Monday 19 December 2011

A Morning with Sincerity- England


Pagi di Inggris kala itu benar-benar keterlaluan dinginnya, terutama bagi perempuan berkulit tropis seperti aku. Mungkin sekitar lima atau enam derajat celcius. Langit juga tampak tidak sedang berbahagia. Gelap. Sedangkan awan sepertinya sudah siap memuntahkan buliran-buliran air yang dikandungnya ke kota Bury St. Edmunds. 


Hari itu, 8 Oktober 2011, untuk pertama kalinya aku memandangi langit pagi di negeri empat musim dari balik jendela kaca kamar yang akan aku tinggali selama dua minggu ke depan. Itulah pagi pertamaku di Inggris sejak kedatanganku tujuh jam sebelumnya.

***

Masih jelas di ingatan begitu panjangnya antrian di Stansted Immigration Control tadi malam. Kebanyakan dari para pengantri itu berwajah khas kaukasia dan oriental. Padahal saat itu jelas kami sedang berada di bagian all other passport, bagian kontrol imigrasi untuk selain mereka para pemegang passport Uni Eropa.

Hanya ada beberapa orang  berwajah melayu yang tertangkap mataku. Salah satunya seorang bapak berumur 60 an yang kini sedang menunjukkan passport nya ke seorang petugas di salah satu booth di depanku. Kami sempat mengobrol selama di dalam pesawat yang membawa kami dari Kuala Lumpur ke Stansted. Kursi kami memang hanya terpisahkan oleh satu orang penumpang waktu itu, sehingga memungkinkan kami untuk sekedar bertegur sapa, mengingat kami merasa ada kemiripan rumpun dibanding dengan kebanyakan penumpang lain. Rupanya si bapak berwarga kenegaraan Malaysia. Dia hendak mengunjungi putrinya yang berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu sudut di kota London.

Iseng aku menolah kebelakang. Ada dua remaja putra dan putri sedang saling berpegangan tangan. Dari wajahnya aku tebak mereka berkewarganegaraan Filipina atau Thailand. Sempat terbesit rasa iri melihat mereka yang tampak begitu mesra. Mau tidak mau aku membayangkan betapa senangnya seandainya orang yang kita kasihi ada bersama kita di perjalanan yang melelahkan ini. Namun cepat-cepat aku tepis perasaan itu. Karena dengan ataupun tanpa seorang kekasih, kenyataannya aku sudah berhasil mendarat di Inggris. Negeri yang selama ini aku impikan.

Tidak jauh di belakang dua remaja yang sedang kasmaran itu aku melihat seorang pria muda dan seorang wanita yang dari umurnya cukup untuk dipanggil ‘ibu’ oleh pria tersebut. Aku sedikit kaget. Bagiku, mereka berdua sangat Indonesia. Dari wajah dan postur tubuh, cukup bagiku untuk menjadi sangat yakin bahwa mereka benar-benar orang Indonesia. Tapi kesimpulan ini terbantahkan setelah aku melihat warna passport yang mereka pegang. Bukan hijau seperti punyaku. Warnanya merah. 

Kuedarkan pandangan sekali lagi ke seluruh penjuru salah satu bandar udara terbesar di Inggris itu. Sangat rapi. Itulah kesan yang aku tangkap. Semua petunjuk ditulis dengan jelas dan petugas pun dengan sangat sigap menindak siapapun yang melanggar peraturan. Ada seorang remaja berwajah oriental yang sudah merasakan keganasan para petugas bandar udara tersebut. Entah apa yang dia lakukan sehingga membuat si petugas berteriak akan mengeluarkannya dari antrian kalau dia tidak bisa mematuhi peraturan. Dalam hati diam-diam aku bersyukur. Seandainya itu aku, tidak bisa aku bayangkan betapa malunya menjadi tontonan orang dari berbagai penjuru dunia kala itu.

Tiba-tiba seorang petugas wanita yang sedari tadi menjaga garis antrian mempersilahkanku menuju salah satu booth yang kosong. Bergegas aku menuju booth yang dimaksud dan menunjukkan passport hijauku pada seorang wanita di dalamnya.

“Hello.” Sapaku.

“Hello. Where are you going?” Tanyanya ramah.

“I’m going to Bury St. Edmunds.”

“How long will you be staying there?”

“Two weeks. I’m leaving England on October the 22nd.”

Wanita tersebut terlihat membalik salah satu halaman passportku. Mungkin memeriksa UK visa yang tercantum di dalamnya.

“So, what are you doing in Bury?” tanyanya setelah beberapa saat.

“I’m visiting a link school called Hardwick Middle School. I guess I’ll be teaching a few lesson.”

“Is it like an exchange program?”

“Yes, exactly.”

“So has the English teacher come to Indonesia?”

“Yes, they came last August. There were two of them”

“Great, then. Enjoy your stay.” Ujar  petugas tersebut sembari menyerahkan kembali padaku passport yang sudah di bubuhi stempel.

***

Di antrian bagasi selain sibuk mencari travelling bag warna hitam yang aku pinjam dari bapak, mataku juga dengan tekun mencoba menemukan keberadaan seseorang. Dia adalah pria muda asal Inggris yang kursinya selama di penerbangan D72008 tepat berada diantara aku dan si bapak Malaysia tadi. Dialah teman perjalanan yang menyelamatkanku dari kebosanan yang besar kemungkinannya akan menyerang di satu waktu diantara empat belas jam penerbangan dari Kuala Lumpur sampai akhirnya mendarat di Stanted Airport ini. Jack, namanya.

Pertemuanku dengan Jack bisa dibilang sangat terencana. Mungkin Tuhan berbelas kasihan padaku. Dia mengatur perjalanan ini dengan sempurna. Jack termasuk di dalamnya. Aku ingat saat pramugari-pramugari cantik itu memeriksa boarding pass yang aku genggam. Ada seseorang tepat dibelakangku yang juga sedang menunggu seorang pramugari lain memeriksa boarding pass nya.
Kemudian aku berjalan menaiki anak tangga menuju ke badan pesawat dan mencari posisi kursi seperti yang tercantum di tiket atas namaku itu. Tidak lama aku temukan nomor yang dimaksud. Dalam hati aku bersorak. Aku mendapat posisi tempat duduk yang selalu aku favoritkan, entah di mobil, bus, kereta ataupun pesawat seperti sekarang. Di dekat jendela. Tiba-tiba pemuda yang sedari tadi tampak seperti mengekorku mengucapkan sesuatu dengan nada sangat bersahabat.

“Oh, I am here as well.”

Komentarnya aku respond hanya dengan senyum tipis. Yang kemudian diikuti dengan rasa tidak enak dan sedikit bersalah. Mengapa aku tidak melakukan sesuatu yang lebih ramah? Bukankah pemuda itu sudah menunjukkan ketertarikannya untuk bersosialisasi dengan aku yang jelas berbeda ras darinya. Akhirnya, berusaha menebus rasa bersalah aku memulai percakapan dengannya.

“How long do you think it will take to get to Stansted?”

Dan dari pertanyaan ringan itu lah aku berhasil menciptakan atmosfer perjalanan yang hangat antara aku dan pemuda berkulit putih pucat tersebut. Kami berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari pekerjaan, keluarga dan tempat asal masing-masing. Bahkan kami juga sempat menyinggung tentang bagaimana kami memandang hidup dan sebuah hubungan antara pria dan wanita. Aku anggap aku sedang beruntung. Aku sedang melakukan pemanasan dengan lidahku, mengingat selama dua minggu kedepan aku tidak akan lagi menggunakan bahasa ibu. Setidaknya, tidak dalam percakapan face to face

Di tengah perbincangan Jack mengatakan sesuatu yang masih aku kenang sampai sekarang,

“Dini, do you believe that you can tell when people are being sincere to you?”

“What do you mean?”

“I mean, I know exactly whether somebody is being sincere when they talk to me. I just feel it. My heart tells me. ”

“Do you think I’m being sincere to you right now then?” Godaku.

“Yes, exactly.” Jawabnya mantap.

***

Hampir sepuluh menit aku mencari, tapi tidak kunjung kutemukan sosok Jack. Akhirnya dengan berat hati aku putuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan area reclaim baggage tersebut. Ada sedikit rasa sedih terselip di dadaku. Aku benar-benar berharap bisa bertemu dengannya, sekedar mengucapkan selamat tinggal. Tapi sepertinya Tuhan memintaku untuk bersabar.

Kuikuti arus yang berbondong menuju pintu keluar. I was excited, ecstatic, and disappointed at the same time. Dan saat berjalan itulah akhirnya aku putuskan untuk tidak terlalu lama menyimpan rasa terima kasihku pada Jack. Aku akan mengucapkannya melalui sebuah jejaring sosial. Aku ingat dia menuliskan nama serta alamat emailnya di buku diari perjalananku. Iya, aku pasti menghubunginya. A stranger that turns into a very good friend during the journey. A stranger that claimed I was being sincere to him.

Darinyalah aku belajar bahwa ketulusan itu, memang, bisa dirasa dengan hati. Ketulusan akan bicara dengan bahasanya sendiri. And.. sincerity definitely has nothing to do with how long you have known somebody. Dia adalah sebuah variabel bebas yang tidak akan bisa menggantungkan diri pada ikatan yang namanya persaudaraan, persahabatan, ataupun sekedar kenalan. Seperti halnya Jack yang bahkan keberadaannya tidak pernah aku ketahui sebelum penerbangan ke Stansted kala itu. Namun dia sudah dengan tulus menjadi teman bicara, memberiku permen penyegar mulut saat kami sama-sama baru terbangun dari tidur, dan bahkan menemaniku berjalan menuju bagian kontrol imigrasi. Aku tahu dia tulus melakukan semuanya. Setidaknya itu yang dikatakan oleh hatiku. Karena memang yang namanya ketulusan hidup dan berkembang dengan sendirinya di dasar hati setiap individu.

***

Aku melangkahkan kaki keluar kamar. Berjinjit menuruni anak tangga. Hari itu pagi masih terlalu dini bagi tuan rumahku. Aku tidak mau menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. 

Aku menuju dapur yang kebetulan terletak di lantai satu. Kutuangkan orange juice ke dalam gelas, penuh. Rupanya aku kehausan. Kubuka laci-laci yang ada di dapur ala Eropa tersebut dan mencoba mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut, setidaknya sampai tiba waktu sarapan. Aku menemukan sekotak biskuit.  Pada malam sebelumnya, si tuan rumah sudah menunjukkan setiap sudut rumahnya padaku. Ternasuk mempersilahkan aku memakan segala sesuatu yang ada di lemari-lemari dapur mungilnya. Jadilah dengan hanya sedikit perasaan sungkan, aku lahap biskuit tersebut.

Kuayunkan kaki menuju ruang seberang dimana televisi berada. Meski begitu aku tidak sedang merasa di mood  yang baik untuk menonton acara berita. Kuputuskan untuk menghidupkan laptop dan log in ke salah satu jejaring sosial. Kucari nama Jack di search engine-nya dan berhasil. Tanpa pikir panjang kutekan tombol di samping foto yang muncul. Segera setelah dia mengkonfirmasi permintaan pertemanan yang aku kirim, aku akan memenuhi janji yang aku buat pada diriku sendiri tadi malam. Berterima kasih atas ketulusannya selama perjalanan kala itu. Sebuah bentuk ketulusan dariku di suatu pagi di bulan Oktober. Diluar kaca jendela nampak bulir-bulir air mulai berjatuhan. Gerimis pertamaku di Inggris.

No comments:

Post a Comment

Monday 19 December 2011

A Morning with Sincerity- England


Pagi di Inggris kala itu benar-benar keterlaluan dinginnya, terutama bagi perempuan berkulit tropis seperti aku. Mungkin sekitar lima atau enam derajat celcius. Langit juga tampak tidak sedang berbahagia. Gelap. Sedangkan awan sepertinya sudah siap memuntahkan buliran-buliran air yang dikandungnya ke kota Bury St. Edmunds. 


Hari itu, 8 Oktober 2011, untuk pertama kalinya aku memandangi langit pagi di negeri empat musim dari balik jendela kaca kamar yang akan aku tinggali selama dua minggu ke depan. Itulah pagi pertamaku di Inggris sejak kedatanganku tujuh jam sebelumnya.

***

Masih jelas di ingatan begitu panjangnya antrian di Stansted Immigration Control tadi malam. Kebanyakan dari para pengantri itu berwajah khas kaukasia dan oriental. Padahal saat itu jelas kami sedang berada di bagian all other passport, bagian kontrol imigrasi untuk selain mereka para pemegang passport Uni Eropa.

Hanya ada beberapa orang  berwajah melayu yang tertangkap mataku. Salah satunya seorang bapak berumur 60 an yang kini sedang menunjukkan passport nya ke seorang petugas di salah satu booth di depanku. Kami sempat mengobrol selama di dalam pesawat yang membawa kami dari Kuala Lumpur ke Stansted. Kursi kami memang hanya terpisahkan oleh satu orang penumpang waktu itu, sehingga memungkinkan kami untuk sekedar bertegur sapa, mengingat kami merasa ada kemiripan rumpun dibanding dengan kebanyakan penumpang lain. Rupanya si bapak berwarga kenegaraan Malaysia. Dia hendak mengunjungi putrinya yang berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu sudut di kota London.

Iseng aku menolah kebelakang. Ada dua remaja putra dan putri sedang saling berpegangan tangan. Dari wajahnya aku tebak mereka berkewarganegaraan Filipina atau Thailand. Sempat terbesit rasa iri melihat mereka yang tampak begitu mesra. Mau tidak mau aku membayangkan betapa senangnya seandainya orang yang kita kasihi ada bersama kita di perjalanan yang melelahkan ini. Namun cepat-cepat aku tepis perasaan itu. Karena dengan ataupun tanpa seorang kekasih, kenyataannya aku sudah berhasil mendarat di Inggris. Negeri yang selama ini aku impikan.

Tidak jauh di belakang dua remaja yang sedang kasmaran itu aku melihat seorang pria muda dan seorang wanita yang dari umurnya cukup untuk dipanggil ‘ibu’ oleh pria tersebut. Aku sedikit kaget. Bagiku, mereka berdua sangat Indonesia. Dari wajah dan postur tubuh, cukup bagiku untuk menjadi sangat yakin bahwa mereka benar-benar orang Indonesia. Tapi kesimpulan ini terbantahkan setelah aku melihat warna passport yang mereka pegang. Bukan hijau seperti punyaku. Warnanya merah. 

Kuedarkan pandangan sekali lagi ke seluruh penjuru salah satu bandar udara terbesar di Inggris itu. Sangat rapi. Itulah kesan yang aku tangkap. Semua petunjuk ditulis dengan jelas dan petugas pun dengan sangat sigap menindak siapapun yang melanggar peraturan. Ada seorang remaja berwajah oriental yang sudah merasakan keganasan para petugas bandar udara tersebut. Entah apa yang dia lakukan sehingga membuat si petugas berteriak akan mengeluarkannya dari antrian kalau dia tidak bisa mematuhi peraturan. Dalam hati diam-diam aku bersyukur. Seandainya itu aku, tidak bisa aku bayangkan betapa malunya menjadi tontonan orang dari berbagai penjuru dunia kala itu.

Tiba-tiba seorang petugas wanita yang sedari tadi menjaga garis antrian mempersilahkanku menuju salah satu booth yang kosong. Bergegas aku menuju booth yang dimaksud dan menunjukkan passport hijauku pada seorang wanita di dalamnya.

“Hello.” Sapaku.

“Hello. Where are you going?” Tanyanya ramah.

“I’m going to Bury St. Edmunds.”

“How long will you be staying there?”

“Two weeks. I’m leaving England on October the 22nd.”

Wanita tersebut terlihat membalik salah satu halaman passportku. Mungkin memeriksa UK visa yang tercantum di dalamnya.

“So, what are you doing in Bury?” tanyanya setelah beberapa saat.

“I’m visiting a link school called Hardwick Middle School. I guess I’ll be teaching a few lesson.”

“Is it like an exchange program?”

“Yes, exactly.”

“So has the English teacher come to Indonesia?”

“Yes, they came last August. There were two of them”

“Great, then. Enjoy your stay.” Ujar  petugas tersebut sembari menyerahkan kembali padaku passport yang sudah di bubuhi stempel.

***

Di antrian bagasi selain sibuk mencari travelling bag warna hitam yang aku pinjam dari bapak, mataku juga dengan tekun mencoba menemukan keberadaan seseorang. Dia adalah pria muda asal Inggris yang kursinya selama di penerbangan D72008 tepat berada diantara aku dan si bapak Malaysia tadi. Dialah teman perjalanan yang menyelamatkanku dari kebosanan yang besar kemungkinannya akan menyerang di satu waktu diantara empat belas jam penerbangan dari Kuala Lumpur sampai akhirnya mendarat di Stanted Airport ini. Jack, namanya.

Pertemuanku dengan Jack bisa dibilang sangat terencana. Mungkin Tuhan berbelas kasihan padaku. Dia mengatur perjalanan ini dengan sempurna. Jack termasuk di dalamnya. Aku ingat saat pramugari-pramugari cantik itu memeriksa boarding pass yang aku genggam. Ada seseorang tepat dibelakangku yang juga sedang menunggu seorang pramugari lain memeriksa boarding pass nya.
Kemudian aku berjalan menaiki anak tangga menuju ke badan pesawat dan mencari posisi kursi seperti yang tercantum di tiket atas namaku itu. Tidak lama aku temukan nomor yang dimaksud. Dalam hati aku bersorak. Aku mendapat posisi tempat duduk yang selalu aku favoritkan, entah di mobil, bus, kereta ataupun pesawat seperti sekarang. Di dekat jendela. Tiba-tiba pemuda yang sedari tadi tampak seperti mengekorku mengucapkan sesuatu dengan nada sangat bersahabat.

“Oh, I am here as well.”

Komentarnya aku respond hanya dengan senyum tipis. Yang kemudian diikuti dengan rasa tidak enak dan sedikit bersalah. Mengapa aku tidak melakukan sesuatu yang lebih ramah? Bukankah pemuda itu sudah menunjukkan ketertarikannya untuk bersosialisasi dengan aku yang jelas berbeda ras darinya. Akhirnya, berusaha menebus rasa bersalah aku memulai percakapan dengannya.

“How long do you think it will take to get to Stansted?”

Dan dari pertanyaan ringan itu lah aku berhasil menciptakan atmosfer perjalanan yang hangat antara aku dan pemuda berkulit putih pucat tersebut. Kami berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari pekerjaan, keluarga dan tempat asal masing-masing. Bahkan kami juga sempat menyinggung tentang bagaimana kami memandang hidup dan sebuah hubungan antara pria dan wanita. Aku anggap aku sedang beruntung. Aku sedang melakukan pemanasan dengan lidahku, mengingat selama dua minggu kedepan aku tidak akan lagi menggunakan bahasa ibu. Setidaknya, tidak dalam percakapan face to face

Di tengah perbincangan Jack mengatakan sesuatu yang masih aku kenang sampai sekarang,

“Dini, do you believe that you can tell when people are being sincere to you?”

“What do you mean?”

“I mean, I know exactly whether somebody is being sincere when they talk to me. I just feel it. My heart tells me. ”

“Do you think I’m being sincere to you right now then?” Godaku.

“Yes, exactly.” Jawabnya mantap.

***

Hampir sepuluh menit aku mencari, tapi tidak kunjung kutemukan sosok Jack. Akhirnya dengan berat hati aku putuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan area reclaim baggage tersebut. Ada sedikit rasa sedih terselip di dadaku. Aku benar-benar berharap bisa bertemu dengannya, sekedar mengucapkan selamat tinggal. Tapi sepertinya Tuhan memintaku untuk bersabar.

Kuikuti arus yang berbondong menuju pintu keluar. I was excited, ecstatic, and disappointed at the same time. Dan saat berjalan itulah akhirnya aku putuskan untuk tidak terlalu lama menyimpan rasa terima kasihku pada Jack. Aku akan mengucapkannya melalui sebuah jejaring sosial. Aku ingat dia menuliskan nama serta alamat emailnya di buku diari perjalananku. Iya, aku pasti menghubunginya. A stranger that turns into a very good friend during the journey. A stranger that claimed I was being sincere to him.

Darinyalah aku belajar bahwa ketulusan itu, memang, bisa dirasa dengan hati. Ketulusan akan bicara dengan bahasanya sendiri. And.. sincerity definitely has nothing to do with how long you have known somebody. Dia adalah sebuah variabel bebas yang tidak akan bisa menggantungkan diri pada ikatan yang namanya persaudaraan, persahabatan, ataupun sekedar kenalan. Seperti halnya Jack yang bahkan keberadaannya tidak pernah aku ketahui sebelum penerbangan ke Stansted kala itu. Namun dia sudah dengan tulus menjadi teman bicara, memberiku permen penyegar mulut saat kami sama-sama baru terbangun dari tidur, dan bahkan menemaniku berjalan menuju bagian kontrol imigrasi. Aku tahu dia tulus melakukan semuanya. Setidaknya itu yang dikatakan oleh hatiku. Karena memang yang namanya ketulusan hidup dan berkembang dengan sendirinya di dasar hati setiap individu.

***

Aku melangkahkan kaki keluar kamar. Berjinjit menuruni anak tangga. Hari itu pagi masih terlalu dini bagi tuan rumahku. Aku tidak mau menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. 

Aku menuju dapur yang kebetulan terletak di lantai satu. Kutuangkan orange juice ke dalam gelas, penuh. Rupanya aku kehausan. Kubuka laci-laci yang ada di dapur ala Eropa tersebut dan mencoba mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut, setidaknya sampai tiba waktu sarapan. Aku menemukan sekotak biskuit.  Pada malam sebelumnya, si tuan rumah sudah menunjukkan setiap sudut rumahnya padaku. Ternasuk mempersilahkan aku memakan segala sesuatu yang ada di lemari-lemari dapur mungilnya. Jadilah dengan hanya sedikit perasaan sungkan, aku lahap biskuit tersebut.

Kuayunkan kaki menuju ruang seberang dimana televisi berada. Meski begitu aku tidak sedang merasa di mood  yang baik untuk menonton acara berita. Kuputuskan untuk menghidupkan laptop dan log in ke salah satu jejaring sosial. Kucari nama Jack di search engine-nya dan berhasil. Tanpa pikir panjang kutekan tombol di samping foto yang muncul. Segera setelah dia mengkonfirmasi permintaan pertemanan yang aku kirim, aku akan memenuhi janji yang aku buat pada diriku sendiri tadi malam. Berterima kasih atas ketulusannya selama perjalanan kala itu. Sebuah bentuk ketulusan dariku di suatu pagi di bulan Oktober. Diluar kaca jendela nampak bulir-bulir air mulai berjatuhan. Gerimis pertamaku di Inggris.

No comments:

Post a Comment