Sore ini ada yang tiba-tiba menarik
perhatianku. Entah untuk keberapa kalinya aku memandang ke arah yang sama,
namun baru kali ini aku menyadari sebuah eksistensi yang sebenarnya tidak
pernah menjadi masalah, namun dengan sangat tiba-tiba berubah menjadi begitu mengganggu.
Rak buku. Ya..salah satu benda favoritku ini lah yang justru sangat mengusik
rasa nyamanku saat ini. Entah karena apa tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah
dengan rak buku tersebut. Serasa ada yang ganjil dan terus-terusan menggelitik
imaginasiku.
Rak buku ini terbuat dari kayu, dengan
lebar 30 cm, panjang 100 cm dan tinggi 138 cm. Bagian dalamnya tersekat menjadi
dua kolom dan empat baris. Sehingga dari penyekatan itu diperoleh delapan buah bookshelves berwujud persegi panjang.
Dibagian depan, rak buku ini dilindungi oleh sebuah kaca bening yang bisa
bergeser ke kiri dan kanan, kecuali dua bookshelves terbawah yang memang sudah terlapisi oleh pintu kayu berwarna
coklat tua.
Entahlah, apa gerangan yang kurang mengena
di hati sehingga tiba-tiba saja rak buku ini tak menyenangkan lagi. Semuanya
tetap sama. Warnanya yang coklat tua memang sengaja kupelihara. Aku menyukai
semua yang masih pada kodrat alaminya, seperti kayu yang setia pada warna, serat
dan teksturnya. Pun puluhan buku yang mendiami. Semua masih kujaga dan kusimpan
dengan rapi sesuai dengan tebal dan tinggi. Tapi kini rasanya aneh, ada sesuatu
yang membuatku kehilangan gairah padanya. Apa itu…aku mencoba menerka-nerka.
Jengah dengan teka-teki ini, kusambar semua
buku dari tiap rak. Kukeluarkan dan kubentangkan di atas lantai. Satu persatu
kutata buku tersebut disana. Kini lantaiku bak lautan buku saja. Ibu yang
kebetulan lewat pun jadi terheran-heran olehnya. Biarlah..yeng penting
tersalurkan jiwa yang sedang gulana ini. Kuamati rak buku tersebut. Kosong. Bak
pulau di sebuah remote area. Seperti
semesta yang tiba-tiba kehilangan bintang dan planetnya. Kini rak buku itu menjadi
lapang dan begitu terbuka. Mungkin itulah yang seharusnya kita lakukan saat jiwa
sedang gelisah. Ketika sudah terlalu banyak simpul dalam tali kehidupan kita. Keluarkanlah
beban-beban itu, bukan untuk membuangnya melainkan untuk menatanya kembali di
kemudian hari. Kendurkan simpul di tali dan luruskan yang dulu sempat terlilit.
Kosongkan ruang di hati. Lapangkan bilik di jiwa. Dan tentu saja luruskan pola
di otak. Atau dengan kata lain, go back
to default setting, refresh
everything. Dengan begitu, gundah tidak terburu berkembang menjadi gulana.
Begitu pula dalam cinta. Terkadang kita
perlu mengosongkan hati untuk menelusuri semua akar permasalahan. Suatu
eksistensi yang sudah terlalu lama melekat di hati memang terkadang membuat
kita lupa diri. Menganggapnya sebagai yang abadi dan tidak terganti. Padahal
yang sebenarnya adalah bagaimana kita telah terus menerus membohongi diri
sendiri. Menganggap keberadaannya sebagai formula sempurna tiada banding dan
tak mungkin disanding. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hati kita tahu bahwa ini
tak lebih dari sekedar sebuah mission
impossible. Hanya saja, harapan lah yang selalu membuat kita berkelit lagi
dan lagi. Jadi, lepaskan harapan yang berdesakan itu dan ciptakan ruang kosong
di hati. Dengan begitu, kita dapat mengulang semua prosesnya dari awal lagi.
Sejenak kupandangi rak buku yang kini
melompong itu, sebelum kumasukkan lagi satu persatu semua buku yang ada di atas
lantai. Namun kali ini aku mempunyai modus yang sedikit berbeda. Secara acak
aku tata buku-buku tersebut. Tidak lagi aku kelompokkan mereka sesuai dengan
ketebalan ataupun tingginya. Semuanya berpadu secara acak baik warna dan
ukuran. Dan aha! Ternyata hasilnya sungguh diluar dugaan. Cantik apa adanya. Kini
rak buku itu tampak berbeda. Meski warnanya tetap coklat tua dan buku
didalamnya nya pun tetap sama.
Sejatinya cinta itu memang sanggup membuat
sesuatu yang sama menjadi istimewa. Yang biasa menjadi indah. Yang tak kentara
menjadi jelas dan nyata. Yang awalnya hanya kelakar, menjadi wibawa. Memang
begitulah tradisinya, tak bisa disanggah pun tak bisa diterjemah. Karena sebagai
wayang, kita manusia hanya bisa pasrah pada sang dalang. So, let’s empty the bookcase everyone!
No comments:
Post a Comment