Wednesday 4 January 2012

Menghargai Karya Orang Lain, Sesusah Itukah?


“Ajarkan anak-anak itu cara menghargai karya orang lain sejak dini, maka semoga saat dewasa, mereka tidak menjelma menjadi pribadi yang bisanya cuma iri hati.”


Tidak diragukan lagi, Indonesia memang terkenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaan. Dari sejak kita SD sampai duduk di kursi perguruan tinggi, para guru dan dosen seolah tidak pernah lelah sesumbar betapa beragamnya budaya dan tradisi negara kita ini. Tentu saja hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Mengingat banyak negara di dunia yang mau tidak mau dipaksa untuk berdecak kagum atas warisan nenek moyang tersebut. Tidak sedikit pula yang merasa iri. Bahkan ada yang nekat untuk  ‘nyolong’ kebudayaan itu.

Hal yang bisa dimaklumi. Lihat saja betapa cantik dan menawan para penari bali dengan kain dan aksesoris berkilaunya. Betapa ayu dan anggun para penari Jawa dengan balutan kain batik yang tiada tanding coraknya. Betapa damai suara angklung di telinga, yang secara misterius seolah membawa ketentraman pada batin si pendengar. Atau betapa nikmat rendang Padang di lidah, memanjakan liur yang seketika menggeliat hanya dari mencium aromanya. Dan itu hanya segilintir dari sekian banyak kebudayaan yang dapat disajikan bangsa Indonesia. Wajar saja kalau mereka, bangsa lain, akhirnya begitu terobsesi dan menggebu untuk mengakui semua itu sebagai propertinya. 

Tapi kebudayaan tidak hanya sekedar hal-hal yang kasat mata, yang materiil. Bukan cuma kain, alat musik, makanan ataupun gerakan tari. Kebudayaan bisa juga dalam bentuk karakter bangsa. Mental bangsa. Lantas dengan begitu kayanya kebudayaan ‘materiil’ kita, apakah kebudayaan ‘karakter dan mental bangsa’ kita ini juga kaya? Aku tidak mau mengeneralisir jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena mengeneralisir berarti aku harus berani mempertanggung jawabkan secara menyeluruh. Namun aku bisa menggambarkan sebuah situasi yang mungkin sedikit, aku tegaskan sekali lagi di sini- hanya sedikit,  bisa membantu memberi jawaban. 

Seorang karyawan baru  menimbulkan kehebohan di tempat kerja. Bukan kehebohan macam anak SMA menyambut siswa baru yang cantik atau tampan. Tapi dalam bentuk bisik-bisik tetangga akibat rasa sebal dari para rekan kerja. Si anak bawang di anggap sok tahu dan ‘keminter’ karena berusaha menerapkan cara pandang dan sistem kerja yang berbeda dari para pendahulunya. Setiap si karyawan baru melakukan terobosan atau sekedar menyampaikan pendapat, bukan pujian yang di dapat, melainkan cibiran meremehkan.

Apa susahnya sebuah apresiasi basa-basi di mulut? Mengatakan hal itu brilian, bahkan ketika kenyataannya biasa saja. Tidak ada ruginya bukan mengapresiasi usaha seseorang? Justru hal ini akan banyak menghasilkan keuntungan di masa depan. Si anak bawang justru akan semakin bersemangat menghasilkan ide-ide baru. Siapa tahu kelak salah satunya akan menjadi inovasi luar biasa.

Ternyata inilah salah satu titik dimana kita sedikit ‘miskin’ kebudayaan.  Miskin menghargai pendapat. Miskin mengapresiasi karya. Miskin karakter dan mental. Kita tidak terlatih untuk mengamini kepintaran orang lain. Sebaliknya, justru sangat terampil menjadikan orang tersebut objek gunjingan. Kita tidak terbiasa menjadikan kecerdasan orang lain sebagai bahan motivasi. Sebaliknya, malah menjadikannya suatu alasan untuk merasa terintimidasi. Kita sepertinya juga tidak terdidik untuk antusias dalam menerima ide-ide baru dan cenderung menganggap hal itu tidak lebih dari usaha cari perhatian. 

Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan nilai menghargai karya orang lain ini sejak dini. Tentu saja dalam artian menghargai yang sesungguhnya, bukan yang ditambah-tambahi semata demi keuntungan pribadi. Tapi penghargaan yang tulus atas usaha seseorang. Dengan harapan untuk memberi motivasi secara tidak langsung kepadanya agar terus berkarya dan menghembuskan ide-ide baru. Sehingga tidak ada lagi yang namanya generasi tukang iri dan pendengki. Mereka yang melihat keberhasilan orang lain sebagai objek yang bisa mengancam posisinya.

Sudah waktunya kita melahirkan lebih banyak lagi generasi yang siap menerima tantangan dan mau mengakui kelebihan orang lain. Mereka yang mau bekerja sama dengan siapa saja tanpa perasaan risih. Karena pada dasarnya, mau menerima dan berkawan dengan mereka yang luar biasa, perlahan juga akan mengubah kita menjadi pribadi yang tidak sekedar biasa saja. Dan begitulah seharusnya karakter ini untuk mulai diperkaya.

2 comments:

  1. "Miskin mental untuk menghargai orang lain dan tidak merasa terintimidasi" memang jadi issue masyarakat di sekitar kita. Mencibir, kasak-kusuk, bisik-bisik, adalah respon yang paling sering didapat seorang inovator. Padahal mereka yang iri dengki seharusnya termotivasi. Tetap perkaya diri.. Stay extraordinary :)

    ReplyDelete
  2. Itulah salah satu tema yang diusung dalam Pendidikan Budaya dan Krakter Bangsa yang sedang ramai dibicarakan di dunia pendidikan saat ini. Tapi bisa dibilang aku sedikit pesimis dengan pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, semoga cepat atau lambat para pendidik memahami dengan baik dan tahu bagaimana caranya agar hal ini tidak berhenti di teori atau wacana saja. Untuk sementara waktu, aku menerapkan apa yang sudah aku pahami di kelas yang aku ajar dulu.. ;)

    ReplyDelete

Wednesday 4 January 2012

Menghargai Karya Orang Lain, Sesusah Itukah?


“Ajarkan anak-anak itu cara menghargai karya orang lain sejak dini, maka semoga saat dewasa, mereka tidak menjelma menjadi pribadi yang bisanya cuma iri hati.”


Tidak diragukan lagi, Indonesia memang terkenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaan. Dari sejak kita SD sampai duduk di kursi perguruan tinggi, para guru dan dosen seolah tidak pernah lelah sesumbar betapa beragamnya budaya dan tradisi negara kita ini. Tentu saja hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Mengingat banyak negara di dunia yang mau tidak mau dipaksa untuk berdecak kagum atas warisan nenek moyang tersebut. Tidak sedikit pula yang merasa iri. Bahkan ada yang nekat untuk  ‘nyolong’ kebudayaan itu.

Hal yang bisa dimaklumi. Lihat saja betapa cantik dan menawan para penari bali dengan kain dan aksesoris berkilaunya. Betapa ayu dan anggun para penari Jawa dengan balutan kain batik yang tiada tanding coraknya. Betapa damai suara angklung di telinga, yang secara misterius seolah membawa ketentraman pada batin si pendengar. Atau betapa nikmat rendang Padang di lidah, memanjakan liur yang seketika menggeliat hanya dari mencium aromanya. Dan itu hanya segilintir dari sekian banyak kebudayaan yang dapat disajikan bangsa Indonesia. Wajar saja kalau mereka, bangsa lain, akhirnya begitu terobsesi dan menggebu untuk mengakui semua itu sebagai propertinya. 

Tapi kebudayaan tidak hanya sekedar hal-hal yang kasat mata, yang materiil. Bukan cuma kain, alat musik, makanan ataupun gerakan tari. Kebudayaan bisa juga dalam bentuk karakter bangsa. Mental bangsa. Lantas dengan begitu kayanya kebudayaan ‘materiil’ kita, apakah kebudayaan ‘karakter dan mental bangsa’ kita ini juga kaya? Aku tidak mau mengeneralisir jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena mengeneralisir berarti aku harus berani mempertanggung jawabkan secara menyeluruh. Namun aku bisa menggambarkan sebuah situasi yang mungkin sedikit, aku tegaskan sekali lagi di sini- hanya sedikit,  bisa membantu memberi jawaban. 

Seorang karyawan baru  menimbulkan kehebohan di tempat kerja. Bukan kehebohan macam anak SMA menyambut siswa baru yang cantik atau tampan. Tapi dalam bentuk bisik-bisik tetangga akibat rasa sebal dari para rekan kerja. Si anak bawang di anggap sok tahu dan ‘keminter’ karena berusaha menerapkan cara pandang dan sistem kerja yang berbeda dari para pendahulunya. Setiap si karyawan baru melakukan terobosan atau sekedar menyampaikan pendapat, bukan pujian yang di dapat, melainkan cibiran meremehkan.

Apa susahnya sebuah apresiasi basa-basi di mulut? Mengatakan hal itu brilian, bahkan ketika kenyataannya biasa saja. Tidak ada ruginya bukan mengapresiasi usaha seseorang? Justru hal ini akan banyak menghasilkan keuntungan di masa depan. Si anak bawang justru akan semakin bersemangat menghasilkan ide-ide baru. Siapa tahu kelak salah satunya akan menjadi inovasi luar biasa.

Ternyata inilah salah satu titik dimana kita sedikit ‘miskin’ kebudayaan.  Miskin menghargai pendapat. Miskin mengapresiasi karya. Miskin karakter dan mental. Kita tidak terlatih untuk mengamini kepintaran orang lain. Sebaliknya, justru sangat terampil menjadikan orang tersebut objek gunjingan. Kita tidak terbiasa menjadikan kecerdasan orang lain sebagai bahan motivasi. Sebaliknya, malah menjadikannya suatu alasan untuk merasa terintimidasi. Kita sepertinya juga tidak terdidik untuk antusias dalam menerima ide-ide baru dan cenderung menganggap hal itu tidak lebih dari usaha cari perhatian. 

Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan nilai menghargai karya orang lain ini sejak dini. Tentu saja dalam artian menghargai yang sesungguhnya, bukan yang ditambah-tambahi semata demi keuntungan pribadi. Tapi penghargaan yang tulus atas usaha seseorang. Dengan harapan untuk memberi motivasi secara tidak langsung kepadanya agar terus berkarya dan menghembuskan ide-ide baru. Sehingga tidak ada lagi yang namanya generasi tukang iri dan pendengki. Mereka yang melihat keberhasilan orang lain sebagai objek yang bisa mengancam posisinya.

Sudah waktunya kita melahirkan lebih banyak lagi generasi yang siap menerima tantangan dan mau mengakui kelebihan orang lain. Mereka yang mau bekerja sama dengan siapa saja tanpa perasaan risih. Karena pada dasarnya, mau menerima dan berkawan dengan mereka yang luar biasa, perlahan juga akan mengubah kita menjadi pribadi yang tidak sekedar biasa saja. Dan begitulah seharusnya karakter ini untuk mulai diperkaya.

2 comments:

  1. "Miskin mental untuk menghargai orang lain dan tidak merasa terintimidasi" memang jadi issue masyarakat di sekitar kita. Mencibir, kasak-kusuk, bisik-bisik, adalah respon yang paling sering didapat seorang inovator. Padahal mereka yang iri dengki seharusnya termotivasi. Tetap perkaya diri.. Stay extraordinary :)

    ReplyDelete
  2. Itulah salah satu tema yang diusung dalam Pendidikan Budaya dan Krakter Bangsa yang sedang ramai dibicarakan di dunia pendidikan saat ini. Tapi bisa dibilang aku sedikit pesimis dengan pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, semoga cepat atau lambat para pendidik memahami dengan baik dan tahu bagaimana caranya agar hal ini tidak berhenti di teori atau wacana saja. Untuk sementara waktu, aku menerapkan apa yang sudah aku pahami di kelas yang aku ajar dulu.. ;)

    ReplyDelete