“Baik sekali, Saijah. Aku ingin kawin dengan kau jika kau telah
kembali. Aku akan memintal, dan menenun sarung dan selendang, dan aku akan
membatik, dan bekerja rajin sekali selama itu”. ~ Adinda pada Saijah, Max
Havelaar.
Sayang sekali
Adinda yang ini tak bisa memintal ataupun membatik. Pun tak tahu ia bagaimana
cara menggunakan sarung ataupun selendang untuk membalut badan. Adinda yang ini
juga tidak pandai dalam tetek bengek pekerjaan yang begitu perempuan. Baginya,
perempuan jaman sekarang sudah bukan lagi perempuan di zaman penjajahan. Yang hanya
dinilai melulu dari keterampilannya menggoyang tangan; mengolah rempah dan
palawija, mengucek ataupun memeras kain, dan mengelap kusen atau teralis.
Memang pernah
suatu ketika Adinda berpikir untuk putar haluan. Dibayangkannya hidup sebagai
perempuan selayaknya yang ‘hanya perempuan’. Aduh, pusing sekali kepalanya
tiba-tiba. Pening tidak karuan. Jangan salah sangka, Adinda bukanlah anak manja
yang tak mau tangannya menyentuh tanah. Pun Adinda bukan jenis perempuan yang enggan
menyingsing lengan baju. Hanya saja, Adinda masih memilih untuk melakukan yang sekarang
benar-benar ingin ia kerjakan.
Lantas kau
mungkin bertanya, sebenarnya mau jadi apa kau, duhai Adinda? Adinda akan
menjawab, “aku ingin jadi perempuan. Tapi bukan perempuan yang HARUS selalu
berada di dapur saat waktu makan, perempuan yang HARUS memegang kain kotor setiap
minggu, perempuan yang HARUS mengepel lantai. Adinda ingin menjadi perempuan
yang memasak dengan hati, mencuci dengan pengabdian, menyapu dengan ketulusan.
Dan itu bukan berarti sebuah keharusan."
Adinda yang
ini ingin menjadi jiwa merdeka tanpa embel-embel seorang perempuan. Yang diberi
batasan-batasan dalam pola pikirnya. Yang dikurung oleh ‘kodrat sejatinya’
seorang perempuan. Baginya, jiwa bebas berarti bisa bersanding dengan jiwa mana
saja yang dia suka. Berbagi hidup dengan mereka yang bebas pula. Adinda ingin
dinilai kualitasnya sebagai seorang manusia, bukan perempuan.
Duhai Saijah, apakah
kau termasuk jiwa yang merdeka? Jikalau iya, tidak sabar rasanya Adinda
melihatmu kembali. Jikalau bukan, biarlah saja ia menjadi Adinda gadungan.
No comments:
Post a Comment