Monday 30 April 2012

Perempuan Bergincu Merah



             Dipolesnya bibir ranum itu dengan gincu merah menyala. Aura menggoda berbaur keculasan, yang entah bagaimana terasa begitu memikat seketika menyelubungi raga mungil tersebut. Perempuan itu bukan seorang perayu. Namun, bibir merekah yang kini menyunggingkan seulas senyum sinis itu menjadikan si empunya bak Cleopatra. Ratu yang sanggup membuat lelaki manapun tertawan dan bertekuk lutut. Dan malam ini, yang akan ditundukkannya bukanlah lelaki manapun yang tidak diketahui asal-usulnya. Dia adalah lelaki terhormat yang sudah mumpuni dalam banyak hal. Lelaki yang akhirnya berhasil membuat si perempuan mengikhlaskan hasrat liarnya. Dan kembali menyembah pada tradisi, setelah beberapa lama.

Diluar angin malam terdengar begitu berisik. Gaduh yang ditimbulkan tak ubahnya seperti bunyi erangan mesin motor tua yang rusak, dipadukan dengan suara kertas yang teremat jemari manusia. Pun terdengar halilintar yang memekak, bagai teriakan penguasa langit yang sedang murka. Keduanya bercengkerama, kawin dengan sempurna. Suasana yang mematikan segala bentuk keriangan bocah kampung dan menggantinya dengan suasana pekuburan. 

Si perempuan berjalan ringan ke arah jendela. Tapaknya seolah tiada menyentuh lantai. Dengan kasar, didorongnya jati berwarna coklat tua itu. Deritan kusen yang mendecit nyaring begitu menyayat hati, bagai sebilah sembilu yang mengiris seonggok daging. Hanya saja perih yang ditimbulkan terdapat pada jiwa, bukan raga. Si perempuan meringis nyeri. Nampaknya keperihan pada jiwanya itu menjalar pula sampai ke raga. 

“Mbak, apa mereka sudah datang?” lirih pertanyaan itu terlontar dari bibir yang bergetar. Matanya tidak sejengkal pun beralih dari arak-arakan awan hitam yang perlahan menindih purnama.

“Iya, baru saja. Sekarang semuany` sedang menunggumu.” Ujar lawan bicaranya dengan nada yang sengaja dibuat acuh. Sayang, tetap tidak bisa menyamarkan kemelut di dalamnya.

“Jangan khawatir, Mbak. Semuanya pasti berjalan seperti yang Mbak, Bapak dan Ibu rencanakan. Kalian semua akan bahagia.” Sahut si perempuan, bahkan sebelum sang lawan bicara mengatupkan mulutnya.

Senyap seketika menyergap ruangan segi empat itu. Bahkan cicak pun tak luput dari kepungannya. Mereka tergopoh-gopoh mengtmpat di balik lemari kayu. Dan tenggorokan sang lawan bicara yang dipanggil Mbak oleh si perempuan, seketika tercekat oleh seutas tali tiada berwujud. Memaksanya menelan kembali semua kalimat yang sebelumnya ingin dia lontarkan. Kalimat yang memang sudah sering dia ulang ketika beradu mulut dengan saudarinya yang kini sedang berdiri termenung, menatap rembulan di langit hitam. 

Tiada satu pun anggota tubuh si perempuan berpindah dari posisinya, kecuali bulu mata lentik berbalur maskara yang rutin bergerak naik turun mengikuti irama hati sang pemilik. Entah apa yang berkecamuk di benaknya. Yang jelas sekarang rohnya sudah tidak lagi mendiami raga cantik nan ringkih tersebut. Dibiarkan roh itu berkelana menunggangi waktu. Kembali ke sepuluh tahun silam. 

***

“Aku takut, Mas. Bagaimana kalau nanti Bapak tidak setuju?” Gadis itu mengulang pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Diusapnya peluh yang mengembun dari pori-pori di kening mulusnya dengan punggung tangan sebelah kanan.  Pun ditariknya ujung rok yang dia kenakan dengan gerak sembrono, seolah dengan begitu semua gundah gulana yang sedang menyelimuti hatinya bisa terobek sedikit demi sedikit. Melepaskan cengkramannya.

            “Tidak apa-apa, Sri. Yang penting kita coba dulu.” Ujar si pria berusaha menentramkan hati kekasihnya. Padahal jauh di lubuk sanubari, dia juga sedang menyimpan gelisah luar biasa. Apa yang akan dilakukannya hari ini jelas sebuah langkah mustahil yang tiba-tiba harus dia tempuh. Walaupun begitu, dia tahu dia harus bersikap sewajar yang dia bisa. Tidak mau dia menunda lagi kebahagiaan itu, meski sangat kecil harapannya, sekecil kutu yang mendiami rambut bocah-bocah di kampung kelahirannya.

            “Tapi aku tetap takut, Mas.” 

            “Percayalah, semua pasti berjalan lancar. Bapak dan Ibumu sudah lama tahu tentang hubungan kita. Mereka tidak akan menentang, apalagi sudah sejauh ini. Katakan, Sri, sudah berapa lama aku mencintaimu?”

            “Delapan tahun, Mas. Dan selama itu juga aku mencintaimu.”

            “Itulah, Sri. Aku semakin yakin nBapak dan Ibumu akan mengerti dan mau memberi restunya.”

            Matahari semakin ganas membakar bumi. Dedaunan dipaksa bercerai dengan tangkainya oleh angin yang bertiup kencang, namun tak tentu arah. Debu halus bergantian masuk melalui lubang hidung dan memenuhi ruangnya, sehingga sedikit sekali celah kosong tersisa yang bisa ditembus udara untuk menuju paru-paru. Sepasang muda-mudi itu secara bersamaan merasa sesak di dada. Si pria diam-diam berharap telah berhasil meyakinkan kekasihnya tentang apa yang sudah menjadi keputusan bersama bulan lalu. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dia sendiri pun belum sepenuhnya yakin misi yang diembannya kali ini akan berhasil. 

            Si gadis mengunci mulut rapat-rapat. Gelora yang pasang surut di dadanya tak kunjung kembali normal. Sebentar-sebentar melepaskan tohokan ke ulu hati. Kalau sudah seperti itu, ingin rasanya memuntahkan isi perutnya. Namun dia tahu sang kekasih sekarang sedang mati-matian meyakinkan dirinya. Dan tiada mau si perempuan membuatnya kecewa dengan menunjukkan sikap kalut yang berlebih. Maka digigitlah bibir bawahnya yang polos tanpa polesan gincu itu kuat-kuat, berharap mual yang menyerbunya bisa terkurung saja di kerongkongan. Gigitan yang membuat ngilu.

            Di langit, awan gelap dengan sigap mengambil alih kekuasaan permadani biru cerah yang sedari tadi memayungi makhluk bumi. Si pria tampaknya menyadari perubahan cuaca yang tiba-tiba tersebut, lantas diraihnya tangan si gadis dan menariknya berdiri. Dengan langkah berat, keduanya berjalan beriringan menuju sebuah bangunan di belakang pohon mangga. 

***

Hening di tengah malam pun tidak seseram ini. Suara detik jam tiada  pernah sebegini memilukan. Dan hawa mencekat semakin mengental seiring mencondongnya matahari ke arah barat. Empat kepala di ruangan itu sama-sama menunduk. Masing-masing sedang bergelut dengan batinnya. Hanya sesekali terdengar suara isak seorang wanita tua yang tertahan. Yang selalu cepat-cepat diredam oleh tuannya dengan mencengkeram lengan kursi yang terbuat dari rotan.

Si lelaki tua yang terkenal bijak itu pun kini benar-benar kehilangan perbendaharaan kata. Kesengsaraan nampak jelas menggantung di kedua matanya. Beberapa kali ditengadahkan kepalanya yang sudah botak itu. Berharap akan ditemukannya jawaban di atas sana. Kadang, bergantian kepalanya menoleh, dari sang istri yang sedari tadi berjuang melawan luapan air mata, ke putri semata wayangnya yang terpekur di hadapannya. Beban berat sedang menggelayuti pundak lelaki tua tersebut. Dada yang biasanya terbusung gagah itu pun sekarang melunglai. Rasa sayang dan ketidak-ikhlasan saling berjejal memasuki rongganya.

“Maaf, tapi sepertinya Bapak perlu waktu untuk memikirkan semua ini. Sri itu anak Bapak satu-satunya, Nak. Kalau engkau bawa dia meninggalkan rumah ini, dan tinggal di pulau yang sebegitu jauhnya, bagaimana nasib kami nanti?” Ujarnya pada pria yang sedang duduk disamping putrinya itu.

“Tapi nanti kami akan sering-sering mengunjungh Bapak dan Ibu di sini. Tidak perlu khawatir, saya tidak bermaksud memisahkan Sri dari Bapak ataupun Ibu.” Sahut si pria memelas.

“Bukan hanya itu, Nak… Bagaimana nanti kami bisa menghadapi leluhur kami, kalau sampai Sri meninggalkan tradisi yang sudah melekat pada dirinya sejak lahir? Kami tidak bisa membiarkan Sri melanggar kepercayaan leluhur.”

Akhirnya meluncur juga kata-kata itu. Sebuah alasan yang memang sudah bisa ditebak oleh setiap pasang mata yang ada di ruang tersebut. Dari semula, kepercayaanlah yang menjadi inti sari-nya. Si pria muda mulai pasrah. Misinya kali ini sepertinya tidak akan membuahkan hasil, sama seperti sebulan sebelumnya. Seketika dadanya terasa terhimpit oleh sekarung beras. Semakin sempit dan menyesak. Tak tertahankan lagi sakit itu, meledaklah tangisnya. Tangis tanpa suara, h`nya lelehan air mata tiada henti.

Si gadis pun merasakan hal serupa. Hempasan bongkahan batu pada dadanya itu terlalu kuat. Tak dibendungnya lagi semua isakan. Pun dibiarkan air bening mencucur satu demi satu dari mata sipitnya. Terkoyak sudah harapan di depan mata. Melihat kekasih yang dia cintai merendah, kebencian seketika menyusup di celah-celah hatinya. Sumpah tak bersuara dia ikrarkan, selamanya tidak akan pernah menggantikan puj`an hatinya itu. Tidak peduli dia dengan tradisi dan adat-istiadat, dianggapnya semua sebagai palu peremuk kebahagiaan. Jaring perampas harapan.

Senja menapaki hari. Semburat warna keemasan berbaur dengan menggelapnya hari. Saatnya para pencari nafkah memasuki halaman rumah masing-masing. Perantau kembali ke kampung halaman. Sedangkan para tamu bergegas meninggalkan si tuan rumah yang harus bersiap menyambut maghrib. Si gadis tekun menatap punggung kekasihnya yang perlahan menjauh. Air matanya sudah kering. Firasatnya mengatakan, dia tidak akan lagi bertemu dengan pujaan hatinya tersebut. Firasatnya benar.

***

Nduk, ayo cepetan to.” Suara serak dari luar kamar membuyarkan kenangan yang sedang di putar ulang oleh si perempuan, entah untuk keberapa kalinya. Meskipun sudah lama berselang, tidak sedikitpun kenangan itu memudar. Atau mungkin, memang tidak sudi untuk menghilang.

Enggeh, Buk. Sebentar lagi.” Sahut si perempuan dari bilik kamarnya yang sempit. Diraihnya gincu merah di atas meja rias. Dipolesnya lagi bibir yang sudah merah merekah.

Angin semakin berisik. Mencumbui pepohonan yang sebagian daunnya kering terpanggang matahari sepanjang siang. Sebentar lagi, si perempuan akan menodai sumpah yang dibuatnya sepuluh tahun silam. Mengangguk pada tradisi yang selalu dijalankan setiap wanita di kampungnya dan kampung-kampung tetangga. Mengabdikan jiwa dan raganya pada laki-laki. Meskipun tiada cinta.

Langit menumpahkan air ke bumi. Manusia menyebutnya hujan. Tapi ada yang mengatakan bahwa hujan adalah tangisan dewi-dewi. Lambang kesakitan hati. Dan gemuruh halilintar sejatinya adalah isak yang tiada lagi bisa diredam. Pandaan, 9 April 2012

Sunday 1 April 2012

Never Ever Ever Give Up!



No, I was not giving him up. He was a matter of what I called the biggest accomplishment.  Before we met, I was an ordinary bud. Sheltered and wrapped. Admitting my feeling was unlikely. It was a state I could never put myself into. It was a form of pride which I had been inseparable for years. And to me, pride was the last thing I would sacrifice. After all, a girl should really have that very one thing to survive, should she not?

But then an intruder gracefully stepped into my world and carefully turned it upside down, just like that. It was peculiar. He managed to ignite the light effortlessly. With him, the reveal of me suddenly appeared easy. So I foolishly let myself got too carried away and felt the charm at being exist in this spot. My emotions were genuine. At the end of the day, I found myself stunned by how extroverted I was turning. I started to blossom.

The excitement was irresistible. The fact that I got myself so helplessly tied up in him inextricably was annoying, yet pleasing. I was the object of his constant lovely attraction. He kept me in such agreeable flames one could never decline. Alas! The temptation was too much for me. I inevitably felt naked and so off-guard. I could no longer outwardly disguise what’s exploding inwardly. This was ecstasy, brought by a divine power to me.

Funny how everything had changed around me. Every little scene which used to be silly now seemed to amuse me. All those insignificant details had turned out notable. His lacking of ability to make me feel wanted had now become tolerable and even fancied. When I recited his name, my heart practically shrieked. How foolish! He had taken possession of my entire existence. Often did I wondered, when I tasted the bliss of being in love, if he felt the same. Oh! That would make us perfectly intertwined. 

I had decided to pursue this delicious joy. Ignored all the wickedness and torment which lay behind its shadow. I had let myself become so attached to him in the first place. It was the best decision ever. So I was yet to surrender. Obviously all those lovely things would lead to either serenity or a fiasco. Still I would contend, as the loss of that happiness of being with him would be hard to bear. And about pride.. I had long let it be a memory. 

Monday 30 April 2012

Perempuan Bergincu Merah



             Dipolesnya bibir ranum itu dengan gincu merah menyala. Aura menggoda berbaur keculasan, yang entah bagaimana terasa begitu memikat seketika menyelubungi raga mungil tersebut. Perempuan itu bukan seorang perayu. Namun, bibir merekah yang kini menyunggingkan seulas senyum sinis itu menjadikan si empunya bak Cleopatra. Ratu yang sanggup membuat lelaki manapun tertawan dan bertekuk lutut. Dan malam ini, yang akan ditundukkannya bukanlah lelaki manapun yang tidak diketahui asal-usulnya. Dia adalah lelaki terhormat yang sudah mumpuni dalam banyak hal. Lelaki yang akhirnya berhasil membuat si perempuan mengikhlaskan hasrat liarnya. Dan kembali menyembah pada tradisi, setelah beberapa lama.

Diluar angin malam terdengar begitu berisik. Gaduh yang ditimbulkan tak ubahnya seperti bunyi erangan mesin motor tua yang rusak, dipadukan dengan suara kertas yang teremat jemari manusia. Pun terdengar halilintar yang memekak, bagai teriakan penguasa langit yang sedang murka. Keduanya bercengkerama, kawin dengan sempurna. Suasana yang mematikan segala bentuk keriangan bocah kampung dan menggantinya dengan suasana pekuburan. 

Si perempuan berjalan ringan ke arah jendela. Tapaknya seolah tiada menyentuh lantai. Dengan kasar, didorongnya jati berwarna coklat tua itu. Deritan kusen yang mendecit nyaring begitu menyayat hati, bagai sebilah sembilu yang mengiris seonggok daging. Hanya saja perih yang ditimbulkan terdapat pada jiwa, bukan raga. Si perempuan meringis nyeri. Nampaknya keperihan pada jiwanya itu menjalar pula sampai ke raga. 

“Mbak, apa mereka sudah datang?” lirih pertanyaan itu terlontar dari bibir yang bergetar. Matanya tidak sejengkal pun beralih dari arak-arakan awan hitam yang perlahan menindih purnama.

“Iya, baru saja. Sekarang semuany` sedang menunggumu.” Ujar lawan bicaranya dengan nada yang sengaja dibuat acuh. Sayang, tetap tidak bisa menyamarkan kemelut di dalamnya.

“Jangan khawatir, Mbak. Semuanya pasti berjalan seperti yang Mbak, Bapak dan Ibu rencanakan. Kalian semua akan bahagia.” Sahut si perempuan, bahkan sebelum sang lawan bicara mengatupkan mulutnya.

Senyap seketika menyergap ruangan segi empat itu. Bahkan cicak pun tak luput dari kepungannya. Mereka tergopoh-gopoh mengtmpat di balik lemari kayu. Dan tenggorokan sang lawan bicara yang dipanggil Mbak oleh si perempuan, seketika tercekat oleh seutas tali tiada berwujud. Memaksanya menelan kembali semua kalimat yang sebelumnya ingin dia lontarkan. Kalimat yang memang sudah sering dia ulang ketika beradu mulut dengan saudarinya yang kini sedang berdiri termenung, menatap rembulan di langit hitam. 

Tiada satu pun anggota tubuh si perempuan berpindah dari posisinya, kecuali bulu mata lentik berbalur maskara yang rutin bergerak naik turun mengikuti irama hati sang pemilik. Entah apa yang berkecamuk di benaknya. Yang jelas sekarang rohnya sudah tidak lagi mendiami raga cantik nan ringkih tersebut. Dibiarkan roh itu berkelana menunggangi waktu. Kembali ke sepuluh tahun silam. 

***

“Aku takut, Mas. Bagaimana kalau nanti Bapak tidak setuju?” Gadis itu mengulang pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Diusapnya peluh yang mengembun dari pori-pori di kening mulusnya dengan punggung tangan sebelah kanan.  Pun ditariknya ujung rok yang dia kenakan dengan gerak sembrono, seolah dengan begitu semua gundah gulana yang sedang menyelimuti hatinya bisa terobek sedikit demi sedikit. Melepaskan cengkramannya.

            “Tidak apa-apa, Sri. Yang penting kita coba dulu.” Ujar si pria berusaha menentramkan hati kekasihnya. Padahal jauh di lubuk sanubari, dia juga sedang menyimpan gelisah luar biasa. Apa yang akan dilakukannya hari ini jelas sebuah langkah mustahil yang tiba-tiba harus dia tempuh. Walaupun begitu, dia tahu dia harus bersikap sewajar yang dia bisa. Tidak mau dia menunda lagi kebahagiaan itu, meski sangat kecil harapannya, sekecil kutu yang mendiami rambut bocah-bocah di kampung kelahirannya.

            “Tapi aku tetap takut, Mas.” 

            “Percayalah, semua pasti berjalan lancar. Bapak dan Ibumu sudah lama tahu tentang hubungan kita. Mereka tidak akan menentang, apalagi sudah sejauh ini. Katakan, Sri, sudah berapa lama aku mencintaimu?”

            “Delapan tahun, Mas. Dan selama itu juga aku mencintaimu.”

            “Itulah, Sri. Aku semakin yakin nBapak dan Ibumu akan mengerti dan mau memberi restunya.”

            Matahari semakin ganas membakar bumi. Dedaunan dipaksa bercerai dengan tangkainya oleh angin yang bertiup kencang, namun tak tentu arah. Debu halus bergantian masuk melalui lubang hidung dan memenuhi ruangnya, sehingga sedikit sekali celah kosong tersisa yang bisa ditembus udara untuk menuju paru-paru. Sepasang muda-mudi itu secara bersamaan merasa sesak di dada. Si pria diam-diam berharap telah berhasil meyakinkan kekasihnya tentang apa yang sudah menjadi keputusan bersama bulan lalu. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dia sendiri pun belum sepenuhnya yakin misi yang diembannya kali ini akan berhasil. 

            Si gadis mengunci mulut rapat-rapat. Gelora yang pasang surut di dadanya tak kunjung kembali normal. Sebentar-sebentar melepaskan tohokan ke ulu hati. Kalau sudah seperti itu, ingin rasanya memuntahkan isi perutnya. Namun dia tahu sang kekasih sekarang sedang mati-matian meyakinkan dirinya. Dan tiada mau si perempuan membuatnya kecewa dengan menunjukkan sikap kalut yang berlebih. Maka digigitlah bibir bawahnya yang polos tanpa polesan gincu itu kuat-kuat, berharap mual yang menyerbunya bisa terkurung saja di kerongkongan. Gigitan yang membuat ngilu.

            Di langit, awan gelap dengan sigap mengambil alih kekuasaan permadani biru cerah yang sedari tadi memayungi makhluk bumi. Si pria tampaknya menyadari perubahan cuaca yang tiba-tiba tersebut, lantas diraihnya tangan si gadis dan menariknya berdiri. Dengan langkah berat, keduanya berjalan beriringan menuju sebuah bangunan di belakang pohon mangga. 

***

Hening di tengah malam pun tidak seseram ini. Suara detik jam tiada  pernah sebegini memilukan. Dan hawa mencekat semakin mengental seiring mencondongnya matahari ke arah barat. Empat kepala di ruangan itu sama-sama menunduk. Masing-masing sedang bergelut dengan batinnya. Hanya sesekali terdengar suara isak seorang wanita tua yang tertahan. Yang selalu cepat-cepat diredam oleh tuannya dengan mencengkeram lengan kursi yang terbuat dari rotan.

Si lelaki tua yang terkenal bijak itu pun kini benar-benar kehilangan perbendaharaan kata. Kesengsaraan nampak jelas menggantung di kedua matanya. Beberapa kali ditengadahkan kepalanya yang sudah botak itu. Berharap akan ditemukannya jawaban di atas sana. Kadang, bergantian kepalanya menoleh, dari sang istri yang sedari tadi berjuang melawan luapan air mata, ke putri semata wayangnya yang terpekur di hadapannya. Beban berat sedang menggelayuti pundak lelaki tua tersebut. Dada yang biasanya terbusung gagah itu pun sekarang melunglai. Rasa sayang dan ketidak-ikhlasan saling berjejal memasuki rongganya.

“Maaf, tapi sepertinya Bapak perlu waktu untuk memikirkan semua ini. Sri itu anak Bapak satu-satunya, Nak. Kalau engkau bawa dia meninggalkan rumah ini, dan tinggal di pulau yang sebegitu jauhnya, bagaimana nasib kami nanti?” Ujarnya pada pria yang sedang duduk disamping putrinya itu.

“Tapi nanti kami akan sering-sering mengunjungh Bapak dan Ibu di sini. Tidak perlu khawatir, saya tidak bermaksud memisahkan Sri dari Bapak ataupun Ibu.” Sahut si pria memelas.

“Bukan hanya itu, Nak… Bagaimana nanti kami bisa menghadapi leluhur kami, kalau sampai Sri meninggalkan tradisi yang sudah melekat pada dirinya sejak lahir? Kami tidak bisa membiarkan Sri melanggar kepercayaan leluhur.”

Akhirnya meluncur juga kata-kata itu. Sebuah alasan yang memang sudah bisa ditebak oleh setiap pasang mata yang ada di ruang tersebut. Dari semula, kepercayaanlah yang menjadi inti sari-nya. Si pria muda mulai pasrah. Misinya kali ini sepertinya tidak akan membuahkan hasil, sama seperti sebulan sebelumnya. Seketika dadanya terasa terhimpit oleh sekarung beras. Semakin sempit dan menyesak. Tak tertahankan lagi sakit itu, meledaklah tangisnya. Tangis tanpa suara, h`nya lelehan air mata tiada henti.

Si gadis pun merasakan hal serupa. Hempasan bongkahan batu pada dadanya itu terlalu kuat. Tak dibendungnya lagi semua isakan. Pun dibiarkan air bening mencucur satu demi satu dari mata sipitnya. Terkoyak sudah harapan di depan mata. Melihat kekasih yang dia cintai merendah, kebencian seketika menyusup di celah-celah hatinya. Sumpah tak bersuara dia ikrarkan, selamanya tidak akan pernah menggantikan puj`an hatinya itu. Tidak peduli dia dengan tradisi dan adat-istiadat, dianggapnya semua sebagai palu peremuk kebahagiaan. Jaring perampas harapan.

Senja menapaki hari. Semburat warna keemasan berbaur dengan menggelapnya hari. Saatnya para pencari nafkah memasuki halaman rumah masing-masing. Perantau kembali ke kampung halaman. Sedangkan para tamu bergegas meninggalkan si tuan rumah yang harus bersiap menyambut maghrib. Si gadis tekun menatap punggung kekasihnya yang perlahan menjauh. Air matanya sudah kering. Firasatnya mengatakan, dia tidak akan lagi bertemu dengan pujaan hatinya tersebut. Firasatnya benar.

***

Nduk, ayo cepetan to.” Suara serak dari luar kamar membuyarkan kenangan yang sedang di putar ulang oleh si perempuan, entah untuk keberapa kalinya. Meskipun sudah lama berselang, tidak sedikitpun kenangan itu memudar. Atau mungkin, memang tidak sudi untuk menghilang.

Enggeh, Buk. Sebentar lagi.” Sahut si perempuan dari bilik kamarnya yang sempit. Diraihnya gincu merah di atas meja rias. Dipolesnya lagi bibir yang sudah merah merekah.

Angin semakin berisik. Mencumbui pepohonan yang sebagian daunnya kering terpanggang matahari sepanjang siang. Sebentar lagi, si perempuan akan menodai sumpah yang dibuatnya sepuluh tahun silam. Mengangguk pada tradisi yang selalu dijalankan setiap wanita di kampungnya dan kampung-kampung tetangga. Mengabdikan jiwa dan raganya pada laki-laki. Meskipun tiada cinta.

Langit menumpahkan air ke bumi. Manusia menyebutnya hujan. Tapi ada yang mengatakan bahwa hujan adalah tangisan dewi-dewi. Lambang kesakitan hati. Dan gemuruh halilintar sejatinya adalah isak yang tiada lagi bisa diredam. Pandaan, 9 April 2012

Sunday 1 April 2012

Never Ever Ever Give Up!



No, I was not giving him up. He was a matter of what I called the biggest accomplishment.  Before we met, I was an ordinary bud. Sheltered and wrapped. Admitting my feeling was unlikely. It was a state I could never put myself into. It was a form of pride which I had been inseparable for years. And to me, pride was the last thing I would sacrifice. After all, a girl should really have that very one thing to survive, should she not?

But then an intruder gracefully stepped into my world and carefully turned it upside down, just like that. It was peculiar. He managed to ignite the light effortlessly. With him, the reveal of me suddenly appeared easy. So I foolishly let myself got too carried away and felt the charm at being exist in this spot. My emotions were genuine. At the end of the day, I found myself stunned by how extroverted I was turning. I started to blossom.

The excitement was irresistible. The fact that I got myself so helplessly tied up in him inextricably was annoying, yet pleasing. I was the object of his constant lovely attraction. He kept me in such agreeable flames one could never decline. Alas! The temptation was too much for me. I inevitably felt naked and so off-guard. I could no longer outwardly disguise what’s exploding inwardly. This was ecstasy, brought by a divine power to me.

Funny how everything had changed around me. Every little scene which used to be silly now seemed to amuse me. All those insignificant details had turned out notable. His lacking of ability to make me feel wanted had now become tolerable and even fancied. When I recited his name, my heart practically shrieked. How foolish! He had taken possession of my entire existence. Often did I wondered, when I tasted the bliss of being in love, if he felt the same. Oh! That would make us perfectly intertwined. 

I had decided to pursue this delicious joy. Ignored all the wickedness and torment which lay behind its shadow. I had let myself become so attached to him in the first place. It was the best decision ever. So I was yet to surrender. Obviously all those lovely things would lead to either serenity or a fiasco. Still I would contend, as the loss of that happiness of being with him would be hard to bear. And about pride.. I had long let it be a memory.