Thursday 22 December 2011

My Mum


My mum doesn’t read. She doesn’t write either. Ask her about politics, economics or even religion, she would probably just give you inappropriate answers. That’s my mum. A woman with less knowledge about what’s going on in this world. One who will get you on your nerve every time you try to make her understand about the way you see things.

Mum is neither a role model nor the best mum ever. She is just ordinary. She makes mistakes, says something wrong, does something stupid, and sometimes acts incredibly silly. That’s the way she is. A complete opposite of this very idea which you call an ideal mother. 

But I know life will be far worse than horrible with her out of the picture. She has always been the grip. The one who will always be there in the shadow and reminds you that you are never alone. She is the balance who keeps every single thing in order. She is the home. No matter how far you go or how deep you fall, you will always come back to her. And like any other mum in this universe, she is probably the most sincere. 

My mum is not perfect and never will be. But I swear to God she loves me so perfectly. She never teaches me how to survive, but indeed from her I know how to become a good fighter. Mum has always been the best entertainer. She has this inexplicably ability to play every single role life has offered her.

Mum is the woman and the man at the same time. An idol I will never get tired of admiring. A figure I will never get bored of adoring. And despite her imperfection, mum is definitely the one I will always be proud of. I love her.

*Selamat Hari Ibu

Monday 19 December 2011

A Morning with Sincerity- England


Pagi di Inggris kala itu benar-benar keterlaluan dinginnya, terutama bagi perempuan berkulit tropis seperti aku. Mungkin sekitar lima atau enam derajat celcius. Langit juga tampak tidak sedang berbahagia. Gelap. Sedangkan awan sepertinya sudah siap memuntahkan buliran-buliran air yang dikandungnya ke kota Bury St. Edmunds. 


Hari itu, 8 Oktober 2011, untuk pertama kalinya aku memandangi langit pagi di negeri empat musim dari balik jendela kaca kamar yang akan aku tinggali selama dua minggu ke depan. Itulah pagi pertamaku di Inggris sejak kedatanganku tujuh jam sebelumnya.

***

Masih jelas di ingatan begitu panjangnya antrian di Stansted Immigration Control tadi malam. Kebanyakan dari para pengantri itu berwajah khas kaukasia dan oriental. Padahal saat itu jelas kami sedang berada di bagian all other passport, bagian kontrol imigrasi untuk selain mereka para pemegang passport Uni Eropa.

Hanya ada beberapa orang  berwajah melayu yang tertangkap mataku. Salah satunya seorang bapak berumur 60 an yang kini sedang menunjukkan passport nya ke seorang petugas di salah satu booth di depanku. Kami sempat mengobrol selama di dalam pesawat yang membawa kami dari Kuala Lumpur ke Stansted. Kursi kami memang hanya terpisahkan oleh satu orang penumpang waktu itu, sehingga memungkinkan kami untuk sekedar bertegur sapa, mengingat kami merasa ada kemiripan rumpun dibanding dengan kebanyakan penumpang lain. Rupanya si bapak berwarga kenegaraan Malaysia. Dia hendak mengunjungi putrinya yang berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu sudut di kota London.

Iseng aku menolah kebelakang. Ada dua remaja putra dan putri sedang saling berpegangan tangan. Dari wajahnya aku tebak mereka berkewarganegaraan Filipina atau Thailand. Sempat terbesit rasa iri melihat mereka yang tampak begitu mesra. Mau tidak mau aku membayangkan betapa senangnya seandainya orang yang kita kasihi ada bersama kita di perjalanan yang melelahkan ini. Namun cepat-cepat aku tepis perasaan itu. Karena dengan ataupun tanpa seorang kekasih, kenyataannya aku sudah berhasil mendarat di Inggris. Negeri yang selama ini aku impikan.

Tidak jauh di belakang dua remaja yang sedang kasmaran itu aku melihat seorang pria muda dan seorang wanita yang dari umurnya cukup untuk dipanggil ‘ibu’ oleh pria tersebut. Aku sedikit kaget. Bagiku, mereka berdua sangat Indonesia. Dari wajah dan postur tubuh, cukup bagiku untuk menjadi sangat yakin bahwa mereka benar-benar orang Indonesia. Tapi kesimpulan ini terbantahkan setelah aku melihat warna passport yang mereka pegang. Bukan hijau seperti punyaku. Warnanya merah. 

Kuedarkan pandangan sekali lagi ke seluruh penjuru salah satu bandar udara terbesar di Inggris itu. Sangat rapi. Itulah kesan yang aku tangkap. Semua petunjuk ditulis dengan jelas dan petugas pun dengan sangat sigap menindak siapapun yang melanggar peraturan. Ada seorang remaja berwajah oriental yang sudah merasakan keganasan para petugas bandar udara tersebut. Entah apa yang dia lakukan sehingga membuat si petugas berteriak akan mengeluarkannya dari antrian kalau dia tidak bisa mematuhi peraturan. Dalam hati diam-diam aku bersyukur. Seandainya itu aku, tidak bisa aku bayangkan betapa malunya menjadi tontonan orang dari berbagai penjuru dunia kala itu.

Tiba-tiba seorang petugas wanita yang sedari tadi menjaga garis antrian mempersilahkanku menuju salah satu booth yang kosong. Bergegas aku menuju booth yang dimaksud dan menunjukkan passport hijauku pada seorang wanita di dalamnya.

“Hello.” Sapaku.

“Hello. Where are you going?” Tanyanya ramah.

“I’m going to Bury St. Edmunds.”

“How long will you be staying there?”

“Two weeks. I’m leaving England on October the 22nd.”

Wanita tersebut terlihat membalik salah satu halaman passportku. Mungkin memeriksa UK visa yang tercantum di dalamnya.

“So, what are you doing in Bury?” tanyanya setelah beberapa saat.

“I’m visiting a link school called Hardwick Middle School. I guess I’ll be teaching a few lesson.”

“Is it like an exchange program?”

“Yes, exactly.”

“So has the English teacher come to Indonesia?”

“Yes, they came last August. There were two of them”

“Great, then. Enjoy your stay.” Ujar  petugas tersebut sembari menyerahkan kembali padaku passport yang sudah di bubuhi stempel.

***

Di antrian bagasi selain sibuk mencari travelling bag warna hitam yang aku pinjam dari bapak, mataku juga dengan tekun mencoba menemukan keberadaan seseorang. Dia adalah pria muda asal Inggris yang kursinya selama di penerbangan D72008 tepat berada diantara aku dan si bapak Malaysia tadi. Dialah teman perjalanan yang menyelamatkanku dari kebosanan yang besar kemungkinannya akan menyerang di satu waktu diantara empat belas jam penerbangan dari Kuala Lumpur sampai akhirnya mendarat di Stanted Airport ini. Jack, namanya.

Pertemuanku dengan Jack bisa dibilang sangat terencana. Mungkin Tuhan berbelas kasihan padaku. Dia mengatur perjalanan ini dengan sempurna. Jack termasuk di dalamnya. Aku ingat saat pramugari-pramugari cantik itu memeriksa boarding pass yang aku genggam. Ada seseorang tepat dibelakangku yang juga sedang menunggu seorang pramugari lain memeriksa boarding pass nya.
Kemudian aku berjalan menaiki anak tangga menuju ke badan pesawat dan mencari posisi kursi seperti yang tercantum di tiket atas namaku itu. Tidak lama aku temukan nomor yang dimaksud. Dalam hati aku bersorak. Aku mendapat posisi tempat duduk yang selalu aku favoritkan, entah di mobil, bus, kereta ataupun pesawat seperti sekarang. Di dekat jendela. Tiba-tiba pemuda yang sedari tadi tampak seperti mengekorku mengucapkan sesuatu dengan nada sangat bersahabat.

“Oh, I am here as well.”

Komentarnya aku respond hanya dengan senyum tipis. Yang kemudian diikuti dengan rasa tidak enak dan sedikit bersalah. Mengapa aku tidak melakukan sesuatu yang lebih ramah? Bukankah pemuda itu sudah menunjukkan ketertarikannya untuk bersosialisasi dengan aku yang jelas berbeda ras darinya. Akhirnya, berusaha menebus rasa bersalah aku memulai percakapan dengannya.

“How long do you think it will take to get to Stansted?”

Dan dari pertanyaan ringan itu lah aku berhasil menciptakan atmosfer perjalanan yang hangat antara aku dan pemuda berkulit putih pucat tersebut. Kami berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari pekerjaan, keluarga dan tempat asal masing-masing. Bahkan kami juga sempat menyinggung tentang bagaimana kami memandang hidup dan sebuah hubungan antara pria dan wanita. Aku anggap aku sedang beruntung. Aku sedang melakukan pemanasan dengan lidahku, mengingat selama dua minggu kedepan aku tidak akan lagi menggunakan bahasa ibu. Setidaknya, tidak dalam percakapan face to face

Di tengah perbincangan Jack mengatakan sesuatu yang masih aku kenang sampai sekarang,

“Dini, do you believe that you can tell when people are being sincere to you?”

“What do you mean?”

“I mean, I know exactly whether somebody is being sincere when they talk to me. I just feel it. My heart tells me. ”

“Do you think I’m being sincere to you right now then?” Godaku.

“Yes, exactly.” Jawabnya mantap.

***

Hampir sepuluh menit aku mencari, tapi tidak kunjung kutemukan sosok Jack. Akhirnya dengan berat hati aku putuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan area reclaim baggage tersebut. Ada sedikit rasa sedih terselip di dadaku. Aku benar-benar berharap bisa bertemu dengannya, sekedar mengucapkan selamat tinggal. Tapi sepertinya Tuhan memintaku untuk bersabar.

Kuikuti arus yang berbondong menuju pintu keluar. I was excited, ecstatic, and disappointed at the same time. Dan saat berjalan itulah akhirnya aku putuskan untuk tidak terlalu lama menyimpan rasa terima kasihku pada Jack. Aku akan mengucapkannya melalui sebuah jejaring sosial. Aku ingat dia menuliskan nama serta alamat emailnya di buku diari perjalananku. Iya, aku pasti menghubunginya. A stranger that turns into a very good friend during the journey. A stranger that claimed I was being sincere to him.

Darinyalah aku belajar bahwa ketulusan itu, memang, bisa dirasa dengan hati. Ketulusan akan bicara dengan bahasanya sendiri. And.. sincerity definitely has nothing to do with how long you have known somebody. Dia adalah sebuah variabel bebas yang tidak akan bisa menggantungkan diri pada ikatan yang namanya persaudaraan, persahabatan, ataupun sekedar kenalan. Seperti halnya Jack yang bahkan keberadaannya tidak pernah aku ketahui sebelum penerbangan ke Stansted kala itu. Namun dia sudah dengan tulus menjadi teman bicara, memberiku permen penyegar mulut saat kami sama-sama baru terbangun dari tidur, dan bahkan menemaniku berjalan menuju bagian kontrol imigrasi. Aku tahu dia tulus melakukan semuanya. Setidaknya itu yang dikatakan oleh hatiku. Karena memang yang namanya ketulusan hidup dan berkembang dengan sendirinya di dasar hati setiap individu.

***

Aku melangkahkan kaki keluar kamar. Berjinjit menuruni anak tangga. Hari itu pagi masih terlalu dini bagi tuan rumahku. Aku tidak mau menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. 

Aku menuju dapur yang kebetulan terletak di lantai satu. Kutuangkan orange juice ke dalam gelas, penuh. Rupanya aku kehausan. Kubuka laci-laci yang ada di dapur ala Eropa tersebut dan mencoba mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut, setidaknya sampai tiba waktu sarapan. Aku menemukan sekotak biskuit.  Pada malam sebelumnya, si tuan rumah sudah menunjukkan setiap sudut rumahnya padaku. Ternasuk mempersilahkan aku memakan segala sesuatu yang ada di lemari-lemari dapur mungilnya. Jadilah dengan hanya sedikit perasaan sungkan, aku lahap biskuit tersebut.

Kuayunkan kaki menuju ruang seberang dimana televisi berada. Meski begitu aku tidak sedang merasa di mood  yang baik untuk menonton acara berita. Kuputuskan untuk menghidupkan laptop dan log in ke salah satu jejaring sosial. Kucari nama Jack di search engine-nya dan berhasil. Tanpa pikir panjang kutekan tombol di samping foto yang muncul. Segera setelah dia mengkonfirmasi permintaan pertemanan yang aku kirim, aku akan memenuhi janji yang aku buat pada diriku sendiri tadi malam. Berterima kasih atas ketulusannya selama perjalanan kala itu. Sebuah bentuk ketulusan dariku di suatu pagi di bulan Oktober. Diluar kaca jendela nampak bulir-bulir air mulai berjatuhan. Gerimis pertamaku di Inggris.

Friday 16 December 2011

Home, Lelaki dan Perempuan


“Ini bukan mimpi kan?”
“Kalaupun mimpi, kita mimpi bareng.”

Seandainya tidak ada dia yang sekarang sedang duduk menikmati bola-bola daging yang dia sendok dari sebuah mangkuk putih di hadapannya, aku pasti sudah mencubit pipiku sendiri. Menariknya ke samping kanan dan kiri sebagai aksi pembuktian bahwa aku memang benar-benar tidak sedang bermimpi. Konyol memang, tapi disitulah sensasinya. Berada di tempat ini, duduk disampingnya, menatap matanya, menangkap suaranya, semua terasa terlalu sempurna. Mimpi yang menjadi nyata.

Mendadak aku merasa hanya ada aku dan dia. Kenyataan  bahwa kami sedang membaur di sudut kota paling ramai pun tidak mampu menenangkan hatiku. Aku gelisah. Berdua dengannya sungguh merupakan suatu keadaan yang tidak aku persiapkan.  Harapan untuk berada di suatu dimensi ruang dan waktu yang sama dengannya bahkan sudah lama aku tepis. Tapi lihatlah kami saat ini, berdampingan layaknya dua sejoli. Bumi pun berubah sepi di mataku, karena aku hanya melihatnya. Kali ini, benar-benar dia.

“Kenapa mobil di Inggris setirnya di sebelah kanan ya? Padahal di negara Eropa yang lain setirnya ada di kiri, sama seperti Amerika. Kenapa Inggris justru seperti Indonesia?” Tanyaku di tengah-tengah perbincangan kami.

“Salah. Seharusnya pertanyaannya adalah mengapa Indonesia yang bekas jajahan Belanda justru meniru Inggris, memakai mobil dengan setir di sebelah kanan?” Respon kilatnya.

“Eh, iya. Kenapa ya?” Tanyaku dengan tidak bisa menyembunyikan rasa malu akan ketololanku.

Begitulah memang kalau sedang bersama dia. Aku jadi tolol dadakan. Layaknya anak SD berhadapan dengan mahasiswa. Otakku ini mengalami suatu kemunduran drastis tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Atau mungkin ini semua karena dia yang terlalu memukau. Sepertinya apa yang ada di kepalanya itu sudah jauh dari hal-hal yang biasa. Aku selalu terpana dibuatnya. Dia tidak berubah. Sejak awal pertemuan kami satu tahun yang lalu, dia tetap saja mampu membuatku gagu dan gagap. Namun aku menikmatinya. Bagiku, tidak ada yang lebih menghibur selain menjadi pihak yang memasang telinga lebar-lebar dan mengandangkan semua kalimat yang meluncur dari lisannya.

“Would you excuse me. I need to call a friend.” Ujarku sembari mengeluarkan sebuah ponsel dari tas coklat tuaku.

“Iya, silahkan.” Jawabnya ringan.

Kucari nama temanku di daftar kontak dan menekan tombol call. Tidak lama aku mendengar bunyi tut panjang, pertanda sambungan sedang dilakukan. Didepanku si dia nampak sedang merogoh saku baju dan mengambil BlackBerry-nya. Mungkin dia tidak mau sekedar bengong saat menungguku menelpon, tebakku. Sejenak kutangkap raut wajahnya saat dia menatap layar BlackBerry tersebut, tepat sebelum dia melontarkan pertanyaan retoris yang dengan telak menghancurkan image yang sedang mati-matian aku pertahankan sejak awal perjumpaan kami tadi,

“Lho, gimana sih Bu?”

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memahami wacana yang ada, atau dengan kata lain menyadari kebodohan yang baru saja aku perbuat. Benar-benar tanpa disengaja. Ternyata, aku salah menekan tombol. Aku justru menghubungi nomornya, bukan teman yang tadi aku maksud. Rasa malu tidak sanggup aku hindari. Kubungkukkan badan ke arah meja demi menutupi wajahku yang rasa-rasanya tidak sanggup menanggungnya. No, I did not play dumb. Buatku, acting stupid in front of boys is never cute, at all. Tapi sekali lagi fakta berbicara dengan bahasa yang berbeda. Saat ini aku justru tampak seperti perempuan yang sedang memainkan trik tersebut.

Hati memang tidak pernah bisa diajak berkompromi. Dia bicara dalam bahasa telepati tingkat tinggi. Mengirimkan sinyalnya ke otak dan secara sepihak mementalkan semua logika. Begitu juga ada hal-hal yang selalu menjadi pengecualian. Hal yang tidak kau harapkan tapi justru muncul dengan mengejutkan. Hal yang berada di luar kendalimu. Tidak seirama dengan logika, tapi cenderung senada dengan hati. Namun pada akhirnya, tetap dengan logikalah kau menerimanya. Dan hal ini tidak pernah membutuhkan terjemahan ataupun penjabaran.

Kini aku percaya tidak semua perlu diungkapkan atau dijawab dengan aksara. Sometimes you just need to simply feel and enjoy it. Then let it fill you in.

Welcome home, Love.

Tuesday 13 December 2011

Pertemuan, Lelaki dan Perempuan




“To me you are a form of art which I never get tired of admiring.”


Kuamati setiap makhluk yang berlalu lalang di hadapanku, mereka semua berpasangan. Mungkin hanya aku seorang yang sedang duduk sendirian berteman sebuah buku baru yang ceritanya ternyata tidak semenarik cover-nya. After all, pepatah don’t judge a book by its cover memang seratus persen benar.

Kusapukan pandangan dari satu sudut ke sudut yang lain, tempat ini memang sangat ramai. Mungkin karena ini hari Minggu. Hari dimana semua anggota keluarga berkumpul. Hari yang paling pas untuk menghabiskan waktu dengan para perantau yang pulang kampung.

Bosan dengan kemonotonan yang terjadi, kubalik halaman buku yang aku bawa dan segera melakukan fast reading. Buku seperti ini membuatku merasa seperti gadis tujuh belas tahunan. Sungguh kontras dengan kenyataan bahwa hari ini aku genap berumur dua puluh tujuh tahun lebih satu hari. Rasanya aneh setiap kali mengingat bahwa sudah sepuluh tahun sejak aku meninggalkan sekolah menengah atas. How time flies!

Tiba-tiba ingatan membawaku kembali pada kejadian tadi malam. Sebuah percakapan melalui Short Message Service antara aku dan lelaki itu. Seketika rasa gugup menghampiri. Jantung yang selalu berdetak pun mengejutkanku dengan keagresifannya yang tiba-tiba. Tidak bisa dipungkiri, dia memang alat pacu jantungku yang paling mutakhir.

Nada dering text message mengagetkanku. Membuyarkan semua lamunan yang sedang kususun. Sebuah pesan singkat aku terima, bunyinya:

“Aku sedang memijak tanah dimana kamu bilang akan menungguku, Bu.”

Kuambil pembatas buku yang tergeletak nyaman di atas pangkuan, meletakkannya di halaman buku yang sedang terbuka, kemudian menutupnya. Aku pun berdiri dan bergegas menuju tanah perjanjian yang dimaksud. Dari kejauhan aku sudah melihat sosoknya. Meskipun dari balik helm yang sedang dia pakai, aku pun masih bisa melihat sorot matanya yang selalu aku rindukan itu.

“Tunggu disini. Aku parkirkan motor dulu.” Ujar lelaki itu saat aku mendekat, sebelum akhirnya menghidupkan motornya kembali.

Dari tempat aku berdiri, aku amati semua gerakannya. Bagaimana dia memutar motor memasuki lahan parkir. Bagaimana dia melepas helm yang menutupi kepalanya. Saat dia melepas jaket yang menyembunyikan T-Shirt merah menyalanya. Saat dia melenggang meninggalkan petugas parkir dan menyeberangi jalan. Juga sekarang, saat dia sedang berjalan ke arahku. Merangkul jarak dan waktu yang selama ini membekukan kisah seorang lelaki dan perempuan.

Pertemuan yang lama tertunda. Yang lama menjadi penghuni daftar impianku. Dan saat ini semuanya terasa begitu sempurna. Pas tanpa ada yang dipaksakan. When it all fits into place, you just know!

Monday 12 December 2011

SMS, Lelaki dan Perempuan




“You are this bad habit which I would love to break, but just can't help carrying on doing.”


“Selamat Ulang Tahun, Bu. Momen ini biasanya sangat tepat dijadikan sebagai alat pencetak pribadi oportunis instan. Dan produk sampingannya yaitu sepiring makanan gratis dari warung pinggir jalan, atau kalau sedang beruntung dari cafĂ© di area yang jauh dari semrawutnya kota kita.”

Bibirku secara otomatis tertarik ke atas di kedua ujungnya waktu aku eja nama si pingirim pesan teks tersebut. Dia yang baru melihat susunan huruf pembentuk namanya saja sudah mampu membuat jantungku melompat-lompat.

Ibu jari tangan kananku membutuhkan tidak lebih dari satu menit untuk menemukan huruf-huruf pada QWERTY keypad ponsel yang sedari tadi aku pegang. Huruf-huruf tersebut kemudian membentuk sebuah balasan singkat namun ber-discourse sangat panjang.

“Pulanglah ke kota kita, meja kursi di warung tersebut merindukanmu.”

“Rasa rindunya sudah dan masih aku bayar, Bu.” Pesan balasan yang aku terima.

Setengah tidak percaya, aku ketik sebuah kata dan mengakhirinya dengan tanda tanya, kemudian mengirimnya ke nomor yang sama, “Sungguh?”

“Maka sebuah bukti akan menjawab keraguan yang ada. Datang dan buktikanlah.”

“Dan mungkin sebuah hadiah ulang tahun akan membuatnya semakin nyata.”

“Senyumku.” Singkat dan memikat, bunyi pesan masuk kali ini.

“That’s more than enough.”

“Begitu saja?”

Sejenak aku mencoba menerka makna dibalik pertanyaan singkat itu sebelum akhirnya aku ketik,

“Mari kita ciptakan satu lagi pribadi oportunis kalau begitu. Besok siang?”
Pesan terbaru penghuni sentbox.

“Alangkah nikmatnya seandainya bisa mengecap makanan warung tersebut malam ini. Tapi... baiklah besok juga tidak apa-apa kalau memang kamu memaksa.”

Isi incoming message terakhir ini sukses menggoda tawaku yang seketika meledak. Segera aku mainkan ibu jari,

“Not available tonight. Tomorrow is. 1 o’clock?”

“Hurrayyyyyy” Pesan balasan yang aku terima lima detik kemudian.

“HATIKU BERSORAK LEBIH KENCANG.” Jawaban yang hanya bisa aku ungkapkan melalui layanan pesan singkat.

Great.” Penutup percakapan dua ibu jari seorang lelaki dan perempuan pada 10 Desember 2011 jam 07:18:15 malam.

Digerakkan oleh rindu. Dibatasi oleh gengsi. Disamarkan dengan canda. Dibuktikan dengan getaran.


Thursday 22 December 2011

My Mum


My mum doesn’t read. She doesn’t write either. Ask her about politics, economics or even religion, she would probably just give you inappropriate answers. That’s my mum. A woman with less knowledge about what’s going on in this world. One who will get you on your nerve every time you try to make her understand about the way you see things.

Mum is neither a role model nor the best mum ever. She is just ordinary. She makes mistakes, says something wrong, does something stupid, and sometimes acts incredibly silly. That’s the way she is. A complete opposite of this very idea which you call an ideal mother. 

But I know life will be far worse than horrible with her out of the picture. She has always been the grip. The one who will always be there in the shadow and reminds you that you are never alone. She is the balance who keeps every single thing in order. She is the home. No matter how far you go or how deep you fall, you will always come back to her. And like any other mum in this universe, she is probably the most sincere. 

My mum is not perfect and never will be. But I swear to God she loves me so perfectly. She never teaches me how to survive, but indeed from her I know how to become a good fighter. Mum has always been the best entertainer. She has this inexplicably ability to play every single role life has offered her.

Mum is the woman and the man at the same time. An idol I will never get tired of admiring. A figure I will never get bored of adoring. And despite her imperfection, mum is definitely the one I will always be proud of. I love her.

*Selamat Hari Ibu

Monday 19 December 2011

A Morning with Sincerity- England


Pagi di Inggris kala itu benar-benar keterlaluan dinginnya, terutama bagi perempuan berkulit tropis seperti aku. Mungkin sekitar lima atau enam derajat celcius. Langit juga tampak tidak sedang berbahagia. Gelap. Sedangkan awan sepertinya sudah siap memuntahkan buliran-buliran air yang dikandungnya ke kota Bury St. Edmunds. 


Hari itu, 8 Oktober 2011, untuk pertama kalinya aku memandangi langit pagi di negeri empat musim dari balik jendela kaca kamar yang akan aku tinggali selama dua minggu ke depan. Itulah pagi pertamaku di Inggris sejak kedatanganku tujuh jam sebelumnya.

***

Masih jelas di ingatan begitu panjangnya antrian di Stansted Immigration Control tadi malam. Kebanyakan dari para pengantri itu berwajah khas kaukasia dan oriental. Padahal saat itu jelas kami sedang berada di bagian all other passport, bagian kontrol imigrasi untuk selain mereka para pemegang passport Uni Eropa.

Hanya ada beberapa orang  berwajah melayu yang tertangkap mataku. Salah satunya seorang bapak berumur 60 an yang kini sedang menunjukkan passport nya ke seorang petugas di salah satu booth di depanku. Kami sempat mengobrol selama di dalam pesawat yang membawa kami dari Kuala Lumpur ke Stansted. Kursi kami memang hanya terpisahkan oleh satu orang penumpang waktu itu, sehingga memungkinkan kami untuk sekedar bertegur sapa, mengingat kami merasa ada kemiripan rumpun dibanding dengan kebanyakan penumpang lain. Rupanya si bapak berwarga kenegaraan Malaysia. Dia hendak mengunjungi putrinya yang berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu sudut di kota London.

Iseng aku menolah kebelakang. Ada dua remaja putra dan putri sedang saling berpegangan tangan. Dari wajahnya aku tebak mereka berkewarganegaraan Filipina atau Thailand. Sempat terbesit rasa iri melihat mereka yang tampak begitu mesra. Mau tidak mau aku membayangkan betapa senangnya seandainya orang yang kita kasihi ada bersama kita di perjalanan yang melelahkan ini. Namun cepat-cepat aku tepis perasaan itu. Karena dengan ataupun tanpa seorang kekasih, kenyataannya aku sudah berhasil mendarat di Inggris. Negeri yang selama ini aku impikan.

Tidak jauh di belakang dua remaja yang sedang kasmaran itu aku melihat seorang pria muda dan seorang wanita yang dari umurnya cukup untuk dipanggil ‘ibu’ oleh pria tersebut. Aku sedikit kaget. Bagiku, mereka berdua sangat Indonesia. Dari wajah dan postur tubuh, cukup bagiku untuk menjadi sangat yakin bahwa mereka benar-benar orang Indonesia. Tapi kesimpulan ini terbantahkan setelah aku melihat warna passport yang mereka pegang. Bukan hijau seperti punyaku. Warnanya merah. 

Kuedarkan pandangan sekali lagi ke seluruh penjuru salah satu bandar udara terbesar di Inggris itu. Sangat rapi. Itulah kesan yang aku tangkap. Semua petunjuk ditulis dengan jelas dan petugas pun dengan sangat sigap menindak siapapun yang melanggar peraturan. Ada seorang remaja berwajah oriental yang sudah merasakan keganasan para petugas bandar udara tersebut. Entah apa yang dia lakukan sehingga membuat si petugas berteriak akan mengeluarkannya dari antrian kalau dia tidak bisa mematuhi peraturan. Dalam hati diam-diam aku bersyukur. Seandainya itu aku, tidak bisa aku bayangkan betapa malunya menjadi tontonan orang dari berbagai penjuru dunia kala itu.

Tiba-tiba seorang petugas wanita yang sedari tadi menjaga garis antrian mempersilahkanku menuju salah satu booth yang kosong. Bergegas aku menuju booth yang dimaksud dan menunjukkan passport hijauku pada seorang wanita di dalamnya.

“Hello.” Sapaku.

“Hello. Where are you going?” Tanyanya ramah.

“I’m going to Bury St. Edmunds.”

“How long will you be staying there?”

“Two weeks. I’m leaving England on October the 22nd.”

Wanita tersebut terlihat membalik salah satu halaman passportku. Mungkin memeriksa UK visa yang tercantum di dalamnya.

“So, what are you doing in Bury?” tanyanya setelah beberapa saat.

“I’m visiting a link school called Hardwick Middle School. I guess I’ll be teaching a few lesson.”

“Is it like an exchange program?”

“Yes, exactly.”

“So has the English teacher come to Indonesia?”

“Yes, they came last August. There were two of them”

“Great, then. Enjoy your stay.” Ujar  petugas tersebut sembari menyerahkan kembali padaku passport yang sudah di bubuhi stempel.

***

Di antrian bagasi selain sibuk mencari travelling bag warna hitam yang aku pinjam dari bapak, mataku juga dengan tekun mencoba menemukan keberadaan seseorang. Dia adalah pria muda asal Inggris yang kursinya selama di penerbangan D72008 tepat berada diantara aku dan si bapak Malaysia tadi. Dialah teman perjalanan yang menyelamatkanku dari kebosanan yang besar kemungkinannya akan menyerang di satu waktu diantara empat belas jam penerbangan dari Kuala Lumpur sampai akhirnya mendarat di Stanted Airport ini. Jack, namanya.

Pertemuanku dengan Jack bisa dibilang sangat terencana. Mungkin Tuhan berbelas kasihan padaku. Dia mengatur perjalanan ini dengan sempurna. Jack termasuk di dalamnya. Aku ingat saat pramugari-pramugari cantik itu memeriksa boarding pass yang aku genggam. Ada seseorang tepat dibelakangku yang juga sedang menunggu seorang pramugari lain memeriksa boarding pass nya.
Kemudian aku berjalan menaiki anak tangga menuju ke badan pesawat dan mencari posisi kursi seperti yang tercantum di tiket atas namaku itu. Tidak lama aku temukan nomor yang dimaksud. Dalam hati aku bersorak. Aku mendapat posisi tempat duduk yang selalu aku favoritkan, entah di mobil, bus, kereta ataupun pesawat seperti sekarang. Di dekat jendela. Tiba-tiba pemuda yang sedari tadi tampak seperti mengekorku mengucapkan sesuatu dengan nada sangat bersahabat.

“Oh, I am here as well.”

Komentarnya aku respond hanya dengan senyum tipis. Yang kemudian diikuti dengan rasa tidak enak dan sedikit bersalah. Mengapa aku tidak melakukan sesuatu yang lebih ramah? Bukankah pemuda itu sudah menunjukkan ketertarikannya untuk bersosialisasi dengan aku yang jelas berbeda ras darinya. Akhirnya, berusaha menebus rasa bersalah aku memulai percakapan dengannya.

“How long do you think it will take to get to Stansted?”

Dan dari pertanyaan ringan itu lah aku berhasil menciptakan atmosfer perjalanan yang hangat antara aku dan pemuda berkulit putih pucat tersebut. Kami berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari pekerjaan, keluarga dan tempat asal masing-masing. Bahkan kami juga sempat menyinggung tentang bagaimana kami memandang hidup dan sebuah hubungan antara pria dan wanita. Aku anggap aku sedang beruntung. Aku sedang melakukan pemanasan dengan lidahku, mengingat selama dua minggu kedepan aku tidak akan lagi menggunakan bahasa ibu. Setidaknya, tidak dalam percakapan face to face

Di tengah perbincangan Jack mengatakan sesuatu yang masih aku kenang sampai sekarang,

“Dini, do you believe that you can tell when people are being sincere to you?”

“What do you mean?”

“I mean, I know exactly whether somebody is being sincere when they talk to me. I just feel it. My heart tells me. ”

“Do you think I’m being sincere to you right now then?” Godaku.

“Yes, exactly.” Jawabnya mantap.

***

Hampir sepuluh menit aku mencari, tapi tidak kunjung kutemukan sosok Jack. Akhirnya dengan berat hati aku putuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan area reclaim baggage tersebut. Ada sedikit rasa sedih terselip di dadaku. Aku benar-benar berharap bisa bertemu dengannya, sekedar mengucapkan selamat tinggal. Tapi sepertinya Tuhan memintaku untuk bersabar.

Kuikuti arus yang berbondong menuju pintu keluar. I was excited, ecstatic, and disappointed at the same time. Dan saat berjalan itulah akhirnya aku putuskan untuk tidak terlalu lama menyimpan rasa terima kasihku pada Jack. Aku akan mengucapkannya melalui sebuah jejaring sosial. Aku ingat dia menuliskan nama serta alamat emailnya di buku diari perjalananku. Iya, aku pasti menghubunginya. A stranger that turns into a very good friend during the journey. A stranger that claimed I was being sincere to him.

Darinyalah aku belajar bahwa ketulusan itu, memang, bisa dirasa dengan hati. Ketulusan akan bicara dengan bahasanya sendiri. And.. sincerity definitely has nothing to do with how long you have known somebody. Dia adalah sebuah variabel bebas yang tidak akan bisa menggantungkan diri pada ikatan yang namanya persaudaraan, persahabatan, ataupun sekedar kenalan. Seperti halnya Jack yang bahkan keberadaannya tidak pernah aku ketahui sebelum penerbangan ke Stansted kala itu. Namun dia sudah dengan tulus menjadi teman bicara, memberiku permen penyegar mulut saat kami sama-sama baru terbangun dari tidur, dan bahkan menemaniku berjalan menuju bagian kontrol imigrasi. Aku tahu dia tulus melakukan semuanya. Setidaknya itu yang dikatakan oleh hatiku. Karena memang yang namanya ketulusan hidup dan berkembang dengan sendirinya di dasar hati setiap individu.

***

Aku melangkahkan kaki keluar kamar. Berjinjit menuruni anak tangga. Hari itu pagi masih terlalu dini bagi tuan rumahku. Aku tidak mau menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. 

Aku menuju dapur yang kebetulan terletak di lantai satu. Kutuangkan orange juice ke dalam gelas, penuh. Rupanya aku kehausan. Kubuka laci-laci yang ada di dapur ala Eropa tersebut dan mencoba mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut, setidaknya sampai tiba waktu sarapan. Aku menemukan sekotak biskuit.  Pada malam sebelumnya, si tuan rumah sudah menunjukkan setiap sudut rumahnya padaku. Ternasuk mempersilahkan aku memakan segala sesuatu yang ada di lemari-lemari dapur mungilnya. Jadilah dengan hanya sedikit perasaan sungkan, aku lahap biskuit tersebut.

Kuayunkan kaki menuju ruang seberang dimana televisi berada. Meski begitu aku tidak sedang merasa di mood  yang baik untuk menonton acara berita. Kuputuskan untuk menghidupkan laptop dan log in ke salah satu jejaring sosial. Kucari nama Jack di search engine-nya dan berhasil. Tanpa pikir panjang kutekan tombol di samping foto yang muncul. Segera setelah dia mengkonfirmasi permintaan pertemanan yang aku kirim, aku akan memenuhi janji yang aku buat pada diriku sendiri tadi malam. Berterima kasih atas ketulusannya selama perjalanan kala itu. Sebuah bentuk ketulusan dariku di suatu pagi di bulan Oktober. Diluar kaca jendela nampak bulir-bulir air mulai berjatuhan. Gerimis pertamaku di Inggris.

Friday 16 December 2011

Home, Lelaki dan Perempuan


“Ini bukan mimpi kan?”
“Kalaupun mimpi, kita mimpi bareng.”

Seandainya tidak ada dia yang sekarang sedang duduk menikmati bola-bola daging yang dia sendok dari sebuah mangkuk putih di hadapannya, aku pasti sudah mencubit pipiku sendiri. Menariknya ke samping kanan dan kiri sebagai aksi pembuktian bahwa aku memang benar-benar tidak sedang bermimpi. Konyol memang, tapi disitulah sensasinya. Berada di tempat ini, duduk disampingnya, menatap matanya, menangkap suaranya, semua terasa terlalu sempurna. Mimpi yang menjadi nyata.

Mendadak aku merasa hanya ada aku dan dia. Kenyataan  bahwa kami sedang membaur di sudut kota paling ramai pun tidak mampu menenangkan hatiku. Aku gelisah. Berdua dengannya sungguh merupakan suatu keadaan yang tidak aku persiapkan.  Harapan untuk berada di suatu dimensi ruang dan waktu yang sama dengannya bahkan sudah lama aku tepis. Tapi lihatlah kami saat ini, berdampingan layaknya dua sejoli. Bumi pun berubah sepi di mataku, karena aku hanya melihatnya. Kali ini, benar-benar dia.

“Kenapa mobil di Inggris setirnya di sebelah kanan ya? Padahal di negara Eropa yang lain setirnya ada di kiri, sama seperti Amerika. Kenapa Inggris justru seperti Indonesia?” Tanyaku di tengah-tengah perbincangan kami.

“Salah. Seharusnya pertanyaannya adalah mengapa Indonesia yang bekas jajahan Belanda justru meniru Inggris, memakai mobil dengan setir di sebelah kanan?” Respon kilatnya.

“Eh, iya. Kenapa ya?” Tanyaku dengan tidak bisa menyembunyikan rasa malu akan ketololanku.

Begitulah memang kalau sedang bersama dia. Aku jadi tolol dadakan. Layaknya anak SD berhadapan dengan mahasiswa. Otakku ini mengalami suatu kemunduran drastis tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Atau mungkin ini semua karena dia yang terlalu memukau. Sepertinya apa yang ada di kepalanya itu sudah jauh dari hal-hal yang biasa. Aku selalu terpana dibuatnya. Dia tidak berubah. Sejak awal pertemuan kami satu tahun yang lalu, dia tetap saja mampu membuatku gagu dan gagap. Namun aku menikmatinya. Bagiku, tidak ada yang lebih menghibur selain menjadi pihak yang memasang telinga lebar-lebar dan mengandangkan semua kalimat yang meluncur dari lisannya.

“Would you excuse me. I need to call a friend.” Ujarku sembari mengeluarkan sebuah ponsel dari tas coklat tuaku.

“Iya, silahkan.” Jawabnya ringan.

Kucari nama temanku di daftar kontak dan menekan tombol call. Tidak lama aku mendengar bunyi tut panjang, pertanda sambungan sedang dilakukan. Didepanku si dia nampak sedang merogoh saku baju dan mengambil BlackBerry-nya. Mungkin dia tidak mau sekedar bengong saat menungguku menelpon, tebakku. Sejenak kutangkap raut wajahnya saat dia menatap layar BlackBerry tersebut, tepat sebelum dia melontarkan pertanyaan retoris yang dengan telak menghancurkan image yang sedang mati-matian aku pertahankan sejak awal perjumpaan kami tadi,

“Lho, gimana sih Bu?”

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memahami wacana yang ada, atau dengan kata lain menyadari kebodohan yang baru saja aku perbuat. Benar-benar tanpa disengaja. Ternyata, aku salah menekan tombol. Aku justru menghubungi nomornya, bukan teman yang tadi aku maksud. Rasa malu tidak sanggup aku hindari. Kubungkukkan badan ke arah meja demi menutupi wajahku yang rasa-rasanya tidak sanggup menanggungnya. No, I did not play dumb. Buatku, acting stupid in front of boys is never cute, at all. Tapi sekali lagi fakta berbicara dengan bahasa yang berbeda. Saat ini aku justru tampak seperti perempuan yang sedang memainkan trik tersebut.

Hati memang tidak pernah bisa diajak berkompromi. Dia bicara dalam bahasa telepati tingkat tinggi. Mengirimkan sinyalnya ke otak dan secara sepihak mementalkan semua logika. Begitu juga ada hal-hal yang selalu menjadi pengecualian. Hal yang tidak kau harapkan tapi justru muncul dengan mengejutkan. Hal yang berada di luar kendalimu. Tidak seirama dengan logika, tapi cenderung senada dengan hati. Namun pada akhirnya, tetap dengan logikalah kau menerimanya. Dan hal ini tidak pernah membutuhkan terjemahan ataupun penjabaran.

Kini aku percaya tidak semua perlu diungkapkan atau dijawab dengan aksara. Sometimes you just need to simply feel and enjoy it. Then let it fill you in.

Welcome home, Love.

Tuesday 13 December 2011

Pertemuan, Lelaki dan Perempuan




“To me you are a form of art which I never get tired of admiring.”


Kuamati setiap makhluk yang berlalu lalang di hadapanku, mereka semua berpasangan. Mungkin hanya aku seorang yang sedang duduk sendirian berteman sebuah buku baru yang ceritanya ternyata tidak semenarik cover-nya. After all, pepatah don’t judge a book by its cover memang seratus persen benar.

Kusapukan pandangan dari satu sudut ke sudut yang lain, tempat ini memang sangat ramai. Mungkin karena ini hari Minggu. Hari dimana semua anggota keluarga berkumpul. Hari yang paling pas untuk menghabiskan waktu dengan para perantau yang pulang kampung.

Bosan dengan kemonotonan yang terjadi, kubalik halaman buku yang aku bawa dan segera melakukan fast reading. Buku seperti ini membuatku merasa seperti gadis tujuh belas tahunan. Sungguh kontras dengan kenyataan bahwa hari ini aku genap berumur dua puluh tujuh tahun lebih satu hari. Rasanya aneh setiap kali mengingat bahwa sudah sepuluh tahun sejak aku meninggalkan sekolah menengah atas. How time flies!

Tiba-tiba ingatan membawaku kembali pada kejadian tadi malam. Sebuah percakapan melalui Short Message Service antara aku dan lelaki itu. Seketika rasa gugup menghampiri. Jantung yang selalu berdetak pun mengejutkanku dengan keagresifannya yang tiba-tiba. Tidak bisa dipungkiri, dia memang alat pacu jantungku yang paling mutakhir.

Nada dering text message mengagetkanku. Membuyarkan semua lamunan yang sedang kususun. Sebuah pesan singkat aku terima, bunyinya:

“Aku sedang memijak tanah dimana kamu bilang akan menungguku, Bu.”

Kuambil pembatas buku yang tergeletak nyaman di atas pangkuan, meletakkannya di halaman buku yang sedang terbuka, kemudian menutupnya. Aku pun berdiri dan bergegas menuju tanah perjanjian yang dimaksud. Dari kejauhan aku sudah melihat sosoknya. Meskipun dari balik helm yang sedang dia pakai, aku pun masih bisa melihat sorot matanya yang selalu aku rindukan itu.

“Tunggu disini. Aku parkirkan motor dulu.” Ujar lelaki itu saat aku mendekat, sebelum akhirnya menghidupkan motornya kembali.

Dari tempat aku berdiri, aku amati semua gerakannya. Bagaimana dia memutar motor memasuki lahan parkir. Bagaimana dia melepas helm yang menutupi kepalanya. Saat dia melepas jaket yang menyembunyikan T-Shirt merah menyalanya. Saat dia melenggang meninggalkan petugas parkir dan menyeberangi jalan. Juga sekarang, saat dia sedang berjalan ke arahku. Merangkul jarak dan waktu yang selama ini membekukan kisah seorang lelaki dan perempuan.

Pertemuan yang lama tertunda. Yang lama menjadi penghuni daftar impianku. Dan saat ini semuanya terasa begitu sempurna. Pas tanpa ada yang dipaksakan. When it all fits into place, you just know!

Monday 12 December 2011

SMS, Lelaki dan Perempuan




“You are this bad habit which I would love to break, but just can't help carrying on doing.”


“Selamat Ulang Tahun, Bu. Momen ini biasanya sangat tepat dijadikan sebagai alat pencetak pribadi oportunis instan. Dan produk sampingannya yaitu sepiring makanan gratis dari warung pinggir jalan, atau kalau sedang beruntung dari cafĂ© di area yang jauh dari semrawutnya kota kita.”

Bibirku secara otomatis tertarik ke atas di kedua ujungnya waktu aku eja nama si pingirim pesan teks tersebut. Dia yang baru melihat susunan huruf pembentuk namanya saja sudah mampu membuat jantungku melompat-lompat.

Ibu jari tangan kananku membutuhkan tidak lebih dari satu menit untuk menemukan huruf-huruf pada QWERTY keypad ponsel yang sedari tadi aku pegang. Huruf-huruf tersebut kemudian membentuk sebuah balasan singkat namun ber-discourse sangat panjang.

“Pulanglah ke kota kita, meja kursi di warung tersebut merindukanmu.”

“Rasa rindunya sudah dan masih aku bayar, Bu.” Pesan balasan yang aku terima.

Setengah tidak percaya, aku ketik sebuah kata dan mengakhirinya dengan tanda tanya, kemudian mengirimnya ke nomor yang sama, “Sungguh?”

“Maka sebuah bukti akan menjawab keraguan yang ada. Datang dan buktikanlah.”

“Dan mungkin sebuah hadiah ulang tahun akan membuatnya semakin nyata.”

“Senyumku.” Singkat dan memikat, bunyi pesan masuk kali ini.

“That’s more than enough.”

“Begitu saja?”

Sejenak aku mencoba menerka makna dibalik pertanyaan singkat itu sebelum akhirnya aku ketik,

“Mari kita ciptakan satu lagi pribadi oportunis kalau begitu. Besok siang?”
Pesan terbaru penghuni sentbox.

“Alangkah nikmatnya seandainya bisa mengecap makanan warung tersebut malam ini. Tapi... baiklah besok juga tidak apa-apa kalau memang kamu memaksa.”

Isi incoming message terakhir ini sukses menggoda tawaku yang seketika meledak. Segera aku mainkan ibu jari,

“Not available tonight. Tomorrow is. 1 o’clock?”

“Hurrayyyyyy” Pesan balasan yang aku terima lima detik kemudian.

“HATIKU BERSORAK LEBIH KENCANG.” Jawaban yang hanya bisa aku ungkapkan melalui layanan pesan singkat.

Great.” Penutup percakapan dua ibu jari seorang lelaki dan perempuan pada 10 Desember 2011 jam 07:18:15 malam.

Digerakkan oleh rindu. Dibatasi oleh gengsi. Disamarkan dengan canda. Dibuktikan dengan getaran.