Friday 16 December 2011

Home, Lelaki dan Perempuan


“Ini bukan mimpi kan?”
“Kalaupun mimpi, kita mimpi bareng.”

Seandainya tidak ada dia yang sekarang sedang duduk menikmati bola-bola daging yang dia sendok dari sebuah mangkuk putih di hadapannya, aku pasti sudah mencubit pipiku sendiri. Menariknya ke samping kanan dan kiri sebagai aksi pembuktian bahwa aku memang benar-benar tidak sedang bermimpi. Konyol memang, tapi disitulah sensasinya. Berada di tempat ini, duduk disampingnya, menatap matanya, menangkap suaranya, semua terasa terlalu sempurna. Mimpi yang menjadi nyata.

Mendadak aku merasa hanya ada aku dan dia. Kenyataan  bahwa kami sedang membaur di sudut kota paling ramai pun tidak mampu menenangkan hatiku. Aku gelisah. Berdua dengannya sungguh merupakan suatu keadaan yang tidak aku persiapkan.  Harapan untuk berada di suatu dimensi ruang dan waktu yang sama dengannya bahkan sudah lama aku tepis. Tapi lihatlah kami saat ini, berdampingan layaknya dua sejoli. Bumi pun berubah sepi di mataku, karena aku hanya melihatnya. Kali ini, benar-benar dia.

“Kenapa mobil di Inggris setirnya di sebelah kanan ya? Padahal di negara Eropa yang lain setirnya ada di kiri, sama seperti Amerika. Kenapa Inggris justru seperti Indonesia?” Tanyaku di tengah-tengah perbincangan kami.

“Salah. Seharusnya pertanyaannya adalah mengapa Indonesia yang bekas jajahan Belanda justru meniru Inggris, memakai mobil dengan setir di sebelah kanan?” Respon kilatnya.

“Eh, iya. Kenapa ya?” Tanyaku dengan tidak bisa menyembunyikan rasa malu akan ketololanku.

Begitulah memang kalau sedang bersama dia. Aku jadi tolol dadakan. Layaknya anak SD berhadapan dengan mahasiswa. Otakku ini mengalami suatu kemunduran drastis tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Atau mungkin ini semua karena dia yang terlalu memukau. Sepertinya apa yang ada di kepalanya itu sudah jauh dari hal-hal yang biasa. Aku selalu terpana dibuatnya. Dia tidak berubah. Sejak awal pertemuan kami satu tahun yang lalu, dia tetap saja mampu membuatku gagu dan gagap. Namun aku menikmatinya. Bagiku, tidak ada yang lebih menghibur selain menjadi pihak yang memasang telinga lebar-lebar dan mengandangkan semua kalimat yang meluncur dari lisannya.

“Would you excuse me. I need to call a friend.” Ujarku sembari mengeluarkan sebuah ponsel dari tas coklat tuaku.

“Iya, silahkan.” Jawabnya ringan.

Kucari nama temanku di daftar kontak dan menekan tombol call. Tidak lama aku mendengar bunyi tut panjang, pertanda sambungan sedang dilakukan. Didepanku si dia nampak sedang merogoh saku baju dan mengambil BlackBerry-nya. Mungkin dia tidak mau sekedar bengong saat menungguku menelpon, tebakku. Sejenak kutangkap raut wajahnya saat dia menatap layar BlackBerry tersebut, tepat sebelum dia melontarkan pertanyaan retoris yang dengan telak menghancurkan image yang sedang mati-matian aku pertahankan sejak awal perjumpaan kami tadi,

“Lho, gimana sih Bu?”

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memahami wacana yang ada, atau dengan kata lain menyadari kebodohan yang baru saja aku perbuat. Benar-benar tanpa disengaja. Ternyata, aku salah menekan tombol. Aku justru menghubungi nomornya, bukan teman yang tadi aku maksud. Rasa malu tidak sanggup aku hindari. Kubungkukkan badan ke arah meja demi menutupi wajahku yang rasa-rasanya tidak sanggup menanggungnya. No, I did not play dumb. Buatku, acting stupid in front of boys is never cute, at all. Tapi sekali lagi fakta berbicara dengan bahasa yang berbeda. Saat ini aku justru tampak seperti perempuan yang sedang memainkan trik tersebut.

Hati memang tidak pernah bisa diajak berkompromi. Dia bicara dalam bahasa telepati tingkat tinggi. Mengirimkan sinyalnya ke otak dan secara sepihak mementalkan semua logika. Begitu juga ada hal-hal yang selalu menjadi pengecualian. Hal yang tidak kau harapkan tapi justru muncul dengan mengejutkan. Hal yang berada di luar kendalimu. Tidak seirama dengan logika, tapi cenderung senada dengan hati. Namun pada akhirnya, tetap dengan logikalah kau menerimanya. Dan hal ini tidak pernah membutuhkan terjemahan ataupun penjabaran.

Kini aku percaya tidak semua perlu diungkapkan atau dijawab dengan aksara. Sometimes you just need to simply feel and enjoy it. Then let it fill you in.

Welcome home, Love.

No comments:

Post a Comment

Friday 16 December 2011

Home, Lelaki dan Perempuan


“Ini bukan mimpi kan?”
“Kalaupun mimpi, kita mimpi bareng.”

Seandainya tidak ada dia yang sekarang sedang duduk menikmati bola-bola daging yang dia sendok dari sebuah mangkuk putih di hadapannya, aku pasti sudah mencubit pipiku sendiri. Menariknya ke samping kanan dan kiri sebagai aksi pembuktian bahwa aku memang benar-benar tidak sedang bermimpi. Konyol memang, tapi disitulah sensasinya. Berada di tempat ini, duduk disampingnya, menatap matanya, menangkap suaranya, semua terasa terlalu sempurna. Mimpi yang menjadi nyata.

Mendadak aku merasa hanya ada aku dan dia. Kenyataan  bahwa kami sedang membaur di sudut kota paling ramai pun tidak mampu menenangkan hatiku. Aku gelisah. Berdua dengannya sungguh merupakan suatu keadaan yang tidak aku persiapkan.  Harapan untuk berada di suatu dimensi ruang dan waktu yang sama dengannya bahkan sudah lama aku tepis. Tapi lihatlah kami saat ini, berdampingan layaknya dua sejoli. Bumi pun berubah sepi di mataku, karena aku hanya melihatnya. Kali ini, benar-benar dia.

“Kenapa mobil di Inggris setirnya di sebelah kanan ya? Padahal di negara Eropa yang lain setirnya ada di kiri, sama seperti Amerika. Kenapa Inggris justru seperti Indonesia?” Tanyaku di tengah-tengah perbincangan kami.

“Salah. Seharusnya pertanyaannya adalah mengapa Indonesia yang bekas jajahan Belanda justru meniru Inggris, memakai mobil dengan setir di sebelah kanan?” Respon kilatnya.

“Eh, iya. Kenapa ya?” Tanyaku dengan tidak bisa menyembunyikan rasa malu akan ketololanku.

Begitulah memang kalau sedang bersama dia. Aku jadi tolol dadakan. Layaknya anak SD berhadapan dengan mahasiswa. Otakku ini mengalami suatu kemunduran drastis tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Atau mungkin ini semua karena dia yang terlalu memukau. Sepertinya apa yang ada di kepalanya itu sudah jauh dari hal-hal yang biasa. Aku selalu terpana dibuatnya. Dia tidak berubah. Sejak awal pertemuan kami satu tahun yang lalu, dia tetap saja mampu membuatku gagu dan gagap. Namun aku menikmatinya. Bagiku, tidak ada yang lebih menghibur selain menjadi pihak yang memasang telinga lebar-lebar dan mengandangkan semua kalimat yang meluncur dari lisannya.

“Would you excuse me. I need to call a friend.” Ujarku sembari mengeluarkan sebuah ponsel dari tas coklat tuaku.

“Iya, silahkan.” Jawabnya ringan.

Kucari nama temanku di daftar kontak dan menekan tombol call. Tidak lama aku mendengar bunyi tut panjang, pertanda sambungan sedang dilakukan. Didepanku si dia nampak sedang merogoh saku baju dan mengambil BlackBerry-nya. Mungkin dia tidak mau sekedar bengong saat menungguku menelpon, tebakku. Sejenak kutangkap raut wajahnya saat dia menatap layar BlackBerry tersebut, tepat sebelum dia melontarkan pertanyaan retoris yang dengan telak menghancurkan image yang sedang mati-matian aku pertahankan sejak awal perjumpaan kami tadi,

“Lho, gimana sih Bu?”

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memahami wacana yang ada, atau dengan kata lain menyadari kebodohan yang baru saja aku perbuat. Benar-benar tanpa disengaja. Ternyata, aku salah menekan tombol. Aku justru menghubungi nomornya, bukan teman yang tadi aku maksud. Rasa malu tidak sanggup aku hindari. Kubungkukkan badan ke arah meja demi menutupi wajahku yang rasa-rasanya tidak sanggup menanggungnya. No, I did not play dumb. Buatku, acting stupid in front of boys is never cute, at all. Tapi sekali lagi fakta berbicara dengan bahasa yang berbeda. Saat ini aku justru tampak seperti perempuan yang sedang memainkan trik tersebut.

Hati memang tidak pernah bisa diajak berkompromi. Dia bicara dalam bahasa telepati tingkat tinggi. Mengirimkan sinyalnya ke otak dan secara sepihak mementalkan semua logika. Begitu juga ada hal-hal yang selalu menjadi pengecualian. Hal yang tidak kau harapkan tapi justru muncul dengan mengejutkan. Hal yang berada di luar kendalimu. Tidak seirama dengan logika, tapi cenderung senada dengan hati. Namun pada akhirnya, tetap dengan logikalah kau menerimanya. Dan hal ini tidak pernah membutuhkan terjemahan ataupun penjabaran.

Kini aku percaya tidak semua perlu diungkapkan atau dijawab dengan aksara. Sometimes you just need to simply feel and enjoy it. Then let it fill you in.

Welcome home, Love.

No comments:

Post a Comment