Thursday 19 May 2011

Tanpa Judul

Kulirik sekali lagi jam dinding yang tergantung tepat diatasku, jam 1 lebih 42 menit. Sialan! batinku. Bahkan ketika sudah jauh melewati tengah malam pun mataku belum juga bisa terpejam. Sekali lagi kuurutkan kejadian pagi ini yang secara tidak langsung telah menjadi sumber insomniaku kali ini. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari ketika tiba-tiba nada pesan singkat di telepon selularku berbunyi. Dengan perasaan kesal karena harus terbangun dari tidur panjang dan pulas, aku meraba-raba sekitar tempat tidur berusaha menemukan benda kecil berwarna merah itu. Tidak begitu lama baru aku teringat bahwa tadi malam aku meletakkannya tepat di bawah bantal dengan harapan bunyi yang keluar dari benda seharga 2 jutaan itu bisa teredam. Suatu hal yang terbukti sia-sia karena toh sekarang aku tetap terbangun karenanya. Segera kualihkan zona pencarian, tidak sia-sia, aku mendapati tanganku akhirnya memegang benda yang sedari tadi aku cari.

Tulisan 1 pesan diterima tertera di layar. Dengan sedikit enggan namun penasaran siapa yang sudah dengan konyolnya mengirim sms di pagi buta seperti ini, kutekan tombol baca. Sepersekian detik terasa jantungku berhenti berdetak, sel-sel di dalam tubuhku pun terasa lumpuh seketika, mataku hanya bisa terbelalak sedangkan mulutku menganga. Seandainya ada orang yang melihat ekspresiku saat itu, mungkin dia sudah beranggapan bahwa aku telah melihat sesosok makhluk halus atau sejenisnya. Segera setelah tersadar dari rasa shock, aku cari nama Kania di daftar kontak. Aku tidak peduli jika sahabat terbaikku sejak bertahun-tahun yang lalu itu akan menggantungku karena membangunkannya sepagi ini. Yang ada di pikiranku adalah aku harus segera menceritakan semua ini pada seseorang, kalau tidak mungkin aku akan menjadi gila.
***

‘Jadi sekarang dia ada di kota ini, di Surabaya?’ Tanya Kania dengan penekanan kalimat yang terkesan hiperbola pada kata terakhir. Aku mengangguk sebagai tanda pembenaran kalimatnya, entah itu merupakan sebuah kalimat pernyataan atau sekedar kalimat tanya. ‘Dan dia memintamu untuk menemuinya?’ Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk. Selama hampir seperempat jam, kami berdua sama-sama membisu, mematung di atas kursi masing-masing. Bahkan percakapan yang terjadi sesudahnya pun tidak lebih dari sekedar pengulangan kalimat-kalimat sebelumnya dengan sedikit penambahan atau pengurangan kata, ataupun perubahan struktur.

Semuanya memang sangat mengejutkan. Mengingatkanku pada kejadian di saat aku kecil dimana ayah secara tidak terduga membawa pulang bersamanya seekor anak kucing dan mengatakan pada seluruh anggota keluarga bahwa untuk selanjutnya makhluk kecil itu akan menjadi bagian hidup kami. Aku ingat dengan jelas saat itu ibuku, seorang yang sangat spontan, bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia hanya bisa terdiam dengan tatapan yang penuh dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin keadaannya sama persis dengan aku sekarang. Ada sejuta pertanyaan yang ingin aku lempar keluar tapi setiap kali aku ingin melontarkannya, setiap kali itu juga aku justru mendapati diriku menelan semua kata yang membentuk kalimat-kalimat tersebut.
‘Sebaiknya aku pulang sekarang.’ Ujarku akhirnya.
‘Jadi kau akan menemuinya?’
‘entahlah.’ Seiring dengan kata itu aku melangkahkan kaki menuju pintu pagar rumah Kania.
***

Lima menit menuju jam tiga, dan aku masih bermain dengan kelopak mataku. Sialan! Pria sialan! Tidak henti-henti aku mengutuk sosok itu. Sosok yang tiba-tiba hadir mengusikku setelah bertahun-tahun lamanya dia menghilang. Bagaikan hujan yang tiba-tiba datang ditengah teriknya matahari, yang dengan mudahnya mematahkan teori mengenai tanda-tanda datangnya hujan yang baru saja aku ajarkan pada murid-murid kelas 1 tadi pagi.
Bagiku, sosok itu sudah lama mati, terkubur oleh jutaan cerita yang kutulis selama 60 bulan kebelakang. Bahkan untuk mencari tanda-tanda eksistensinya pun terbilang hampir tidak mungkin, karena aku sudah melebur semuanya.
Sekarang, disaat aku semakin yakin bahwa dia tidak lebih dari tokoh imaginasi yang aku ciptakan di alam bawah sadarku, pesan singkat yang dia kirimkan dini hari kemarin seketika menamparku dengan kenyataan bahwa dia itu nyata. Senyata tulisan tangannya yang secara tiba-tiba aku ingat masih aku simpan di dalam kotak segi empat di salah satu rak lemariku.

Rasa mual menghampiriku. Seolah ada tangan yang mengaduk-aduk isi perutku dan berusaha menariknya keluar. Aku berusaha tetap waras. Pelan-pelan kubaca ulang isi pesan singkat itu, entah untuk keberapa kalinya, ‘Hai, apa kabar? Ini Bima. Sebulan kedepan aku ada di Surabaya. Bisa ketemu? Ada yang ingin aku bicarakan.’ Sepertinya Tuhan sedang mengajakku bercanda dengan menghadirkan kembali sosok Bima yang 24 jam yang lalu namanya mempunyai arti tidak lebih dari susunan 2 konsonan dan 2 huruf vokal itu. Oh Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Kudapati diriku mendesah, menghembuskan nafas panjang. Dan tepat di hembusan ketiga, tekadku bulat, kutekan tombol kirim.
***

Cuaca sedang bersahabat. Awan putih itu terlihat begitu cantik diantara birunya langit. Matahari tampak sedikit malu-malu untuk menumpahkan sinar dan teriknya ke bumi sehingga hawa sore ini pun tidak sepanas biasanya. Aku selalu menyukai cuaca seperti ini, mendung tapi tidak berarti hujan, persis seperti salah satu pepatah. Kuarahkan pandanganku ke salah satu bangunan diseberang jalan. Tampak lengang, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Mungkin karena ini memang salah satu restauran yang kurang populer di kalangan masyarakat yang sebagian besar bergaya hidup metropolitan ini.

Aku berjanji akan menemuinya disini, jam setengah 4 sore. Aku keluarkan HP dari kantung bajuku, jam 3 lebih 15 menit. Aku bukan tipe orang yang menyukai jam tangan sehingga setiap kali aku ingin mengecek waktu, aku terpaksa harus melihatnya di HP. Ada sedikit ragu, apakah sebaiknya aku batalkan semua kegilaan ini, tapi entah kekuatan dari mana yang justru akhirnya membuatku menjejakkan kaki ke tempat itu. Di sana, di salah satu kursi di pojok kanan restauran itu, aku melihatnya. Dia duduk membelakangi pintu dimana aku masuk.
Aku begitu mengenalnya, sehingga tidak butuh waktu lama bagiku untuk meyakini bahwa itu memang benar-benar dia.
Posturnya tetap sama, namun dia terlihat jauh lebih matang dari caranya berpakaian. Kami memang tidak muda lagi, sudah 5 tahun berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Kini kudapati diriku sedang mengumpulkan kekuatan dan nyali yang aku punya, menyambut apapun yang dia bawa dibalik sosoknya yang jangkung itu.
***

Kuamati kertas tebal persegi panjang yang sekarang tergeletak di atas kasurku. Kombinasi warna yang sangat cantik, ungu dan merah muda, dua warna kesukaanku. Suatu hari nanti, akupun akan menjadikan dua warna itu sebagai undangan pernikahanku. Namun suara lembut Kania membangunkanku dari lamunan.
‘kau akan datang?’ nada suaranya terkesan begitu hati-hati.
‘sepertinya begitu.’
‘kau yakin itu akan membuatmu merasa lebih baik?’ kali ini dengan penekanan sehingga terdengar sedikit lebih tegas.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk, berusaha meyakinkan sahabatku bahwa memang inilah yang sudah lama aku tunggu. Raut wajah Kania saat itu bisa aku baca dengan jelas. Tanpa dia katakan pun aku sudah tahu bahwa dia tidak mempercayaiku. Tapi inilah salah satu sifat Kania yang paling aku suka. Dia tidak pernah memaksakan apa yang dipikirkannya kepadaku. Dia selalu menghargai keputusan yang aku ambil. Dan saat akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku adalah suatu kesalahan, dia selalu disana untuk membesarkan hatiku.

Itulah percakapan singkatku dengan Kania tadi pagi. Terbesit pertanyaan, apakah memang ini yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku cukup kuat untuk melihat orang yang dulu begitu aku sayangi yang akhirnya harus kulepas menikah dengan orang lain? Namun aku tidak pernah mendapat jawaban yang pasti dari hatiku. Tapi aku tahu, aku ingin melihatnya. Aku ingin mengantarkannya ke kehidupan barunya dengan senyum sebagaimana dulu aku menyambutnya masuk ke dalam hidupku. Maka kuayunkan kakiku, sekilas kulirik pantulan sosokku dengan balutan gaun merah tua melalui cermin di salah satu tembok di gedung megah itu. Cukup anggun dan menimbulkan kesan bahwa aku pun ingin ikut merayakan hari besar ini. Hingar bingar dan suara wedding singer seketika menggetarkan gendang telingaku. Semakin jauh aku melangkah, semakin kuat getaran yang ditimbulkannya. Di saat jarak antara aku dan kedua sosok yang menjadi perhatian utama di pesta ini tak lebih dari sepuluh langkah, akupun menarik nafas sedalam-dalamnya.
***

Kusapukan pandangan ke seluruh pelataran parkir, mencoba mencari kendaraan dengan nomor seri L 545 WE. Di salah satu sudut tepat dibawah sebuah pohon yang sebagian besar daunnya hampir mengering itu, aku melihatnya. Dengan ringan aku melangkah. Pelataran itu sangat sepi, sungguh keadaan yang kontras dengan situasi di dalam gedung utama di kompleks tersebut. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas bunyi yang ditimbulkan oleh pertemuan antara hak sepatuku dengan lantai paving kering dibawahnya.

Untuk terakhir kalinya di hari itu, kuhirup dalam-dalam udara disekitarku. Udara kebebasan, begitu aku mendefinisikannya. Udara yang 5 tahun kebelakang sulit aku dapatkan.
Aku biarkan udara itu masuk memenuhi paru-paruku, untuk kemudian membiarkannya berenang menuju setiap muara sel dalam tubuh dan menjebol bendungan-bendungan kecil yang aku sebut beban.
Aku bisa merasakan sensasi yang luar biasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan hanya sebuah kumpulan kata verba ataupun nomina. Sensasi kemerdekaan. Begitu Kania kemudian menyebutnya.

Kupegang handle pintu berwarna hitam itu dan kemudian menariknya dengan kuat. Segera setelah pintu terbuka, kuhempaskan tubuh ke kursi kosong di bagian depan. Untuk beberapa detik otakku membeku, mematikan setiap aktivitas yang ada didalamnya. Dan saat otakku mulai berfungsi dengan normal, kuberanikan diri untuk melirik sosok yang sedang duduk disebelahku saat ini. Aku terkejut dan sedikit kikuk saat mendapati kedua bola matanya ternyata sedang mengarah tepat kepadaku. Kutarik otot-otot disekitar bibir membentuk segurat senyum yang tidak kalah misterius dengan tatapannya.

Di saat yang bersamaan, dalam hati aku bersyukur. Menyampaikan terima kasih kepada Tuhan atas pemberian berupa sosok yang satu ini. Berterima kasih atas kegigihan yang dianugerahkan-Nya pada sosok tersebut, sehingga menjadikan dia seorang yang telah berhasil melonggarkan ikatan-ikatan yang dulu aku anggap sebagai ikatan mati. Keheningan antara kami memaksaku membuka mulut. Namun tidak ada sepatah katapun yang tertangkap oleh daun telinga. Kami berdua tertawa, aku menertawakan ketololanku, dia menertawakan (mungkin) kekikukan kami berdua. Dan tepat saat itulah pandangan kami bertemu, menyadarkanku pada rasa yang dulu selalu tersamarkan oleh awan abu-abu, aku, Nitya Kinansih, menginginkan dia untuk tetap disana, mengimbangi langkah kecilku.

Satu kalimat yang keluar dari mulutnya akhirnya memecah kebisuan. ‘Jadi, kapan kita menikah?’ Tiba-tiba, tanggul yang sedari tadi aku pertahankan pun runtuh. Rasa bahagia, haru dan syukur menyeruak dan tumpah seiring dengan mengalirnya butir-butir air bening dari mataku. Bumiku yang dulu sempat terlempar dari porosnya, kini akhirnya bisa kembali berputar. Dari bibirku yang bergetar, aku mendengar diriku sendiri menjawab, ‘secepatnya’ menutup satu-satunya percakapan yang terjadi di antara kami sebelum akhirnya dia menghidupkan mesin mobil dan berlalu meninggalkan kebahagiaan dua anak manusia dibelakang, menuju kebahagiaan dua anak manusia yang lain.

TAMAT

10 comments:

  1. hmmm... so sweet..
    tk tunggu cerita lainnya,

    ReplyDelete
  2. Thanks, Lis :)
    Butuh waktu lama mencari ending-nya, alhamdulillah ketemu juga.

    ReplyDelete
  3. sipp...nggak sia2 Bu Ni'amah ngajar BIN di SMANDA dlu...He4x...Iroel..

    ReplyDelete
  4. Padahal aku ga pernah di ajar sama beliau..hehe.. Thanks anyway, Rul :)

    ReplyDelete
  5. oh i love happy ending.... :)

    ReplyDelete
  6. it's nice ...!

    ReplyDelete
  7. Pengalaman yang menyatu dengan ungkapan lughawi bahasa, menyimak kisah itu serasa nyata...Sungguh terlambat diri ini baru saja membacanya...gabungan kata dan intonase tiap frasa didalamnya ... benar luar biasa.

    Jika Hafizh sang Pujangga ada di sini...pasti diapun lupa akan syairnya...

    ReplyDelete
  8. my goodness! I am so flattered. Bagiku, cerita ini adalah sebuah harapan, semoga semua kisah akan berakhir bahagia :)

    ReplyDelete

Thursday 19 May 2011

Tanpa Judul

Kulirik sekali lagi jam dinding yang tergantung tepat diatasku, jam 1 lebih 42 menit. Sialan! batinku. Bahkan ketika sudah jauh melewati tengah malam pun mataku belum juga bisa terpejam. Sekali lagi kuurutkan kejadian pagi ini yang secara tidak langsung telah menjadi sumber insomniaku kali ini. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari ketika tiba-tiba nada pesan singkat di telepon selularku berbunyi. Dengan perasaan kesal karena harus terbangun dari tidur panjang dan pulas, aku meraba-raba sekitar tempat tidur berusaha menemukan benda kecil berwarna merah itu. Tidak begitu lama baru aku teringat bahwa tadi malam aku meletakkannya tepat di bawah bantal dengan harapan bunyi yang keluar dari benda seharga 2 jutaan itu bisa teredam. Suatu hal yang terbukti sia-sia karena toh sekarang aku tetap terbangun karenanya. Segera kualihkan zona pencarian, tidak sia-sia, aku mendapati tanganku akhirnya memegang benda yang sedari tadi aku cari.

Tulisan 1 pesan diterima tertera di layar. Dengan sedikit enggan namun penasaran siapa yang sudah dengan konyolnya mengirim sms di pagi buta seperti ini, kutekan tombol baca. Sepersekian detik terasa jantungku berhenti berdetak, sel-sel di dalam tubuhku pun terasa lumpuh seketika, mataku hanya bisa terbelalak sedangkan mulutku menganga. Seandainya ada orang yang melihat ekspresiku saat itu, mungkin dia sudah beranggapan bahwa aku telah melihat sesosok makhluk halus atau sejenisnya. Segera setelah tersadar dari rasa shock, aku cari nama Kania di daftar kontak. Aku tidak peduli jika sahabat terbaikku sejak bertahun-tahun yang lalu itu akan menggantungku karena membangunkannya sepagi ini. Yang ada di pikiranku adalah aku harus segera menceritakan semua ini pada seseorang, kalau tidak mungkin aku akan menjadi gila.
***

‘Jadi sekarang dia ada di kota ini, di Surabaya?’ Tanya Kania dengan penekanan kalimat yang terkesan hiperbola pada kata terakhir. Aku mengangguk sebagai tanda pembenaran kalimatnya, entah itu merupakan sebuah kalimat pernyataan atau sekedar kalimat tanya. ‘Dan dia memintamu untuk menemuinya?’ Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk. Selama hampir seperempat jam, kami berdua sama-sama membisu, mematung di atas kursi masing-masing. Bahkan percakapan yang terjadi sesudahnya pun tidak lebih dari sekedar pengulangan kalimat-kalimat sebelumnya dengan sedikit penambahan atau pengurangan kata, ataupun perubahan struktur.

Semuanya memang sangat mengejutkan. Mengingatkanku pada kejadian di saat aku kecil dimana ayah secara tidak terduga membawa pulang bersamanya seekor anak kucing dan mengatakan pada seluruh anggota keluarga bahwa untuk selanjutnya makhluk kecil itu akan menjadi bagian hidup kami. Aku ingat dengan jelas saat itu ibuku, seorang yang sangat spontan, bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia hanya bisa terdiam dengan tatapan yang penuh dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin keadaannya sama persis dengan aku sekarang. Ada sejuta pertanyaan yang ingin aku lempar keluar tapi setiap kali aku ingin melontarkannya, setiap kali itu juga aku justru mendapati diriku menelan semua kata yang membentuk kalimat-kalimat tersebut.
‘Sebaiknya aku pulang sekarang.’ Ujarku akhirnya.
‘Jadi kau akan menemuinya?’
‘entahlah.’ Seiring dengan kata itu aku melangkahkan kaki menuju pintu pagar rumah Kania.
***

Lima menit menuju jam tiga, dan aku masih bermain dengan kelopak mataku. Sialan! Pria sialan! Tidak henti-henti aku mengutuk sosok itu. Sosok yang tiba-tiba hadir mengusikku setelah bertahun-tahun lamanya dia menghilang. Bagaikan hujan yang tiba-tiba datang ditengah teriknya matahari, yang dengan mudahnya mematahkan teori mengenai tanda-tanda datangnya hujan yang baru saja aku ajarkan pada murid-murid kelas 1 tadi pagi.
Bagiku, sosok itu sudah lama mati, terkubur oleh jutaan cerita yang kutulis selama 60 bulan kebelakang. Bahkan untuk mencari tanda-tanda eksistensinya pun terbilang hampir tidak mungkin, karena aku sudah melebur semuanya.
Sekarang, disaat aku semakin yakin bahwa dia tidak lebih dari tokoh imaginasi yang aku ciptakan di alam bawah sadarku, pesan singkat yang dia kirimkan dini hari kemarin seketika menamparku dengan kenyataan bahwa dia itu nyata. Senyata tulisan tangannya yang secara tiba-tiba aku ingat masih aku simpan di dalam kotak segi empat di salah satu rak lemariku.

Rasa mual menghampiriku. Seolah ada tangan yang mengaduk-aduk isi perutku dan berusaha menariknya keluar. Aku berusaha tetap waras. Pelan-pelan kubaca ulang isi pesan singkat itu, entah untuk keberapa kalinya, ‘Hai, apa kabar? Ini Bima. Sebulan kedepan aku ada di Surabaya. Bisa ketemu? Ada yang ingin aku bicarakan.’ Sepertinya Tuhan sedang mengajakku bercanda dengan menghadirkan kembali sosok Bima yang 24 jam yang lalu namanya mempunyai arti tidak lebih dari susunan 2 konsonan dan 2 huruf vokal itu. Oh Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? Kudapati diriku mendesah, menghembuskan nafas panjang. Dan tepat di hembusan ketiga, tekadku bulat, kutekan tombol kirim.
***

Cuaca sedang bersahabat. Awan putih itu terlihat begitu cantik diantara birunya langit. Matahari tampak sedikit malu-malu untuk menumpahkan sinar dan teriknya ke bumi sehingga hawa sore ini pun tidak sepanas biasanya. Aku selalu menyukai cuaca seperti ini, mendung tapi tidak berarti hujan, persis seperti salah satu pepatah. Kuarahkan pandanganku ke salah satu bangunan diseberang jalan. Tampak lengang, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Mungkin karena ini memang salah satu restauran yang kurang populer di kalangan masyarakat yang sebagian besar bergaya hidup metropolitan ini.

Aku berjanji akan menemuinya disini, jam setengah 4 sore. Aku keluarkan HP dari kantung bajuku, jam 3 lebih 15 menit. Aku bukan tipe orang yang menyukai jam tangan sehingga setiap kali aku ingin mengecek waktu, aku terpaksa harus melihatnya di HP. Ada sedikit ragu, apakah sebaiknya aku batalkan semua kegilaan ini, tapi entah kekuatan dari mana yang justru akhirnya membuatku menjejakkan kaki ke tempat itu. Di sana, di salah satu kursi di pojok kanan restauran itu, aku melihatnya. Dia duduk membelakangi pintu dimana aku masuk.
Aku begitu mengenalnya, sehingga tidak butuh waktu lama bagiku untuk meyakini bahwa itu memang benar-benar dia.
Posturnya tetap sama, namun dia terlihat jauh lebih matang dari caranya berpakaian. Kami memang tidak muda lagi, sudah 5 tahun berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Kini kudapati diriku sedang mengumpulkan kekuatan dan nyali yang aku punya, menyambut apapun yang dia bawa dibalik sosoknya yang jangkung itu.
***

Kuamati kertas tebal persegi panjang yang sekarang tergeletak di atas kasurku. Kombinasi warna yang sangat cantik, ungu dan merah muda, dua warna kesukaanku. Suatu hari nanti, akupun akan menjadikan dua warna itu sebagai undangan pernikahanku. Namun suara lembut Kania membangunkanku dari lamunan.
‘kau akan datang?’ nada suaranya terkesan begitu hati-hati.
‘sepertinya begitu.’
‘kau yakin itu akan membuatmu merasa lebih baik?’ kali ini dengan penekanan sehingga terdengar sedikit lebih tegas.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk, berusaha meyakinkan sahabatku bahwa memang inilah yang sudah lama aku tunggu. Raut wajah Kania saat itu bisa aku baca dengan jelas. Tanpa dia katakan pun aku sudah tahu bahwa dia tidak mempercayaiku. Tapi inilah salah satu sifat Kania yang paling aku suka. Dia tidak pernah memaksakan apa yang dipikirkannya kepadaku. Dia selalu menghargai keputusan yang aku ambil. Dan saat akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku adalah suatu kesalahan, dia selalu disana untuk membesarkan hatiku.

Itulah percakapan singkatku dengan Kania tadi pagi. Terbesit pertanyaan, apakah memang ini yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku cukup kuat untuk melihat orang yang dulu begitu aku sayangi yang akhirnya harus kulepas menikah dengan orang lain? Namun aku tidak pernah mendapat jawaban yang pasti dari hatiku. Tapi aku tahu, aku ingin melihatnya. Aku ingin mengantarkannya ke kehidupan barunya dengan senyum sebagaimana dulu aku menyambutnya masuk ke dalam hidupku. Maka kuayunkan kakiku, sekilas kulirik pantulan sosokku dengan balutan gaun merah tua melalui cermin di salah satu tembok di gedung megah itu. Cukup anggun dan menimbulkan kesan bahwa aku pun ingin ikut merayakan hari besar ini. Hingar bingar dan suara wedding singer seketika menggetarkan gendang telingaku. Semakin jauh aku melangkah, semakin kuat getaran yang ditimbulkannya. Di saat jarak antara aku dan kedua sosok yang menjadi perhatian utama di pesta ini tak lebih dari sepuluh langkah, akupun menarik nafas sedalam-dalamnya.
***

Kusapukan pandangan ke seluruh pelataran parkir, mencoba mencari kendaraan dengan nomor seri L 545 WE. Di salah satu sudut tepat dibawah sebuah pohon yang sebagian besar daunnya hampir mengering itu, aku melihatnya. Dengan ringan aku melangkah. Pelataran itu sangat sepi, sungguh keadaan yang kontras dengan situasi di dalam gedung utama di kompleks tersebut. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas bunyi yang ditimbulkan oleh pertemuan antara hak sepatuku dengan lantai paving kering dibawahnya.

Untuk terakhir kalinya di hari itu, kuhirup dalam-dalam udara disekitarku. Udara kebebasan, begitu aku mendefinisikannya. Udara yang 5 tahun kebelakang sulit aku dapatkan.
Aku biarkan udara itu masuk memenuhi paru-paruku, untuk kemudian membiarkannya berenang menuju setiap muara sel dalam tubuh dan menjebol bendungan-bendungan kecil yang aku sebut beban.
Aku bisa merasakan sensasi yang luar biasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan hanya sebuah kumpulan kata verba ataupun nomina. Sensasi kemerdekaan. Begitu Kania kemudian menyebutnya.

Kupegang handle pintu berwarna hitam itu dan kemudian menariknya dengan kuat. Segera setelah pintu terbuka, kuhempaskan tubuh ke kursi kosong di bagian depan. Untuk beberapa detik otakku membeku, mematikan setiap aktivitas yang ada didalamnya. Dan saat otakku mulai berfungsi dengan normal, kuberanikan diri untuk melirik sosok yang sedang duduk disebelahku saat ini. Aku terkejut dan sedikit kikuk saat mendapati kedua bola matanya ternyata sedang mengarah tepat kepadaku. Kutarik otot-otot disekitar bibir membentuk segurat senyum yang tidak kalah misterius dengan tatapannya.

Di saat yang bersamaan, dalam hati aku bersyukur. Menyampaikan terima kasih kepada Tuhan atas pemberian berupa sosok yang satu ini. Berterima kasih atas kegigihan yang dianugerahkan-Nya pada sosok tersebut, sehingga menjadikan dia seorang yang telah berhasil melonggarkan ikatan-ikatan yang dulu aku anggap sebagai ikatan mati. Keheningan antara kami memaksaku membuka mulut. Namun tidak ada sepatah katapun yang tertangkap oleh daun telinga. Kami berdua tertawa, aku menertawakan ketololanku, dia menertawakan (mungkin) kekikukan kami berdua. Dan tepat saat itulah pandangan kami bertemu, menyadarkanku pada rasa yang dulu selalu tersamarkan oleh awan abu-abu, aku, Nitya Kinansih, menginginkan dia untuk tetap disana, mengimbangi langkah kecilku.

Satu kalimat yang keluar dari mulutnya akhirnya memecah kebisuan. ‘Jadi, kapan kita menikah?’ Tiba-tiba, tanggul yang sedari tadi aku pertahankan pun runtuh. Rasa bahagia, haru dan syukur menyeruak dan tumpah seiring dengan mengalirnya butir-butir air bening dari mataku. Bumiku yang dulu sempat terlempar dari porosnya, kini akhirnya bisa kembali berputar. Dari bibirku yang bergetar, aku mendengar diriku sendiri menjawab, ‘secepatnya’ menutup satu-satunya percakapan yang terjadi di antara kami sebelum akhirnya dia menghidupkan mesin mobil dan berlalu meninggalkan kebahagiaan dua anak manusia dibelakang, menuju kebahagiaan dua anak manusia yang lain.

TAMAT

10 comments:

  1. hmmm... so sweet..
    tk tunggu cerita lainnya,

    ReplyDelete
  2. Thanks, Lis :)
    Butuh waktu lama mencari ending-nya, alhamdulillah ketemu juga.

    ReplyDelete
  3. sipp...nggak sia2 Bu Ni'amah ngajar BIN di SMANDA dlu...He4x...Iroel..

    ReplyDelete
  4. Padahal aku ga pernah di ajar sama beliau..hehe.. Thanks anyway, Rul :)

    ReplyDelete
  5. oh i love happy ending.... :)

    ReplyDelete
  6. it's nice ...!

    ReplyDelete
  7. Pengalaman yang menyatu dengan ungkapan lughawi bahasa, menyimak kisah itu serasa nyata...Sungguh terlambat diri ini baru saja membacanya...gabungan kata dan intonase tiap frasa didalamnya ... benar luar biasa.

    Jika Hafizh sang Pujangga ada di sini...pasti diapun lupa akan syairnya...

    ReplyDelete
  8. my goodness! I am so flattered. Bagiku, cerita ini adalah sebuah harapan, semoga semua kisah akan berakhir bahagia :)

    ReplyDelete