Pagi di Inggris kala itu benar-benar keterlaluan
dinginnya, terutama bagi perempuan berkulit tropis seperti aku. Mungkin sekitar
lima atau enam derajat celcius. Langit juga tampak tidak sedang berbahagia.
Gelap. Sedangkan awan sepertinya sudah siap memuntahkan buliran-buliran air yang dikandungnya ke kota Bury
St. Edmunds.
Hari itu, 8 Oktober 2011, untuk pertama
kalinya aku memandangi langit pagi di negeri empat musim dari balik jendela
kaca kamar yang akan aku tinggali selama dua minggu ke depan. Itulah pagi
pertamaku di Inggris sejak kedatanganku tujuh jam sebelumnya.
***
Masih jelas di ingatan begitu panjangnya
antrian di Stansted Immigration Control tadi
malam. Kebanyakan dari para pengantri
itu berwajah khas kaukasia dan oriental. Padahal saat itu jelas kami sedang
berada di bagian all other passport,
bagian kontrol imigrasi untuk selain mereka para pemegang passport Uni Eropa.
Hanya ada beberapa orang berwajah melayu yang tertangkap mataku. Salah
satunya seorang bapak berumur 60 an yang kini sedang menunjukkan passport nya
ke seorang petugas di salah satu booth di depanku. Kami sempat mengobrol selama
di dalam pesawat yang membawa kami dari Kuala Lumpur ke Stansted. Kursi kami memang
hanya terpisahkan oleh satu orang penumpang waktu itu, sehingga memungkinkan
kami untuk sekedar bertegur sapa, mengingat kami merasa ada kemiripan rumpun
dibanding dengan kebanyakan penumpang lain. Rupanya si bapak berwarga
kenegaraan Malaysia. Dia hendak mengunjungi putrinya yang berprofesi sebagai
seorang dokter di salah satu sudut di kota London.
Iseng aku menolah kebelakang. Ada dua
remaja putra dan putri sedang saling berpegangan tangan. Dari wajahnya aku
tebak mereka berkewarganegaraan Filipina atau Thailand. Sempat terbesit rasa iri melihat mereka yang tampak begitu mesra. Mau tidak mau aku membayangkan betapa senangnya seandainya orang yang kita kasihi ada bersama kita di perjalanan yang melelahkan ini. Namun cepat-cepat aku tepis perasaan itu. Karena dengan ataupun tanpa seorang kekasih, kenyataannya aku sudah berhasil mendarat di Inggris. Negeri yang selama ini aku impikan.
Tidak jauh di belakang dua remaja yang sedang kasmaran itu aku melihat seorang pria muda dan seorang wanita yang dari umurnya cukup untuk dipanggil ‘ibu’ oleh pria tersebut. Aku sedikit kaget. Bagiku, mereka berdua sangat Indonesia. Dari wajah dan postur tubuh, cukup bagiku untuk menjadi sangat yakin bahwa mereka benar-benar orang Indonesia. Tapi kesimpulan ini terbantahkan setelah aku melihat warna passport yang mereka pegang. Bukan hijau seperti punyaku. Warnanya merah.
Tidak jauh di belakang dua remaja yang sedang kasmaran itu aku melihat seorang pria muda dan seorang wanita yang dari umurnya cukup untuk dipanggil ‘ibu’ oleh pria tersebut. Aku sedikit kaget. Bagiku, mereka berdua sangat Indonesia. Dari wajah dan postur tubuh, cukup bagiku untuk menjadi sangat yakin bahwa mereka benar-benar orang Indonesia. Tapi kesimpulan ini terbantahkan setelah aku melihat warna passport yang mereka pegang. Bukan hijau seperti punyaku. Warnanya merah.
Kuedarkan pandangan sekali lagi ke seluruh
penjuru salah satu bandar udara terbesar di Inggris itu. Sangat rapi. Itulah kesan yang
aku tangkap. Semua petunjuk ditulis dengan jelas dan petugas pun dengan sangat
sigap menindak siapapun yang melanggar peraturan. Ada seorang remaja berwajah
oriental yang sudah merasakan keganasan para petugas bandar udara tersebut.
Entah apa yang dia lakukan sehingga membuat si petugas berteriak akan
mengeluarkannya dari antrian kalau dia tidak bisa mematuhi peraturan. Dalam
hati diam-diam aku bersyukur. Seandainya itu aku, tidak bisa aku bayangkan
betapa malunya menjadi tontonan orang dari berbagai penjuru dunia kala itu.
Tiba-tiba seorang petugas wanita yang
sedari tadi menjaga garis antrian mempersilahkanku menuju salah satu booth yang
kosong. Bergegas aku menuju booth yang dimaksud dan menunjukkan passport
hijauku pada seorang wanita di dalamnya.
“Hello.”
Sapaku.
“Hello.
Where are you going?” Tanyanya ramah.
“I’m
going to Bury St. Edmunds.”
“How
long will you be staying there?”
“Two
weeks. I’m leaving England on October the 22nd.”
Wanita tersebut terlihat membalik salah
satu halaman passportku. Mungkin memeriksa UK visa yang tercantum di dalamnya.
“So,
what are you doing in Bury?” tanyanya
setelah beberapa saat.
“I’m
visiting a link school called Hardwick Middle School. I guess I’ll be teaching
a few lesson.”
“Is
it like an exchange program?”
“Yes,
exactly.”
“So
has the English teacher come to Indonesia?”
“Yes,
they came last August. There were two of them”
“Great,
then. Enjoy your stay.” Ujar petugas tersebut sembari menyerahkan kembali padaku
passport yang sudah di bubuhi stempel.
***
Di antrian bagasi selain sibuk mencari
travelling bag warna hitam yang aku pinjam dari bapak, mataku juga dengan tekun
mencoba menemukan keberadaan seseorang. Dia adalah pria muda asal Inggris yang
kursinya selama di penerbangan D72008 tepat berada diantara aku dan si bapak
Malaysia tadi. Dialah teman perjalanan yang menyelamatkanku dari kebosanan yang
besar kemungkinannya akan menyerang di satu waktu diantara empat belas jam
penerbangan dari Kuala Lumpur sampai akhirnya mendarat di Stanted Airport ini. Jack,
namanya.
Pertemuanku dengan Jack bisa dibilang
sangat terencana. Mungkin Tuhan berbelas kasihan padaku. Dia mengatur
perjalanan ini dengan sempurna. Jack termasuk di dalamnya. Aku ingat saat
pramugari-pramugari cantik itu memeriksa boarding
pass yang aku genggam. Ada seseorang tepat dibelakangku yang juga sedang
menunggu seorang pramugari lain memeriksa boarding
pass nya.
Kemudian aku berjalan menaiki anak tangga
menuju ke badan pesawat dan mencari posisi kursi seperti yang tercantum di tiket
atas namaku itu. Tidak lama aku temukan nomor yang dimaksud. Dalam hati aku
bersorak. Aku mendapat posisi tempat duduk yang selalu aku favoritkan, entah di
mobil, bus, kereta ataupun pesawat seperti sekarang. Di dekat jendela. Tiba-tiba
pemuda yang sedari tadi tampak seperti mengekorku mengucapkan sesuatu dengan
nada sangat bersahabat.
“Oh,
I am here as well.”
Komentarnya aku respond hanya dengan senyum
tipis. Yang kemudian diikuti dengan rasa tidak enak dan sedikit bersalah.
Mengapa aku tidak melakukan sesuatu yang lebih ramah? Bukankah pemuda itu sudah
menunjukkan ketertarikannya untuk bersosialisasi dengan aku yang jelas berbeda
ras darinya. Akhirnya, berusaha menebus rasa bersalah aku memulai percakapan
dengannya.
“How
long do you think it will take to get to Stansted?”
Dan dari pertanyaan ringan itu lah aku
berhasil menciptakan atmosfer perjalanan yang hangat antara aku dan pemuda
berkulit putih pucat tersebut. Kami berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari
pekerjaan, keluarga dan tempat asal masing-masing. Bahkan kami juga sempat
menyinggung tentang bagaimana kami memandang hidup dan sebuah hubungan antara
pria dan wanita. Aku anggap aku sedang beruntung. Aku sedang melakukan
pemanasan dengan lidahku, mengingat selama dua minggu kedepan aku tidak akan
lagi menggunakan bahasa ibu. Setidaknya, tidak dalam percakapan face to face.
Di tengah perbincangan Jack mengatakan
sesuatu yang masih aku kenang sampai sekarang,
“Dini,
do you believe that you can tell when people are being sincere to you?”
“What
do you mean?”
“I
mean, I know exactly whether somebody is being sincere when they talk to me. I
just feel it. My heart tells me. ”
“Do
you think I’m being sincere to you right now then?”
Godaku.
“Yes,
exactly.” Jawabnya mantap.
***
Hampir sepuluh menit aku mencari, tapi
tidak kunjung kutemukan sosok Jack. Akhirnya dengan berat hati aku putuskan
untuk melangkahkan kaki meninggalkan area reclaim
baggage tersebut. Ada sedikit rasa sedih terselip di dadaku. Aku
benar-benar berharap bisa bertemu dengannya, sekedar mengucapkan selamat tinggal.
Tapi sepertinya Tuhan memintaku untuk bersabar.
Kuikuti arus yang berbondong menuju pintu
keluar. I was excited, ecstatic, and disappointed at the same time. Dan saat berjalan itulah akhirnya aku putuskan
untuk tidak terlalu lama menyimpan rasa terima kasihku pada Jack. Aku akan mengucapkannya
melalui sebuah jejaring sosial. Aku ingat dia menuliskan nama serta alamat
emailnya di buku diari perjalananku. Iya, aku pasti menghubunginya. A stranger that turns into a very good
friend during the journey. A stranger that claimed I was being sincere to him.
Darinyalah aku belajar bahwa ketulusan itu,
memang, bisa dirasa dengan hati. Ketulusan akan bicara dengan bahasanya
sendiri. And.. sincerity definitely has nothing to do with how long you have known
somebody. Dia adalah sebuah variabel bebas yang tidak akan bisa menggantungkan
diri pada ikatan yang namanya persaudaraan, persahabatan, ataupun sekedar kenalan.
Seperti halnya Jack yang bahkan keberadaannya tidak pernah aku ketahui sebelum penerbangan ke Stansted kala itu. Namun dia sudah dengan tulus menjadi teman bicara, memberiku permen penyegar mulut saat kami sama-sama baru terbangun dari tidur, dan bahkan menemaniku berjalan menuju bagian kontrol imigrasi. Aku tahu dia tulus melakukan semuanya. Setidaknya itu yang dikatakan oleh hatiku. Karena memang yang namanya ketulusan hidup dan berkembang dengan sendirinya di dasar hati setiap individu.
***
Aku melangkahkan kaki keluar kamar.
Berjinjit menuruni anak tangga. Hari itu pagi masih terlalu dini bagi tuan
rumahku. Aku tidak mau menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Aku menuju dapur yang kebetulan terletak di
lantai satu. Kutuangkan orange juice ke
dalam gelas, penuh. Rupanya aku kehausan. Kubuka laci-laci yang ada di dapur
ala Eropa tersebut dan mencoba mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut,
setidaknya sampai tiba waktu sarapan. Aku menemukan sekotak biskuit. Pada malam sebelumnya, si tuan rumah sudah
menunjukkan setiap sudut rumahnya padaku. Ternasuk mempersilahkan aku memakan
segala sesuatu yang ada di lemari-lemari dapur mungilnya. Jadilah dengan hanya
sedikit perasaan sungkan, aku lahap biskuit tersebut.
Kuayunkan kaki menuju ruang seberang dimana
televisi berada. Meski begitu aku tidak sedang merasa di mood yang baik untuk
menonton acara berita. Kuputuskan untuk menghidupkan laptop dan log in ke salah satu jejaring sosial.
Kucari nama Jack di search engine-nya
dan berhasil. Tanpa pikir panjang kutekan tombol di samping foto yang muncul. Segera
setelah dia mengkonfirmasi permintaan pertemanan yang aku kirim, aku akan memenuhi janji
yang aku buat pada diriku sendiri tadi malam. Berterima kasih atas ketulusannya
selama perjalanan kala itu. Sebuah bentuk ketulusan dariku di suatu pagi
di bulan Oktober. Diluar kaca jendela nampak bulir-bulir air mulai berjatuhan. Gerimis pertamaku di Inggris.
No comments:
Post a Comment