“Ini
bukan mimpi kan?”
“Kalaupun
mimpi, kita mimpi bareng.”
Seandainya tidak ada dia yang sekarang
sedang duduk menikmati bola-bola daging yang dia sendok dari sebuah mangkuk putih di
hadapannya, aku pasti sudah mencubit pipiku sendiri. Menariknya ke samping
kanan dan kiri sebagai aksi pembuktian bahwa aku memang benar-benar tidak sedang
bermimpi. Konyol memang, tapi disitulah sensasinya. Berada di tempat ini, duduk
disampingnya, menatap matanya, menangkap suaranya, semua terasa terlalu
sempurna. Mimpi yang menjadi nyata.
Mendadak aku merasa hanya ada aku dan dia.
Kenyataan bahwa kami sedang membaur di
sudut kota paling ramai pun tidak mampu menenangkan hatiku. Aku gelisah. Berdua
dengannya sungguh merupakan suatu keadaan yang tidak aku persiapkan. Harapan untuk berada di suatu dimensi ruang
dan waktu yang sama dengannya bahkan sudah lama aku tepis. Tapi lihatlah kami
saat ini, berdampingan layaknya dua sejoli. Bumi pun berubah sepi di mataku, karena
aku hanya melihatnya. Kali ini, benar-benar dia.
“Kenapa mobil di Inggris setirnya di sebelah kanan ya? Padahal di negara Eropa yang lain setirnya ada di kiri, sama seperti
Amerika. Kenapa Inggris justru seperti Indonesia?” Tanyaku di tengah-tengah
perbincangan kami.
“Salah. Seharusnya pertanyaannya adalah
mengapa Indonesia yang bekas jajahan Belanda justru meniru Inggris, memakai
mobil dengan setir di sebelah kanan?” Respon kilatnya.
“Eh, iya. Kenapa ya?” Tanyaku dengan tidak
bisa menyembunyikan rasa malu akan ketololanku.
Begitulah memang kalau sedang bersama dia. Aku
jadi tolol dadakan. Layaknya anak SD berhadapan dengan mahasiswa. Otakku ini
mengalami suatu kemunduran drastis tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Atau
mungkin ini semua karena dia yang terlalu memukau. Sepertinya apa yang ada di
kepalanya itu sudah jauh dari hal-hal yang biasa. Aku selalu terpana dibuatnya.
Dia tidak berubah. Sejak awal pertemuan kami satu tahun yang lalu, dia tetap
saja mampu membuatku gagu dan gagap. Namun aku menikmatinya. Bagiku, tidak ada yang
lebih menghibur selain menjadi pihak yang memasang telinga lebar-lebar dan mengandangkan semua kalimat yang meluncur dari lisannya.
“Would you excuse me. I need to call a
friend.” Ujarku sembari mengeluarkan sebuah ponsel dari tas coklat tuaku.
“Iya, silahkan.” Jawabnya ringan.
Kucari nama temanku di daftar kontak dan menekan
tombol call. Tidak lama aku mendengar
bunyi tut panjang, pertanda sambungan
sedang dilakukan. Didepanku si dia nampak sedang merogoh saku baju dan
mengambil BlackBerry-nya. Mungkin dia
tidak mau sekedar bengong saat menungguku menelpon, tebakku. Sejenak kutangkap
raut wajahnya saat dia menatap layar BlackBerry
tersebut, tepat sebelum dia melontarkan pertanyaan retoris yang dengan telak
menghancurkan image yang sedang
mati-matian aku pertahankan sejak awal perjumpaan kami tadi,
“Lho, gimana sih Bu?”
Tidak perlu waktu lama bagiku untuk
memahami wacana yang ada, atau dengan kata lain menyadari kebodohan yang baru
saja aku perbuat. Benar-benar tanpa disengaja. Ternyata, aku salah menekan
tombol. Aku justru menghubungi nomornya, bukan teman yang tadi aku maksud. Rasa malu tidak sanggup aku
hindari. Kubungkukkan badan ke arah meja demi menutupi wajahku yang rasa-rasanya
tidak sanggup menanggungnya. No, I did
not play dumb. Buatku, acting stupid
in front of boys is never cute, at all. Tapi sekali lagi fakta berbicara
dengan bahasa yang berbeda. Saat ini aku justru tampak seperti perempuan yang
sedang memainkan trik tersebut.
Hati memang tidak pernah bisa diajak
berkompromi. Dia bicara dalam bahasa telepati tingkat tinggi. Mengirimkan
sinyalnya ke otak dan secara sepihak mementalkan semua logika. Begitu juga ada
hal-hal yang selalu menjadi pengecualian. Hal yang tidak kau harapkan tapi
justru muncul dengan mengejutkan. Hal yang berada di luar kendalimu. Tidak
seirama dengan logika, tapi cenderung senada dengan hati. Namun pada akhirnya, tetap
dengan logikalah kau menerimanya. Dan hal ini tidak pernah membutuhkan terjemahan
ataupun penjabaran.
Kini aku percaya tidak semua perlu diungkapkan atau dijawab
dengan aksara. Sometimes you just need to simply feel and enjoy it. Then let it
fill you in.
Welcome home, Love.
No comments:
Post a Comment