Saturday 24 March 2012

Anak itu Jiwanya Besar


Sepasang mata itu membelalak, sorotnya diarahkan lekat ke bola mataku. Bahkan dengan sisa jarak yang berdasarkan hitungan kasar serta mengandalkan kemampuan matematika yang bisa dibilang sangat pas-pasan adalah berkisar 10 meter, aku bisa dengan jelas melihat perubahan binar didalamnya. Sepertinya gadis kecil ini sudah sedari tadi menanti kehadiranku. 

Good morning, Ma’am.” Sapaan khas anak didik kepada guru perempuan di sekolah tempat aku mengajar ini pun diucapkannya dengan penuh unsur magis. Seolah ada lonceng tak terlihat yang seketika bergemerincing mengiringi ucapannya. Tersungging senyum yang teramat manis dibibirnya ketika aku mendekat.

Morning.” Jawabku sembari mengulas senyum yang tidak kalah manisnya. Meskipun secara teknis aku enam belas tahun lebih tua dari anak didikku yang satu ini, dan akan kalah telak jika harus melawan kelincahan dan kespontanannya, aku merasa masih bisa berkompetisi dengannya, paling tidak dalam hal ‘senyuman manis’ tadi.

“Ini Ma’am buku-bukunya C. S. Lewis yang kemarin aku bilang ke Ma’am lewat SMS.” Terangnya sembari menyodorkan tiga bendel buku yang sebenarnya tidak asing lagi buatku. Setiap pergi ke toko buku, tidak pernah absen aku melihatnya terpampang di salah satu rak di dalam toko tersebut. 

“Wah terima kasih ya, Ras. Tapi mungkin Ma’am ngembalikannya agak lama. Tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Ma’am. Santai saja. Besok aku bawakan lagi empat buku sisanya, semuanya kan ada tujuh buku, Ma’am.” Yang dimaksud olehnya disini adalah tujuh buku The Chronicles of Narnia yang luar biasa terkenal dan sudah diangkat ke layar lebar itu.

“WOW! Okay, thank you, Ras. Kamu memberi PR yang lumayan banyak nih ke Ma’am.” Ujarku dengan sedikit merasa terintimidasi oleh Bu Guru kecil yang sedang berdiri dengan PD di hadapanku ini. Merasa terintimidasi apakah aku akan bisa menyelesaikan PR dengan baik dan tepat waktu.

***

Namanya Raras. Sekarang dia masih duduk di bangku kelas enam SD. Tapi jangan samakan ‘enam SD’-nya dengan ‘enam SD’-ku. ‘Enam SD’-ku artinya berhaha-hihi dengan teman, bertengkar dan kemudian tidak saling sapa, juga malas berangkat sekolah karena takut pada Guru Matematika. Sedangkan ‘enam SD’-nya berarti ikut lomba pidato Bahasa Inggris dan baca puisi, bergabung dalam klub jurnalistik, serta mengembangkan hobi fotografi. Kalau dulu ketika seumurannya aku masih sibuk dengan dakon, bongkar pasang dan bekel, dia sudah berkutat dengan blog, powerpoint, dan buku. Dan khusus untuk yang terakhir tadi, gadis cilik ini benar-benar membuatku heran sekaligus lega karena akhirnya ada kesamaan diantara setumpuk perbedaan ‘enam SD’ antara kami berdua, yaitu kami sama-sama berangan membangun sebuah perpustakaan pribadi.

Tidak kusangka ada gadis berumur sebelas tahun yang sudah begitu cintanya pada dunia baca, terutama melihat sebagian besar anak bangsa yang bahkan tidak tahu pentingnya budaya literasi ini. Dan demi menggapai citanya tersebut, rupanya dia sudah banyak mengambil langkah pasti. Sudah banyak buku yang dikoleksinya. Tidak tanggung-tanggung, buku yang dibaca pun bukan lagi buku cerita bergambar seperti yang selalu laris manis dipinjam siswa-siswa dari perpustakaan sekolah kami, tapi buku-buku yang mungkin banyak kakak kelasnya di SMP ataupun SMA bahkan tidak mau membacanya.

Gadis ini sudah kenal dengan Tere Liye dan Hafalan Shalat Delisa ataupun Dahlan Iskan dan Ganti Hati. Dia juga akrab dengan penulis internasional macam C.S. Lewis, Enid Blyton ataupun Roald Dahl. Dan nampaknya, kini si gadis cilik akan segera melebarkan sayapnya ke dunia sastra dan filsafat. Hal ini aku simpulkan sesaat setelah aku menerima SMS darinya siang tadi.

“Ma’am jadi beli bukunya Dahlan Iskan?”

“Tidak jadi, Ras. Ma’am kemarin beli beberapa buku sastra dan filsafat.”

“Aku sudah beli buku Dahlan Iskan, Ma’am. Juga bukunya Dee yang Madre. Aku tahu buku itu setelah baca blog Ma’am, Go Grab Books.”

“Wah padahal Ma’am sudah lama tidak posting di blog yang itu, Ras.”

“Ma’am sudah dapat bukunya Pramoedya Ananta Toer belum? Aku boleh pinjam Ma’am?”

“Dapat, tapi belum lengkap. Boleh, besok Ma’am bawakan yang biografi Kartini. Ma’am juga punya buku filsafat nih. Ceritanya tentang buku-buku dan perpustakaan ajaib. Mau pinjam?”

“Okay, Ma’am. Pinjam ya??”

“Sip.”

Mau jadi apakah gadis cilik ini? Sesaat aku merasa kecil dan.. iri hati. Iri pada minat bacanya yang gendut dibalik badannya yang kurus. Iri pada segudang prestasi yang didapatkannya di usianya yang masih belia. Iri pada semangatnya dalam menghidupkan budaya literasi. Hal ini bukan sekedar tong kosong nyaring bunyinya, aku sudah berulang kali mendapatinya meminjamkan buku-bukunya pada teman dan bahkan menyumbangkannya pada perpustakaan sekolah. Bukankah itu perwujudan paling nyata?

Di sisi lain, aku merasa bangga. Melihat anak didik yang berkilau dengan begitu indahnya. Dan bahkan hanya dengan berbincang beberapa menit saja aku tahu dia bujan anak kelas enam SD biasa. Cita-citanya besar, sebesar jiwa sosialnya. Kini aku merasa dia adalah seorang perempuan dewasa, bukan lagi anak didik apalagi anak kecil. Seketika ada yang membuncah di dadaku. Ah.. Begini rupanya kebahagiaan sejati itu.

No comments:

Post a Comment

Saturday 24 March 2012

Anak itu Jiwanya Besar


Sepasang mata itu membelalak, sorotnya diarahkan lekat ke bola mataku. Bahkan dengan sisa jarak yang berdasarkan hitungan kasar serta mengandalkan kemampuan matematika yang bisa dibilang sangat pas-pasan adalah berkisar 10 meter, aku bisa dengan jelas melihat perubahan binar didalamnya. Sepertinya gadis kecil ini sudah sedari tadi menanti kehadiranku. 

Good morning, Ma’am.” Sapaan khas anak didik kepada guru perempuan di sekolah tempat aku mengajar ini pun diucapkannya dengan penuh unsur magis. Seolah ada lonceng tak terlihat yang seketika bergemerincing mengiringi ucapannya. Tersungging senyum yang teramat manis dibibirnya ketika aku mendekat.

Morning.” Jawabku sembari mengulas senyum yang tidak kalah manisnya. Meskipun secara teknis aku enam belas tahun lebih tua dari anak didikku yang satu ini, dan akan kalah telak jika harus melawan kelincahan dan kespontanannya, aku merasa masih bisa berkompetisi dengannya, paling tidak dalam hal ‘senyuman manis’ tadi.

“Ini Ma’am buku-bukunya C. S. Lewis yang kemarin aku bilang ke Ma’am lewat SMS.” Terangnya sembari menyodorkan tiga bendel buku yang sebenarnya tidak asing lagi buatku. Setiap pergi ke toko buku, tidak pernah absen aku melihatnya terpampang di salah satu rak di dalam toko tersebut. 

“Wah terima kasih ya, Ras. Tapi mungkin Ma’am ngembalikannya agak lama. Tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Ma’am. Santai saja. Besok aku bawakan lagi empat buku sisanya, semuanya kan ada tujuh buku, Ma’am.” Yang dimaksud olehnya disini adalah tujuh buku The Chronicles of Narnia yang luar biasa terkenal dan sudah diangkat ke layar lebar itu.

“WOW! Okay, thank you, Ras. Kamu memberi PR yang lumayan banyak nih ke Ma’am.” Ujarku dengan sedikit merasa terintimidasi oleh Bu Guru kecil yang sedang berdiri dengan PD di hadapanku ini. Merasa terintimidasi apakah aku akan bisa menyelesaikan PR dengan baik dan tepat waktu.

***

Namanya Raras. Sekarang dia masih duduk di bangku kelas enam SD. Tapi jangan samakan ‘enam SD’-nya dengan ‘enam SD’-ku. ‘Enam SD’-ku artinya berhaha-hihi dengan teman, bertengkar dan kemudian tidak saling sapa, juga malas berangkat sekolah karena takut pada Guru Matematika. Sedangkan ‘enam SD’-nya berarti ikut lomba pidato Bahasa Inggris dan baca puisi, bergabung dalam klub jurnalistik, serta mengembangkan hobi fotografi. Kalau dulu ketika seumurannya aku masih sibuk dengan dakon, bongkar pasang dan bekel, dia sudah berkutat dengan blog, powerpoint, dan buku. Dan khusus untuk yang terakhir tadi, gadis cilik ini benar-benar membuatku heran sekaligus lega karena akhirnya ada kesamaan diantara setumpuk perbedaan ‘enam SD’ antara kami berdua, yaitu kami sama-sama berangan membangun sebuah perpustakaan pribadi.

Tidak kusangka ada gadis berumur sebelas tahun yang sudah begitu cintanya pada dunia baca, terutama melihat sebagian besar anak bangsa yang bahkan tidak tahu pentingnya budaya literasi ini. Dan demi menggapai citanya tersebut, rupanya dia sudah banyak mengambil langkah pasti. Sudah banyak buku yang dikoleksinya. Tidak tanggung-tanggung, buku yang dibaca pun bukan lagi buku cerita bergambar seperti yang selalu laris manis dipinjam siswa-siswa dari perpustakaan sekolah kami, tapi buku-buku yang mungkin banyak kakak kelasnya di SMP ataupun SMA bahkan tidak mau membacanya.

Gadis ini sudah kenal dengan Tere Liye dan Hafalan Shalat Delisa ataupun Dahlan Iskan dan Ganti Hati. Dia juga akrab dengan penulis internasional macam C.S. Lewis, Enid Blyton ataupun Roald Dahl. Dan nampaknya, kini si gadis cilik akan segera melebarkan sayapnya ke dunia sastra dan filsafat. Hal ini aku simpulkan sesaat setelah aku menerima SMS darinya siang tadi.

“Ma’am jadi beli bukunya Dahlan Iskan?”

“Tidak jadi, Ras. Ma’am kemarin beli beberapa buku sastra dan filsafat.”

“Aku sudah beli buku Dahlan Iskan, Ma’am. Juga bukunya Dee yang Madre. Aku tahu buku itu setelah baca blog Ma’am, Go Grab Books.”

“Wah padahal Ma’am sudah lama tidak posting di blog yang itu, Ras.”

“Ma’am sudah dapat bukunya Pramoedya Ananta Toer belum? Aku boleh pinjam Ma’am?”

“Dapat, tapi belum lengkap. Boleh, besok Ma’am bawakan yang biografi Kartini. Ma’am juga punya buku filsafat nih. Ceritanya tentang buku-buku dan perpustakaan ajaib. Mau pinjam?”

“Okay, Ma’am. Pinjam ya??”

“Sip.”

Mau jadi apakah gadis cilik ini? Sesaat aku merasa kecil dan.. iri hati. Iri pada minat bacanya yang gendut dibalik badannya yang kurus. Iri pada segudang prestasi yang didapatkannya di usianya yang masih belia. Iri pada semangatnya dalam menghidupkan budaya literasi. Hal ini bukan sekedar tong kosong nyaring bunyinya, aku sudah berulang kali mendapatinya meminjamkan buku-bukunya pada teman dan bahkan menyumbangkannya pada perpustakaan sekolah. Bukankah itu perwujudan paling nyata?

Di sisi lain, aku merasa bangga. Melihat anak didik yang berkilau dengan begitu indahnya. Dan bahkan hanya dengan berbincang beberapa menit saja aku tahu dia bujan anak kelas enam SD biasa. Cita-citanya besar, sebesar jiwa sosialnya. Kini aku merasa dia adalah seorang perempuan dewasa, bukan lagi anak didik apalagi anak kecil. Seketika ada yang membuncah di dadaku. Ah.. Begini rupanya kebahagiaan sejati itu.

No comments:

Post a Comment