasa kami lakukan dengan benda tersebut. Otakku sibuk mencari sesuatu
yang bisa mengundang decak kagum. Berulang-ulang aku tanyakan kepada mama dan
papa tentang apa yang seharusnya aku bawa, tapi jawaban mereka belum bisa
memuaskan keinginanku untuk mencuri perhatian guru dan teman-teman sekelas.
Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu, sebuah ide cemerlang seolah terketik
secara otomatis di otakku. Iya, benda itu lah yang akan aku bawa ke kelas.
Sudah lama memang aku tidak menekuni hobi yang satu ini, tapi bagaimanapun hal
itu benar-benar pernah menjadi suatu kegemaran, bukan? Maka perasaan tidak sabar
akan hari esok membuatku terjaga sampai hampir tengah malam.
Kulirik tas ransel bergambarkan sepasang
kupu-kupu cantik yang kini tergeletak di atas kursi di sampingku. Benda itu
sudah aman berada di dalamnya. Dengan benda itu, aku akan membuat teman-teman
merasa iri. Kulafalkan sekali lagi presentasi dalam Bahasa Inggris yang sudah
aku buat dua hari sebelumnya dengan bantuan mama. Lancar. Seolah aku sudah
benar-benar bisa berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut. Aku merasa seperti
orang ‘bule’ kalau sudah begini. Berbekal benda yang ada di dalam ransel unguku
dan apa yang baru saja aku ucapkan, sudah pasti kelas Bahasa Inggris di hari
Kamis ini sepenuhnya akan menjadi milikku.
***
Kami mepunyai perjanjian lisan dengan Bu
Kinan. Bahwa setiap pergantian pelajaran Bahasa Inggris, maka setiap siswa
harus sudah pada posisi siap belajar. Dalam artian kita semua harus sudah duduk
manis di atas tempat duduk masing-masing dan tidak membuat kebisingan tak berarti.
Kalau perjanjian ini dilanggar, maka Bu Kinan tidak akan memasuki kelas kami.
Sejauh ini, aku dan teman-teman cukup berhasil dalam melaksanakannya.
Begitu juga pagi ini, teman-teman sudah
siap di kursi masing-masing. Mata mereka tampak berbinar penuh gairah.
Sepertinya, bukan cuma aku yang tidak sabar ingin membuka bungkus yang
menyelimuti benda misterius yang sedari tadi kami bawa. Kuedarkan pandangan ke
seluruh penjuru kelas. Beberapa teman tampak sedang sibuk menghafal baris-baris
presentasinya, sama seperti yang aku lakukan pagi tadi di meja makan. Bahkan ada
beberapa yang sudah dengan bangga menunjukkan benda-benda favoritnya.
Diantaranya aku melihat kaos sepak bola bertuliskan “Messi”, sebuah kaca mata
renang, sebuah boneka beruang dan beberapa benda lainnya. Sejauh ini aku belum
melihat ada seorang temanpun membawa benda yang sama dengan apa yang kusimpan
rapi di dalam ransel. Diam-diam aku mengembangkan senyum.
Akhirnya saat itu datang. Terdengar suara
langkah cepat dan tegas. Sudah jelas itu langkah Bu Kinan. Ketua kelas kami pun
sibuk menyiapkan anggotanya, menginstruksikan kepada mereka untuk segera
meletakkan benda-benda misteriusnya ke dalam loker meja masing-masing.
Dan..muncullah sosok itu. Bu Kinan yang kurus, terutama bila dibanding dengan
kebanyakan guru kami yang lain. Namun jangan salah, dibalik tubuhnya yang kurus
itu, kami sering sekali mendengar suaranya yang menggelegar. Tapi tunggu dulu,
apa itu yang ada di gendongan tangannya? Sebuah benda yang dibungkus oleh
plastik hitam. Melihat dari bentuknya yang kotak, sepertinya itu adalah sebuah
buku. Tapi aku tidak pernah tahu ada buku sebesar itu. Rasa penasaran seketika
membuyarkan konsentrasiku pada tugas presentasi.
Setelah mengucap salam dalam Bahasa
Inggris, Bu Kinan menyakan kesiapan kami akan presentasi kali ini. Semua anak
menjawab serentak, “Yes, Ma’am.” kemudian dilangkahkan kakinya menuju meja dan
dengan terampil jari-jemarinya mulai membuka bungkusan plastik hitam yang
dibawanya tadi. Saat akhirnya bungkusan itu terbuka, aku dan teman-teman dibuat
kaget. Ternyata benar, benda kotak itu tidak lain adalah sebuah buku. Namun
buku itu tidak seperti buku-buku yang aku punya atau yang terdapat di
perpustakaan sekolah. Buku itu bersampul merah tua dengan tulisan berwarna
kuning keemasan di sampul depannya. Ada sebuah gambar pria tua dengan memegang
sesuatu seperti rokok namun tidak tampak seperti rokok. Aku tidak tahu benda itu harus disebut apa. Rasa
penasaranku buncah.
Bu Kinan tanpa diminta lantas bercerita
bahwa buku itu adalah benda favoritnya. Dia membelinya dengan harga sepuluh
poundsterling, atau sekitar seratus lima puluh ribu rupiah. Dan kamu tahu ada
berapa halaman di buku tersebut? Seribu empat ratus delapan.
Tidak kurang tidak lebih. Bisa kamu bayangkan butuh waktu berapa lama untuk
menyelesaikannya. Buku itu dibelinya sewaktu dia berkunjung ke Inggris beberapa
saat lalu. Yang membuat Bu Kinan tertarik untuk membelinya adalah karena Bu
Kinan merupakan penggemar si penulis. Dia sangat mengagumi karakter utama dari
cerita fiksi yang berkisah mengenai seorang detektif itu, yang belakangan aku
tahu ternyata sangat terkenal, Sherlock Holmes. Dari situ aku menyimpulkan
bahwa Bu Kinan benar-benar suka membaca.
Sungguh senang rasanya mendengar Bu Kinan
bercerita tentang hobi dan benda favoritnya tersebut. Kami dibuat kagum dengan
cerita tentang bagaimana hobinya itu akhirnya membawa dia terbang ke Inggris
dan bahkan benar-benar mendatangi museum Sherlock Holmes di jantung kota
London. “Mimpi yang menjadi kenyataan”, ujarnya. Aku juga ingin menjadi seperti
Bu Kinan. Aku ingin menekuni hobiku dengan lebih serius. Seperti kata Bu Kinan,
hobi itu adalah salah satu cara untuk mengasah bakat dan kemampuan setiap
orang. Semakin kau tekuni, semakin terampil kau dibuatnya. Semangatku terbakar.
Kupegang erat sebuah album yang memuat lembaran-lembaran kertas yang penuh
dengan goresan tanganku. Iya, hobiku adalah menulis. Suatu hari aku ingin
menjadi penulis terkenal. Penulis yang buku-bukunya digemari oleh orang seperti
Bu Kinan. Bayangkan betapa kerennya jika melihat seseorang bercerita tentang
penulis pujaannya dan ternyata penulis itu adalah aku?
Lamat-lamat aku mendengar Bu Kinan
menawarkan kesempatan pertama untuk melakukan presentasi. Tanpa ragu, aku
angkat tangan kananku dan melangkahkan kaki ke depan kelas. Semoga ini adalah
awal dari mimpi yang jadi kenyataan.
*Persembahan kecil bagi teman seprofesi. Remember, a great teacher inspires!