Hari ini ada
hajatan besar di kampung perbatasan. Para warga dengan ikhlas berbondong keluar
rumah, yang lelaki tak lupa membawa lengkap peralatan kerja seperti sabit,
kapak, dan lain sebagainya. Pun yang perempuan tak mau kalah. Didirikannya
tenda di halaman salah satu warga, tentu saja dengan bantuan para lelaki.
Disana, ditanaknya nasi, diiris-irisnya berbagai macam sayuran, dan ikan asin
pun digoreng dengan minyak panas, menimbulkan bau yang terlampau lezat di
hidung para lelaki yang kini sedang sibuk membabat rumput liar di pinggiran
jalan, ataupun memotong pohon-pohon yang cabang rimbunnya menjadi sumber
kekhawatiran warga, terutama ketika musim angin akan menghampiri seperti sekarang.
Gotong royong memanglah menjadi akar utama kehidupan di kampung tersebut. Yang
satu akan berebut menyokong yang lain yang sedang kesusahan, bukan malah
berpura-pura buta pada kenyataan kehidupan. Mengaku prihatin, tapi enggan
beranjak untuk meringankan. Atau bahkan ada yang lebih keterlaluan. Memasang
tampang berduka atas bencana yang dialami sesama, tapi hatinya bersorak riang.
Ah, manusia! Pandai sekali kalian bermuka dua.
Peringatan
hari kemerdekaan di kampung perbatasan memang selalu seramai ini. Para gadis
sudah sibuk berlenggak lenggok. Menggerakkan pinggul kesana kemari sembari
berusaha mengingat gerakan-gerakan yang sudah diajarkan para seniornya. Sudah
jauh hari lagu ditentukan, gerakan diciptakan, kini saatnya dipraktikkan. Bahkan,
para bocah laki-laki pun tak kenal malu. Dirayunya para gadis tanggung itu,
dimintanya untuk mengajari sepatah dua patah gerakan. Semua diselingi dengan
canda, semua tertawa lepas tak terkira, lebur jadi satu dengan semangat
kebebasan berkarya, tanpa benar-benar tahu untuk apa mereka harus bersuka cita
demi yang terjadi di masa lampau. Sedahsyat apapun itu, segilang-gemilang
apapun pencapaian di masa lalu, toh semua sudah lewat. Kalau tidak dirawat, tidak
diperkuat, semua hanya akan menjelma menjadi pohon tak berakar, yang akan mudah
tumbang terkena angin kencang.
Di sebuah
sudut yang tak begitu kentara, nampak ada sosok si pemuda sarjana, diam seribu
kata. Sorot matanya menyudutkan. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas
dengan penuh kesinisan. Sungguh, begitu kontras wajah manusia yang satu ini
dengan yang lain. Entah karena dia selalu makan berkecukupan, ditambah lagi vitamin
yang belum tentu sebulan sekali dirasakan para bocah kampung itu, sehingga
wajahnya selalu lebih bersih dari warga pada umumnya. Dan dulu, ketika dirinya
masih bocah ingusan, selalu menjadi perhatian yang pertama dan utama karena
ketampanannya. Si pemuda sarjana tampak khusyuk memaknai canda para bocah
kampung. Betapa konyol mereka, batinnya. Begitulah Nak, nikmati masa-masa ini.
Dimana berbuat bodoh masih dianggap lucu. Saat kau tidak harus memikirkan
tentang nasib baik dan nasib buruk. Dulu saat kecil aku tidak pernah seperti
kalian. Berjoget dengan tololnya hanya demi sebuah acara kemerdekaan. Untuk apa
kalian peringati semua ini, kalau toh nanti ketika besar tetap tak ada nasi
untuk dimakan?
Ya, Nak, lanjutkan kekonyolan kalian. Aku sudah tahu sejak mula kalian memang hanya generasi tumbal. Tumbal bagi mereka yang punya kekuasaan. Yang hidupnya ditujukan seolah-olah demi kemanusiaan, tapi berinti kemunafikan. Ya, dan sekarang, mari Nak, kalian jadi tumbalku. Ketika besar pun kalian tetap akan bernasib sama, sebagai tumbal. Jangan pernah bermimpi menjadi orang sepertiku. Terlalu tinggi nak, Mimpi ada batasnya.
Ya, Nak, lanjutkan kekonyolan kalian. Aku sudah tahu sejak mula kalian memang hanya generasi tumbal. Tumbal bagi mereka yang punya kekuasaan. Yang hidupnya ditujukan seolah-olah demi kemanusiaan, tapi berinti kemunafikan. Ya, dan sekarang, mari Nak, kalian jadi tumbalku. Ketika besar pun kalian tetap akan bernasib sama, sebagai tumbal. Jangan pernah bermimpi menjadi orang sepertiku. Terlalu tinggi nak, Mimpi ada batasnya.
Si pemuda sarjana
melangkah menghampiri bocah-bocah kampung. Saat jarak semakin dekat,
bocah-bocah itu berebut menyentuhkan pipinya pada tangan si pemuda sarjana. Salam
tak lupa diucapkan, Senyuman yang paling manis dikembangkan.
“Sudah siap
tampil semuanya?”
“Sampun, Pak.”
“Iya, Bapak
doakan semoga acaranya lancar.”
“Enggeh, Pak. Terima kasih”
Bagus, Nak.
Aku akan menjadi Bapak kalian yang baik sekarang. Tidak akan ada yang meragukan
ketulusan seseorang yang dekat dengan anak-anak. Orang tua kalian yang
sebenarnya akan mendengar semua derma yang sudah aku lakukan. Dan pada
akhirnya, hal itu akan membantu banyak. Kalian sudah menggali lubang tanpa
kalian sadari. Lubang yang tidak hanya cukup untuk kalian diami sendiri, tapi
juga bapak dan ibumu nanti. Dan suatu saat, akan kutagih semuanya. Hutang harus
di bayar, Nak. Inilah ironi kehidupan. Yang kuat perlu yang lemah untuk
dikorbankan. Suatu saat, mungkin akan kalian menyadari. Tapi saat itu semua
sudah akan terlambat. Kalian sudah terjerat.
Para bocah itu
menari dan menyanyi. Di atas panggung yang teramat sederhana, hanya berhiaskan
potongan-potongan kertas warna-warni. Riasan mereka belepotan di sana sini, tapi
siapa yang mau peduli. Bocah-bocah merasa bak di negeri dongeng, menjadi putri dan
pangeran di kampung sendiri. Orang tua mereka duduk di atas tikar. Mengulas
senyum sarat dengan kebanggaan melihat anak yang di kandungnya menjadi bintang
semalam. Tanpa mereka tahu, sebuah jaring raksasa sedang saling berpilin satu
sama lain. Mengepung mereka dari berbagai sudut. Seringaian si empunya tak
henti-henti tersungging. Selamat datang, jaring lelembut.