Monday 3 September 2012

Jaring Lelembut


Hari ini ada hajatan besar di kampung perbatasan. Para warga dengan ikhlas berbondong keluar rumah, yang lelaki tak lupa membawa lengkap peralatan kerja seperti sabit, kapak, dan lain sebagainya. Pun yang perempuan tak mau kalah. Didirikannya tenda di halaman salah satu warga, tentu saja dengan bantuan para lelaki. Disana, ditanaknya nasi, diiris-irisnya berbagai macam sayuran, dan ikan asin pun digoreng dengan minyak panas, menimbulkan bau yang terlampau lezat di hidung para lelaki yang kini sedang sibuk membabat rumput liar di pinggiran jalan, ataupun memotong pohon-pohon yang cabang rimbunnya menjadi sumber kekhawatiran warga, terutama ketika musim angin akan menghampiri seperti sekarang. Gotong royong memanglah menjadi akar utama kehidupan di kampung tersebut. Yang satu akan berebut menyokong yang lain yang sedang kesusahan, bukan malah berpura-pura buta pada kenyataan kehidupan. Mengaku prihatin, tapi enggan beranjak untuk meringankan. Atau bahkan ada yang lebih keterlaluan. Memasang tampang berduka atas bencana yang dialami sesama, tapi hatinya bersorak riang. Ah, manusia! Pandai sekali kalian bermuka dua.

Peringatan hari kemerdekaan di kampung perbatasan memang selalu seramai ini. Para gadis sudah sibuk berlenggak lenggok. Menggerakkan pinggul kesana kemari sembari berusaha mengingat gerakan-gerakan yang sudah diajarkan para seniornya. Sudah jauh hari lagu ditentukan, gerakan diciptakan, kini saatnya dipraktikkan. Bahkan, para bocah laki-laki pun tak kenal malu. Dirayunya para gadis tanggung itu, dimintanya untuk mengajari sepatah dua patah gerakan. Semua diselingi dengan canda, semua tertawa lepas tak terkira, lebur jadi satu dengan semangat kebebasan berkarya, tanpa benar-benar tahu untuk apa mereka harus bersuka cita demi yang terjadi di masa lampau. Sedahsyat apapun itu, segilang-gemilang apapun pencapaian di masa lalu, toh semua sudah lewat. Kalau tidak dirawat, tidak diperkuat, semua hanya akan menjelma menjadi pohon tak berakar, yang akan mudah tumbang terkena angin kencang. 

Di sebuah sudut yang tak begitu kentara, nampak ada sosok si pemuda sarjana, diam seribu kata. Sorot matanya menyudutkan. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas dengan penuh kesinisan. Sungguh, begitu kontras wajah manusia yang satu ini dengan yang lain. Entah karena dia selalu makan berkecukupan, ditambah lagi vitamin yang belum tentu sebulan sekali dirasakan para bocah kampung itu, sehingga wajahnya selalu lebih bersih dari warga pada umumnya. Dan dulu, ketika dirinya masih bocah ingusan, selalu menjadi perhatian yang pertama dan utama karena ketampanannya. Si pemuda sarjana tampak khusyuk memaknai canda para bocah kampung. Betapa konyol mereka, batinnya. Begitulah Nak, nikmati masa-masa ini. Dimana berbuat bodoh masih dianggap lucu. Saat kau tidak harus memikirkan tentang nasib baik dan nasib buruk. Dulu saat kecil aku tidak pernah seperti kalian. Berjoget dengan tololnya hanya demi sebuah acara kemerdekaan. Untuk apa kalian peringati semua ini, kalau toh nanti ketika besar tetap tak ada nasi untuk dimakan?

Ya, Nak, lanjutkan kekonyolan kalian. Aku sudah tahu sejak mula kalian memang hanya generasi tumbal. Tumbal bagi mereka yang punya kekuasaan. Yang hidupnya ditujukan seolah-olah demi kemanusiaan, tapi berinti kemunafikan. Ya, dan sekarang, mari Nak, kalian jadi tumbalku. Ketika besar pun kalian tetap akan bernasib sama, sebagai tumbal. Jangan pernah bermimpi menjadi orang sepertiku. Terlalu tinggi nak, Mimpi ada batasnya.

Si pemuda sarjana melangkah menghampiri bocah-bocah kampung. Saat jarak semakin dekat, bocah-bocah itu berebut menyentuhkan pipinya pada tangan si pemuda sarjana. Salam tak lupa diucapkan, Senyuman yang paling manis dikembangkan. 

“Sudah siap tampil semuanya?”

Sampun, Pak.”

“Iya, Bapak doakan semoga acaranya lancar.”

Enggeh, Pak. Terima kasih”

Bagus, Nak. Aku akan menjadi Bapak kalian yang baik sekarang. Tidak akan ada yang meragukan ketulusan seseorang yang dekat dengan anak-anak. Orang tua kalian yang sebenarnya akan mendengar semua derma yang sudah aku lakukan. Dan pada akhirnya, hal itu akan membantu banyak. Kalian sudah menggali lubang tanpa kalian sadari. Lubang yang tidak hanya cukup untuk kalian diami sendiri, tapi juga bapak dan ibumu nanti. Dan suatu saat, akan kutagih semuanya. Hutang harus di bayar, Nak. Inilah ironi kehidupan. Yang kuat perlu yang lemah untuk dikorbankan. Suatu saat, mungkin akan kalian menyadari. Tapi saat itu semua sudah akan terlambat. Kalian sudah terjerat. 

Para bocah itu menari dan menyanyi. Di atas panggung yang teramat sederhana, hanya berhiaskan potongan-potongan kertas warna-warni. Riasan mereka belepotan di sana sini, tapi siapa yang mau peduli. Bocah-bocah merasa bak di negeri dongeng, menjadi putri dan pangeran di kampung sendiri. Orang tua mereka duduk di atas tikar. Mengulas senyum sarat dengan kebanggaan melihat anak yang di kandungnya menjadi bintang semalam. Tanpa mereka tahu, sebuah jaring raksasa sedang saling berpilin satu sama lain. Mengepung mereka dari berbagai sudut. Seringaian si empunya tak henti-henti tersungging. Selamat datang, jaring lelembut.

Monday 3 September 2012

Jaring Lelembut


Hari ini ada hajatan besar di kampung perbatasan. Para warga dengan ikhlas berbondong keluar rumah, yang lelaki tak lupa membawa lengkap peralatan kerja seperti sabit, kapak, dan lain sebagainya. Pun yang perempuan tak mau kalah. Didirikannya tenda di halaman salah satu warga, tentu saja dengan bantuan para lelaki. Disana, ditanaknya nasi, diiris-irisnya berbagai macam sayuran, dan ikan asin pun digoreng dengan minyak panas, menimbulkan bau yang terlampau lezat di hidung para lelaki yang kini sedang sibuk membabat rumput liar di pinggiran jalan, ataupun memotong pohon-pohon yang cabang rimbunnya menjadi sumber kekhawatiran warga, terutama ketika musim angin akan menghampiri seperti sekarang. Gotong royong memanglah menjadi akar utama kehidupan di kampung tersebut. Yang satu akan berebut menyokong yang lain yang sedang kesusahan, bukan malah berpura-pura buta pada kenyataan kehidupan. Mengaku prihatin, tapi enggan beranjak untuk meringankan. Atau bahkan ada yang lebih keterlaluan. Memasang tampang berduka atas bencana yang dialami sesama, tapi hatinya bersorak riang. Ah, manusia! Pandai sekali kalian bermuka dua.

Peringatan hari kemerdekaan di kampung perbatasan memang selalu seramai ini. Para gadis sudah sibuk berlenggak lenggok. Menggerakkan pinggul kesana kemari sembari berusaha mengingat gerakan-gerakan yang sudah diajarkan para seniornya. Sudah jauh hari lagu ditentukan, gerakan diciptakan, kini saatnya dipraktikkan. Bahkan, para bocah laki-laki pun tak kenal malu. Dirayunya para gadis tanggung itu, dimintanya untuk mengajari sepatah dua patah gerakan. Semua diselingi dengan canda, semua tertawa lepas tak terkira, lebur jadi satu dengan semangat kebebasan berkarya, tanpa benar-benar tahu untuk apa mereka harus bersuka cita demi yang terjadi di masa lampau. Sedahsyat apapun itu, segilang-gemilang apapun pencapaian di masa lalu, toh semua sudah lewat. Kalau tidak dirawat, tidak diperkuat, semua hanya akan menjelma menjadi pohon tak berakar, yang akan mudah tumbang terkena angin kencang. 

Di sebuah sudut yang tak begitu kentara, nampak ada sosok si pemuda sarjana, diam seribu kata. Sorot matanya menyudutkan. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas dengan penuh kesinisan. Sungguh, begitu kontras wajah manusia yang satu ini dengan yang lain. Entah karena dia selalu makan berkecukupan, ditambah lagi vitamin yang belum tentu sebulan sekali dirasakan para bocah kampung itu, sehingga wajahnya selalu lebih bersih dari warga pada umumnya. Dan dulu, ketika dirinya masih bocah ingusan, selalu menjadi perhatian yang pertama dan utama karena ketampanannya. Si pemuda sarjana tampak khusyuk memaknai canda para bocah kampung. Betapa konyol mereka, batinnya. Begitulah Nak, nikmati masa-masa ini. Dimana berbuat bodoh masih dianggap lucu. Saat kau tidak harus memikirkan tentang nasib baik dan nasib buruk. Dulu saat kecil aku tidak pernah seperti kalian. Berjoget dengan tololnya hanya demi sebuah acara kemerdekaan. Untuk apa kalian peringati semua ini, kalau toh nanti ketika besar tetap tak ada nasi untuk dimakan?

Ya, Nak, lanjutkan kekonyolan kalian. Aku sudah tahu sejak mula kalian memang hanya generasi tumbal. Tumbal bagi mereka yang punya kekuasaan. Yang hidupnya ditujukan seolah-olah demi kemanusiaan, tapi berinti kemunafikan. Ya, dan sekarang, mari Nak, kalian jadi tumbalku. Ketika besar pun kalian tetap akan bernasib sama, sebagai tumbal. Jangan pernah bermimpi menjadi orang sepertiku. Terlalu tinggi nak, Mimpi ada batasnya.

Si pemuda sarjana melangkah menghampiri bocah-bocah kampung. Saat jarak semakin dekat, bocah-bocah itu berebut menyentuhkan pipinya pada tangan si pemuda sarjana. Salam tak lupa diucapkan, Senyuman yang paling manis dikembangkan. 

“Sudah siap tampil semuanya?”

Sampun, Pak.”

“Iya, Bapak doakan semoga acaranya lancar.”

Enggeh, Pak. Terima kasih”

Bagus, Nak. Aku akan menjadi Bapak kalian yang baik sekarang. Tidak akan ada yang meragukan ketulusan seseorang yang dekat dengan anak-anak. Orang tua kalian yang sebenarnya akan mendengar semua derma yang sudah aku lakukan. Dan pada akhirnya, hal itu akan membantu banyak. Kalian sudah menggali lubang tanpa kalian sadari. Lubang yang tidak hanya cukup untuk kalian diami sendiri, tapi juga bapak dan ibumu nanti. Dan suatu saat, akan kutagih semuanya. Hutang harus di bayar, Nak. Inilah ironi kehidupan. Yang kuat perlu yang lemah untuk dikorbankan. Suatu saat, mungkin akan kalian menyadari. Tapi saat itu semua sudah akan terlambat. Kalian sudah terjerat. 

Para bocah itu menari dan menyanyi. Di atas panggung yang teramat sederhana, hanya berhiaskan potongan-potongan kertas warna-warni. Riasan mereka belepotan di sana sini, tapi siapa yang mau peduli. Bocah-bocah merasa bak di negeri dongeng, menjadi putri dan pangeran di kampung sendiri. Orang tua mereka duduk di atas tikar. Mengulas senyum sarat dengan kebanggaan melihat anak yang di kandungnya menjadi bintang semalam. Tanpa mereka tahu, sebuah jaring raksasa sedang saling berpilin satu sama lain. Mengepung mereka dari berbagai sudut. Seringaian si empunya tak henti-henti tersungging. Selamat datang, jaring lelembut.