Tuesday 20 September 2011

Camouflage

Erangan mesin itu lenyap seiring dengan berputarnya posisi kontak yang aku gapit di antara ibu jari dan telunjuk, begitu pula dengan bunyi knalpot. Tidak lebih dari tiga detik, seolah sudah menanti untuk ditemukan, suara Adam Levine yang seksi tiba-tiba menyeruak dari keheningan dan terbendung oleh gendang telingaku. Well hal ini bisa bermakna ambigu, apakah memang ‘suara’ si Adam yang seksi ataukah justru ‘si Adam’ itu sendiri. Namun kalau pembicaraan ini mengarah pada vokalis Maroon 5 tersebut, berarti keduanya sama benar. Sejak kemunculannya di hingar bingar industri musik sepuluh tahun silam, pentolan grup band asal negeri Paman Sam itu telah berhasil menancapkan patokan akan sosok lelaki idaman di otakku. Entah karena sensasi luar biasa yang acap kali aku rasa sewaktu menikmati desahan suaranya melalui lagu-lagunya yang hampir setiap hari aku putar, atau tersihir oleh aksi panggung yang hampir selalu dengan bertelanjang dada, menonjolkan otot-otot yang semakin memantapkan kejantanannya, bagiku lelaki harusnya seperti itu. Garang dan seksi di saat yang sama.

Kurogoh isi perut tas coklat tua yang sedari tadi bergelayut manis pada pundak kiriku. Benda mungil tersebut aku dapatkan beberapa bulan sebelumnya dari seorang teman akrab sebagai kado ulang tahun yang ke-33. Sebuah hadiah yang aku tahu jelas tidak murah karena setiap wanita dewasa sudah pasti mampu menaksir jumlah digit yang dibandrol oleh jenis merk tertentu, hanya untuk sebuah tas. Fenomena yang sudah sangat merakyat di era dimana tas sudah bukan lagi suatu alat, melainkan gaya hidup. Tas yang ide awalnya diciptakan untuk menampung barang-barang pribadi, sekarang seolah mengingkari takdirnya. Mereka lebih senang dipanggil sebagai fashion item. Ah betapa lucunya penyakit ‘gaya hidup’ ini! Manusia dibuat keblinger olehnya. Yang dulu hanya perlu satu, sekarang lima bahkan masih kurang.

Jari-jemariku tidak membutuhkan waktu lama untuk mendeteksi keberadaan benda elektronik super canggih sumber dari bunyi tersebut. Dia terpojok di salah satu sudut diantara onggokan kertas, pena, pensil, dompet dan benda-benda lain yang bahkan aku sendiri tidak ingat membawanya. Kuangkat benda itu, memisahkannya dari kelompok yang seolah sudah berkomplot menyesaknya. Namun mataku hanya mampu mempertahankan rasa penasaran untuk sepersekian detik, seterusnya yang aku rasa hanya jengah. Sekali lagi aku paksakan membaca nama yang muncul di layar, sedikit kaget aku mendengar diriku sendiri kali ini mendesah. Akhirnya dengan sedikit enggan, kudekatkan benda berwarna hitam itu ke kuping kananku,

“Halo. Tumben? Jangan katakan kau akan memaksaku datang ke acara ‘beauty seminar’ seperti terakhir kali kau menelponku” Sambungku dalam hati.
“Dapat bonus pulsa, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Aku ingin bicara denganmu, sudah lama aku tidak mendengar ocehan merdumu itu.”
Bukankah setiap hari kau mendengar ocehan itu dari radio? Di program Breakfast and Sun Shine yang aku pandu selama dua jam penuh? Belum sempat aku memprotes pilihan katanya, dia sudah mulai memberondongku lagi,
 “Tahu tidak, salah satu kenikmatan menjadi wanita itu adalah kita bisa bebas berbicara dengan sesama jenis selama berjam-jam dimana saja, baik di telpon atau bahkan sambil duduk berdua di salah satu pojok cafĂ© di pinggiran kota, tanpa pernah takut dicap mengidap gender identity disorder. “
“Apa maksudmu?”
“Coba bayangkan. Dua pria saling menelpon, atau mungkin duduk bersama di sebuah bangku di taman dan saling mengumbar senyum ataupun tawa, bukankah hal itu akan menimbulkan kecurigaan? Ada semacam hubungan terselubung, yang kalau ternyata benar, sudah pasti memunculkan fakta bahwa salah satu dari mereka pasti mengidap sexual disorder tadi. Sedangkan wanita, bukankah sudah kodratnya semua wanita itu suka bicara?”
“Sepanjang yang aku ingat, kau lah wanita yang mempunyai kelebihan paling luar biasa secara verbal. Ada apa sebenarnya? Baru membaca sebuah artikel di majalah dan mencari teman untuk berdiskusi? Maaf aku tidak ada waktu” Ujarku seiring melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Apa itu caramu mengatakan bahwa kau sedang mencurigaiku?” nada bicara lawan bicaraku berubah menjadi ketus.
Kuhela nafas panjang, membayangkan wajah orang di ujung sambungan ini yang seketika berubah masam. Kedua matanya dipicingkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengalah, “Tidak, yang itu tadi murni kalimat tanya. Jadi, ada kabar apa?”
Seketika moodnya buncah, nada bicara menjadi ringan dan antusiasme pun mengembang, “Sudah dapat undangan belum? Cinta monyetmu saat sekolah menengah akan mengakhiri masa berburu, dan memutuskan untuk memelihara seekor burung cendrawasih yang tidak hanya rupawan tapi juga dibelinya dari keluarga baik-baik dan berada.”
“Mm… Kabar yang bagus, tapi sepertinya tidak cukup menarik untuk membuatmu menelponku. Bukan begitu?” Bukan tentang hal itu lagi, kumohon.
“Resepsinya minggu depan, sepertinya aku tidak bisa datang.” Nada bicaranya berubah datar, tapi cepat-cepat disambungnya lagi, “Oh iya, si Merry, sepupuku, teman kita SD dulu, ingat? Dia juga segera diminta menjadi pendamping hidup seseorang. Belum tahu kapan tepatnya, tapi sepertinya dalam 2 atau 3 bulan kedepan.”
Ada jeda agak lama yang terasa begitu canggung antara kata terakhirnya dengan kata pertamaku, “Kamu mau berubah menjadi pribadi yang oportunis sekarang? Mencoba mencari manfaat dari semua detail bahkan yang paling tidak signifikan sekalipun?” Sudah aku duga sejak mataku mengeja namanya di layar iPhone tadi, pasti tentang hal itu.
“Ayolah, sudah saatnya, Julia. Satu persatu teman kita akan memulai kehidupan baru. Semua orang yang sudah stabil, dalam artian mental dan materi, sudah seharusnya mulai mencari partner hidup. Semua teman kita menikah sebelum kepala 3, bahkan banyak yang sebelum menginjak 25. Apa lagi yang kau tunggu? Pada akhirnya beginilah hidup, perempuan akan menjadi istri dan kemudian menjadi seorang ibu. Kau tahu pasti akan hal itu. Jelas ada yang salah dengan otakmu kalau kau menganggapnya teori sampah”
“Ini persis seperti teori mandi, bukan sampah, Wan. Begini, siapa yang bilang mandi itu harus 2 kali sehari? Sejak kapan ritual semacam ini dijalankan? Sejak zaman Dayang Sumbi yang kecantikannya memanah hati putra kandungnya, si Sangkuriang? Tidak ada yang tahu dan tidak pula ada yang bisa menjamin itulah yang paling benar. Jangan hanya karena semua orang mandi sehari 2 kali, lantas mereka yang mandi cuma sehari sekali dianggap salah, dianggap menyimpang. Itu semua cuma masalah tradisi kok. Jadi jangan hanya karena aku memandang konsep pernikahan dengan sedikit berbeda, maka kau memberiku label ‘luar angkasa’. Terdengar sangat sempit dan tidak adil buatku.”
“Tapi kau hidup bersosialisasi, Miss Perfectionist. Ada keluargamu yang harus kau pikirkan, selain tetangga-tetanggamu yang usil itu tentunya. Kau mau jadi hot topic selama satu dekade?” ujarnya mulai gusar.
“Nah ini dia yang aku sebut globalisasi. Welcome to modern civilization! Zaman dimana orang sudah tidak lagi menyebut handphone atau ponsel, tapi berganti menjadi BB dan iPhone. Memikirkan apa kata orang lain bukankah itu sudah terlalu ketinggalan zaman? Aku pikir kau orang yang paling peka dengan isu ini.”
“Tapi 33 tahun sudah lebih.. tidak, yang benar sudah sangat lebih dari cukup. Mau menunggu sampai kapan?” dari nada suaranya terdengar temanku itu semakin gemas dengan jawaban-jawaban yang aku lontarkan.
Oh honey, age is …”
just a number.” Belum tuntas aku bicara, Wanda sudah memotongnya dengan ekspresi wajah, yang sudah bisa aku gambar dengan jelas di otak, perpaduan antara rasa jengkel dan muak. “Sampai kapan kau akan berpegang pada klise semacam itu? Sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan mereka yang selalu bilang ‘age is just a number’. Kau tahu, sebenarnya frasa itu dibuat hanya untuk membantu mereka merasa lebih baik. Padahal di dalam hatinya, mereka sama khawatirnya dengan para istri yang sudah menikah puluhan tahun tapi tak kunjung diberikan momongan. Itu tak lain adalah satu lagi bentuk kamuflase selain ‘aku sedang fokus dengan karir’. So please, stop all that rubbish, darling.”
Wanda menumpahkan semua kekesalannya dalam satu tarikan nafas. Belum sempat aku melontarkan pembelaanku, dia sudah melanjutkan lagi khotbah panjangnya. “Dan lagipula, kalau memang benar age is just a number, and you take it just as simple as that, then so is price, so is exchange rate. Padahal kita sama-sama tahu, masing-masing dari variabel itu bisa berdampak besar pada variabel yang lain. Seperti variabel bebas yang menghasilkan variabel terikat. Seperti harga yang bisa mempengaruhi daya beli konsumen ataupun nilai tukar mata uang yang mempengaruhi pasar saham. Kau harus mulai memikirkan masa depan, Jul. Cantikmu itu akan memudar seiring bertambahnya umur. Tunggu sampai keriput mulai menghantuimu!”
Excuse me, apa yang dulu selalu kau bilang? Inner beauty is one thing that matters? Kenapa sekarang jadi sibuk memikirkan keriput diwajah? Wajahku pula. Percayalah, aku akan awet muda. Dan satu hal lagi, pada akhirnya kamuflase yang kamu jabarkan panjang lebar tadi, terkadang bisa menyelamatkan hidup suatu organisme lho.” Aku membayangkan tentang bunglon yang merubah warna kulitnya sesuai dengan batang pohon untuk mengelabui pemburunya, atau seekor belalang yang menyerupai daun-daun di sekitarnya.
“Susah ya ngomong sama penyiar? Apa kalian selalu seperti ini? Pintar mencari celah dan memutarbalikkan keadaan?”
“Jangan bawa-bawa profesi dong, bu dokter. Kamu juga tidak akan suka kalau suatu saat ada seseorang yang bilang; susah ya ngelawan bu dokter, tulisannya hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Iya kan?” Kututup permainan catur itu dengan skak mat yang dibalas dengan bunyi tut panjang disaluran seberang. Rupanya si empunya telpon mengakhiri panggilannya.

8 comments:

  1. Julia is right, but Wanda is not wrong. Julia stands up for her idealism, Wanda reminds her about the realism. Realism is for our existence as we live in a real world, where people judge and social pressure bugs. Without being realistic, we do exist, but in a different way from the realists. "Oh honeybear,Get real!" One would say. But idealism is what you believe. It makes you who you are. "Who would you be living without it?" A wise man might say. There has been a constant fight between the two. There will always be. Being another Julia or Wanda, or being neither of them and stand in between, has been, is, and will be our decisions.

    ReplyDelete
  2. kdang qta brbicara utk mmberi kn alasan yg se real mungkin pd mreka, pdahal qta mmandang sidikt berbeda saja. aq kira bkn it jwb an yg kluar dr otak kanan miss Dini Rosita Sari. maybe

    ReplyDelete
  3. Yes, there are always idealism and realism. Man, I think, will always stand in between. It's just that sometime they get closer to the previous and sometime to the latter. When I first created Julia, I thought she was being idealist. But the more I tried to 'define' her, the more I liked the term 'perfectionist'. When she made all those arguments, she was actually trying to let Wanda know that she was fine. She is not being idealist, she is simply feeling secure and comfortable with the way she is at the moment. Well she does want to get married, but she wants it to be perfetct. And that's actually the major issue here.

    ReplyDelete
  4. Okta: aku tidak terlalu paham dengan teori otak kanan dan otak kiri. Tapi cerita singkat ini menggambarkan suatu pola pikir yang sebenarnya sederhana, tapi karena bertentangan dengan 'apa yang seharusnya' hal itu berubah menjadi hal yang luar biasa.

    ReplyDelete
  5. waahh..belum ngasih komen..uda minder duluan sama komen2 diatas yg kata2nya cerdas & kritis..tp jauh lebih minder lagi sama "cerita" nya yang smooth, mudah dicerna, menarik untuk dibaca & bikin ga sbar baca lanjutannya..aplg ending nya yg pasti bikin mangkel yg baca hihihi *krn pst salah tebak :p..ceritanya sederhana, antara tuntutan keadaan & prinsip hidup, sering terjadi dan selalu ada dilema untuk pilih salah satu..tp yg terpenting mengikuti kata hati mgk jauh lebih arif yaa..selain itu pergantian siang & malam pun sdh ada yang ngatur..aplg hanya masalah "itu" hehehe..i love it so much..tak tunggu lanjutannya ^^

    ReplyDelete
  6. cerita sederhana yang dikemas dengan kata2 & cara pikir yang luar biasa :) berbeda bukan berarti aneh..namun menunjukkan bhw kita bisa & berani memegang teguh keyakinan yg sedikit langka..karna kita memang langka khn :p

    ReplyDelete
  7. Endingnya nanti kita pikirkan bareng-bareng ya say, aku masih belum ada gambaran harus dihadiahi apa si Julia di akhir cerita nanti. Yang jelas saat ini kita biarkan Julia menikmati dunia perctionist-nya yang justru tampak idealist di kehidupan yang menuntut kerealistisan seperti sekarang. :)

    ReplyDelete
  8. Pipit Indahyani01 October, 2011 10:40

    wanita, usia, pasangan hidup (pernikahan)

    3 hal tersebut di atas memang selalu menarik untuk dibahas dan dituangkan dalam sebuah tulisan dengan segala persoalan dan problematika kehidupannya.

    Kenapa wanita???
    karena kita wanita dan kita mengerti betul seperti apa wanita itu dan segala seluk beluk persoalan kehidupannya dari sudut pandang wanita tentunya.

    Kenapa dengan usia???
    Wanita sepertinya selalu diberi warning (secara tidak langsung) oleh keluarga (terkadang) terutama masyarakat sekitar bahwa usia menjadi titik penting bagi wanita untuk bisa "lolos seleksi" (kayak kompetisi idola aja yah....)alias seleksi ala manusia2 yang mengaku modern tapi kenyataannya pola pikirnya masih sama kayak embah-embahku dulu....

    Kenapa dengan pernikahan???
    Isu yang satu ini yang paling vital untuk dibahas. Pernikahan, yah semua manusia pastilah akan menuju kesana. Memiliki pasangan hidup dan membangun keluarga sesuai konsep hidup yang memang telah DISEPAKATI oleh 2 orang manusia DEWASA yang telah sama2 YAKIN akan menjalani kehidupan ini sesuai dengan TUJUAN awal mereka membangun KONSEP HIDUP BERSAMA ini. Menikah merupakan hak manusia sebagai seorang pribadi bukan komunal, jadi hargailah pribadi tersebut bukan sebagai objek tapi sebagai subjek (suggestion for Wanda).

    Mungkin Julia memang perfectsionist (hanya julukan) tapi dia tetaplah seorang WANITA, seorang pribadi yang ingin dipandang sebagai subjek bukan objek semata.

    ReplyDelete

Tuesday 20 September 2011

Camouflage

Erangan mesin itu lenyap seiring dengan berputarnya posisi kontak yang aku gapit di antara ibu jari dan telunjuk, begitu pula dengan bunyi knalpot. Tidak lebih dari tiga detik, seolah sudah menanti untuk ditemukan, suara Adam Levine yang seksi tiba-tiba menyeruak dari keheningan dan terbendung oleh gendang telingaku. Well hal ini bisa bermakna ambigu, apakah memang ‘suara’ si Adam yang seksi ataukah justru ‘si Adam’ itu sendiri. Namun kalau pembicaraan ini mengarah pada vokalis Maroon 5 tersebut, berarti keduanya sama benar. Sejak kemunculannya di hingar bingar industri musik sepuluh tahun silam, pentolan grup band asal negeri Paman Sam itu telah berhasil menancapkan patokan akan sosok lelaki idaman di otakku. Entah karena sensasi luar biasa yang acap kali aku rasa sewaktu menikmati desahan suaranya melalui lagu-lagunya yang hampir setiap hari aku putar, atau tersihir oleh aksi panggung yang hampir selalu dengan bertelanjang dada, menonjolkan otot-otot yang semakin memantapkan kejantanannya, bagiku lelaki harusnya seperti itu. Garang dan seksi di saat yang sama.

Kurogoh isi perut tas coklat tua yang sedari tadi bergelayut manis pada pundak kiriku. Benda mungil tersebut aku dapatkan beberapa bulan sebelumnya dari seorang teman akrab sebagai kado ulang tahun yang ke-33. Sebuah hadiah yang aku tahu jelas tidak murah karena setiap wanita dewasa sudah pasti mampu menaksir jumlah digit yang dibandrol oleh jenis merk tertentu, hanya untuk sebuah tas. Fenomena yang sudah sangat merakyat di era dimana tas sudah bukan lagi suatu alat, melainkan gaya hidup. Tas yang ide awalnya diciptakan untuk menampung barang-barang pribadi, sekarang seolah mengingkari takdirnya. Mereka lebih senang dipanggil sebagai fashion item. Ah betapa lucunya penyakit ‘gaya hidup’ ini! Manusia dibuat keblinger olehnya. Yang dulu hanya perlu satu, sekarang lima bahkan masih kurang.

Jari-jemariku tidak membutuhkan waktu lama untuk mendeteksi keberadaan benda elektronik super canggih sumber dari bunyi tersebut. Dia terpojok di salah satu sudut diantara onggokan kertas, pena, pensil, dompet dan benda-benda lain yang bahkan aku sendiri tidak ingat membawanya. Kuangkat benda itu, memisahkannya dari kelompok yang seolah sudah berkomplot menyesaknya. Namun mataku hanya mampu mempertahankan rasa penasaran untuk sepersekian detik, seterusnya yang aku rasa hanya jengah. Sekali lagi aku paksakan membaca nama yang muncul di layar, sedikit kaget aku mendengar diriku sendiri kali ini mendesah. Akhirnya dengan sedikit enggan, kudekatkan benda berwarna hitam itu ke kuping kananku,

“Halo. Tumben? Jangan katakan kau akan memaksaku datang ke acara ‘beauty seminar’ seperti terakhir kali kau menelponku” Sambungku dalam hati.
“Dapat bonus pulsa, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Aku ingin bicara denganmu, sudah lama aku tidak mendengar ocehan merdumu itu.”
Bukankah setiap hari kau mendengar ocehan itu dari radio? Di program Breakfast and Sun Shine yang aku pandu selama dua jam penuh? Belum sempat aku memprotes pilihan katanya, dia sudah mulai memberondongku lagi,
 “Tahu tidak, salah satu kenikmatan menjadi wanita itu adalah kita bisa bebas berbicara dengan sesama jenis selama berjam-jam dimana saja, baik di telpon atau bahkan sambil duduk berdua di salah satu pojok cafĂ© di pinggiran kota, tanpa pernah takut dicap mengidap gender identity disorder. “
“Apa maksudmu?”
“Coba bayangkan. Dua pria saling menelpon, atau mungkin duduk bersama di sebuah bangku di taman dan saling mengumbar senyum ataupun tawa, bukankah hal itu akan menimbulkan kecurigaan? Ada semacam hubungan terselubung, yang kalau ternyata benar, sudah pasti memunculkan fakta bahwa salah satu dari mereka pasti mengidap sexual disorder tadi. Sedangkan wanita, bukankah sudah kodratnya semua wanita itu suka bicara?”
“Sepanjang yang aku ingat, kau lah wanita yang mempunyai kelebihan paling luar biasa secara verbal. Ada apa sebenarnya? Baru membaca sebuah artikel di majalah dan mencari teman untuk berdiskusi? Maaf aku tidak ada waktu” Ujarku seiring melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Apa itu caramu mengatakan bahwa kau sedang mencurigaiku?” nada bicara lawan bicaraku berubah menjadi ketus.
Kuhela nafas panjang, membayangkan wajah orang di ujung sambungan ini yang seketika berubah masam. Kedua matanya dipicingkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengalah, “Tidak, yang itu tadi murni kalimat tanya. Jadi, ada kabar apa?”
Seketika moodnya buncah, nada bicara menjadi ringan dan antusiasme pun mengembang, “Sudah dapat undangan belum? Cinta monyetmu saat sekolah menengah akan mengakhiri masa berburu, dan memutuskan untuk memelihara seekor burung cendrawasih yang tidak hanya rupawan tapi juga dibelinya dari keluarga baik-baik dan berada.”
“Mm… Kabar yang bagus, tapi sepertinya tidak cukup menarik untuk membuatmu menelponku. Bukan begitu?” Bukan tentang hal itu lagi, kumohon.
“Resepsinya minggu depan, sepertinya aku tidak bisa datang.” Nada bicaranya berubah datar, tapi cepat-cepat disambungnya lagi, “Oh iya, si Merry, sepupuku, teman kita SD dulu, ingat? Dia juga segera diminta menjadi pendamping hidup seseorang. Belum tahu kapan tepatnya, tapi sepertinya dalam 2 atau 3 bulan kedepan.”
Ada jeda agak lama yang terasa begitu canggung antara kata terakhirnya dengan kata pertamaku, “Kamu mau berubah menjadi pribadi yang oportunis sekarang? Mencoba mencari manfaat dari semua detail bahkan yang paling tidak signifikan sekalipun?” Sudah aku duga sejak mataku mengeja namanya di layar iPhone tadi, pasti tentang hal itu.
“Ayolah, sudah saatnya, Julia. Satu persatu teman kita akan memulai kehidupan baru. Semua orang yang sudah stabil, dalam artian mental dan materi, sudah seharusnya mulai mencari partner hidup. Semua teman kita menikah sebelum kepala 3, bahkan banyak yang sebelum menginjak 25. Apa lagi yang kau tunggu? Pada akhirnya beginilah hidup, perempuan akan menjadi istri dan kemudian menjadi seorang ibu. Kau tahu pasti akan hal itu. Jelas ada yang salah dengan otakmu kalau kau menganggapnya teori sampah”
“Ini persis seperti teori mandi, bukan sampah, Wan. Begini, siapa yang bilang mandi itu harus 2 kali sehari? Sejak kapan ritual semacam ini dijalankan? Sejak zaman Dayang Sumbi yang kecantikannya memanah hati putra kandungnya, si Sangkuriang? Tidak ada yang tahu dan tidak pula ada yang bisa menjamin itulah yang paling benar. Jangan hanya karena semua orang mandi sehari 2 kali, lantas mereka yang mandi cuma sehari sekali dianggap salah, dianggap menyimpang. Itu semua cuma masalah tradisi kok. Jadi jangan hanya karena aku memandang konsep pernikahan dengan sedikit berbeda, maka kau memberiku label ‘luar angkasa’. Terdengar sangat sempit dan tidak adil buatku.”
“Tapi kau hidup bersosialisasi, Miss Perfectionist. Ada keluargamu yang harus kau pikirkan, selain tetangga-tetanggamu yang usil itu tentunya. Kau mau jadi hot topic selama satu dekade?” ujarnya mulai gusar.
“Nah ini dia yang aku sebut globalisasi. Welcome to modern civilization! Zaman dimana orang sudah tidak lagi menyebut handphone atau ponsel, tapi berganti menjadi BB dan iPhone. Memikirkan apa kata orang lain bukankah itu sudah terlalu ketinggalan zaman? Aku pikir kau orang yang paling peka dengan isu ini.”
“Tapi 33 tahun sudah lebih.. tidak, yang benar sudah sangat lebih dari cukup. Mau menunggu sampai kapan?” dari nada suaranya terdengar temanku itu semakin gemas dengan jawaban-jawaban yang aku lontarkan.
Oh honey, age is …”
just a number.” Belum tuntas aku bicara, Wanda sudah memotongnya dengan ekspresi wajah, yang sudah bisa aku gambar dengan jelas di otak, perpaduan antara rasa jengkel dan muak. “Sampai kapan kau akan berpegang pada klise semacam itu? Sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan mereka yang selalu bilang ‘age is just a number’. Kau tahu, sebenarnya frasa itu dibuat hanya untuk membantu mereka merasa lebih baik. Padahal di dalam hatinya, mereka sama khawatirnya dengan para istri yang sudah menikah puluhan tahun tapi tak kunjung diberikan momongan. Itu tak lain adalah satu lagi bentuk kamuflase selain ‘aku sedang fokus dengan karir’. So please, stop all that rubbish, darling.”
Wanda menumpahkan semua kekesalannya dalam satu tarikan nafas. Belum sempat aku melontarkan pembelaanku, dia sudah melanjutkan lagi khotbah panjangnya. “Dan lagipula, kalau memang benar age is just a number, and you take it just as simple as that, then so is price, so is exchange rate. Padahal kita sama-sama tahu, masing-masing dari variabel itu bisa berdampak besar pada variabel yang lain. Seperti variabel bebas yang menghasilkan variabel terikat. Seperti harga yang bisa mempengaruhi daya beli konsumen ataupun nilai tukar mata uang yang mempengaruhi pasar saham. Kau harus mulai memikirkan masa depan, Jul. Cantikmu itu akan memudar seiring bertambahnya umur. Tunggu sampai keriput mulai menghantuimu!”
Excuse me, apa yang dulu selalu kau bilang? Inner beauty is one thing that matters? Kenapa sekarang jadi sibuk memikirkan keriput diwajah? Wajahku pula. Percayalah, aku akan awet muda. Dan satu hal lagi, pada akhirnya kamuflase yang kamu jabarkan panjang lebar tadi, terkadang bisa menyelamatkan hidup suatu organisme lho.” Aku membayangkan tentang bunglon yang merubah warna kulitnya sesuai dengan batang pohon untuk mengelabui pemburunya, atau seekor belalang yang menyerupai daun-daun di sekitarnya.
“Susah ya ngomong sama penyiar? Apa kalian selalu seperti ini? Pintar mencari celah dan memutarbalikkan keadaan?”
“Jangan bawa-bawa profesi dong, bu dokter. Kamu juga tidak akan suka kalau suatu saat ada seseorang yang bilang; susah ya ngelawan bu dokter, tulisannya hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Iya kan?” Kututup permainan catur itu dengan skak mat yang dibalas dengan bunyi tut panjang disaluran seberang. Rupanya si empunya telpon mengakhiri panggilannya.

8 comments:

  1. Julia is right, but Wanda is not wrong. Julia stands up for her idealism, Wanda reminds her about the realism. Realism is for our existence as we live in a real world, where people judge and social pressure bugs. Without being realistic, we do exist, but in a different way from the realists. "Oh honeybear,Get real!" One would say. But idealism is what you believe. It makes you who you are. "Who would you be living without it?" A wise man might say. There has been a constant fight between the two. There will always be. Being another Julia or Wanda, or being neither of them and stand in between, has been, is, and will be our decisions.

    ReplyDelete
  2. kdang qta brbicara utk mmberi kn alasan yg se real mungkin pd mreka, pdahal qta mmandang sidikt berbeda saja. aq kira bkn it jwb an yg kluar dr otak kanan miss Dini Rosita Sari. maybe

    ReplyDelete
  3. Yes, there are always idealism and realism. Man, I think, will always stand in between. It's just that sometime they get closer to the previous and sometime to the latter. When I first created Julia, I thought she was being idealist. But the more I tried to 'define' her, the more I liked the term 'perfectionist'. When she made all those arguments, she was actually trying to let Wanda know that she was fine. She is not being idealist, she is simply feeling secure and comfortable with the way she is at the moment. Well she does want to get married, but she wants it to be perfetct. And that's actually the major issue here.

    ReplyDelete
  4. Okta: aku tidak terlalu paham dengan teori otak kanan dan otak kiri. Tapi cerita singkat ini menggambarkan suatu pola pikir yang sebenarnya sederhana, tapi karena bertentangan dengan 'apa yang seharusnya' hal itu berubah menjadi hal yang luar biasa.

    ReplyDelete
  5. waahh..belum ngasih komen..uda minder duluan sama komen2 diatas yg kata2nya cerdas & kritis..tp jauh lebih minder lagi sama "cerita" nya yang smooth, mudah dicerna, menarik untuk dibaca & bikin ga sbar baca lanjutannya..aplg ending nya yg pasti bikin mangkel yg baca hihihi *krn pst salah tebak :p..ceritanya sederhana, antara tuntutan keadaan & prinsip hidup, sering terjadi dan selalu ada dilema untuk pilih salah satu..tp yg terpenting mengikuti kata hati mgk jauh lebih arif yaa..selain itu pergantian siang & malam pun sdh ada yang ngatur..aplg hanya masalah "itu" hehehe..i love it so much..tak tunggu lanjutannya ^^

    ReplyDelete
  6. cerita sederhana yang dikemas dengan kata2 & cara pikir yang luar biasa :) berbeda bukan berarti aneh..namun menunjukkan bhw kita bisa & berani memegang teguh keyakinan yg sedikit langka..karna kita memang langka khn :p

    ReplyDelete
  7. Endingnya nanti kita pikirkan bareng-bareng ya say, aku masih belum ada gambaran harus dihadiahi apa si Julia di akhir cerita nanti. Yang jelas saat ini kita biarkan Julia menikmati dunia perctionist-nya yang justru tampak idealist di kehidupan yang menuntut kerealistisan seperti sekarang. :)

    ReplyDelete
  8. Pipit Indahyani01 October, 2011 10:40

    wanita, usia, pasangan hidup (pernikahan)

    3 hal tersebut di atas memang selalu menarik untuk dibahas dan dituangkan dalam sebuah tulisan dengan segala persoalan dan problematika kehidupannya.

    Kenapa wanita???
    karena kita wanita dan kita mengerti betul seperti apa wanita itu dan segala seluk beluk persoalan kehidupannya dari sudut pandang wanita tentunya.

    Kenapa dengan usia???
    Wanita sepertinya selalu diberi warning (secara tidak langsung) oleh keluarga (terkadang) terutama masyarakat sekitar bahwa usia menjadi titik penting bagi wanita untuk bisa "lolos seleksi" (kayak kompetisi idola aja yah....)alias seleksi ala manusia2 yang mengaku modern tapi kenyataannya pola pikirnya masih sama kayak embah-embahku dulu....

    Kenapa dengan pernikahan???
    Isu yang satu ini yang paling vital untuk dibahas. Pernikahan, yah semua manusia pastilah akan menuju kesana. Memiliki pasangan hidup dan membangun keluarga sesuai konsep hidup yang memang telah DISEPAKATI oleh 2 orang manusia DEWASA yang telah sama2 YAKIN akan menjalani kehidupan ini sesuai dengan TUJUAN awal mereka membangun KONSEP HIDUP BERSAMA ini. Menikah merupakan hak manusia sebagai seorang pribadi bukan komunal, jadi hargailah pribadi tersebut bukan sebagai objek tapi sebagai subjek (suggestion for Wanda).

    Mungkin Julia memang perfectsionist (hanya julukan) tapi dia tetaplah seorang WANITA, seorang pribadi yang ingin dipandang sebagai subjek bukan objek semata.

    ReplyDelete