Monday 28 February 2011

Sebuah catatan di akhir Februari tahun lalu...


Semakin memudar kenangan kita, semakin sulit untuk kugambarkan. Setiap sentuhan kasih, setiap tatapan sayang, kini seolah menguap menjadi sesuatu yang tidak kasat mata. Namun entah dengan cara apa, aku tahu mereka tetap nyata. Begitu hangat dan perih disaat yang sama. Ada kalanya mereka kembali dalam wujud embun pagi, menyentuh rerumputan hijau dalam bumiku. Bumi yang kini tidak lagi kau pijak. Bumi yang sudah jauh kau tinggalkan karena kini kau sudah melayang tinggi ke negeri dongeng yang selalu kau impikan.

Bahagiakah kau di sana mata daunku? Adakah sedetik dalam masa bahagiamu kau teringat pada bumi yang dulu kau diami? Yang dulu selalu kau andalkan sebagai tempat untuk berdiri?
Karena bumiku masih sama setelah ketiadaanmu. Tidak ada yang berubah. Rerumputan masih hijau, bunga-bunga masih dengan warna-warninya yang menakjubkan, burung-burung masih bersenandung di pagiku, dan anginpun tetap berhembus menebar sejuk.


Tapi entah mengapa rumput dan bunga itu tidak lagi indah di mataku, nyanyian burung terasa seperti tangga nada yang tak beraturan, dan sejuk yang dibawa anginpun terasa kosong di kulitku. Perasaan damai yang dulu setia kini pergi entah kemana, seolah angin telah menerbangkannya. Bisakah kau jelaskan semua ini padaku wahai mata daunku? Karena aku tidak bisa mengerti arti keadaan ini.

Dan aku ingin tahu, apakah negeri dongengmu seindah bumiku? Adakah laut biru yang memanjakanmu dengan sepinya? Adakah hutan yang menyuguhkan petualangan untukmu? Atau bahkan sekedar taman bermain untuk melepas letih? Ceritakan padaku wahai si mata daun, berbagilah kebahagiaanmu. Karena seperti yang pernah kukatakan, bahagiamu adalah kekuatanku untuk terus menyongsong waktu.

Kita selalu bermimpi untuk menjelajah bumi. Berkeliling melihat tempat-tempat terindah. Sudahkah kau mewujudkannya di negeri dongengmu? Keajaiban apa yang sudah kau dapatkan? Dan ketika kakimu letih melangkah, dimanakah kau berhenti sejenak untuk meluruskan kakimu? Untuk mengusir dahagamu dengan segelas air? Ceritakanlah padaku, aku ingin mendengarnya. Aku yakin kau punya sejuta kisah untuk dibagi.
Lalu mengapa kau membisu? Tidakkah cukup banyak kata yang bisa kau gunakan untuk merangkai kalimatmu? Mengapa mata daunku? Begitu enggan kau membuka mulutmu.


Samar-samar aku melihatmu dalam mimpi. Kau begitu bahagia di atas bumiku. Kau tersenyum dan tertawa. Tidak ada segurat kesedihan di wajahmu. Dan aku menikmati itu. Menikmati setiap tingkah tak biasamu. Wahai si mata daun, katakan padaku kau bahagia di bumiku, sebahagia kau sekarang di negeri dongengmu. Aku titipkan sepenggal kenangan tentang bumi ini di satu bagian dalam duniamu yang indah. Menjadi satu bagian dalam ceritamu. Dan suatu saat nanti, ketika kau terlelap dalam tidur, kau akan bermimpi tentang bumi yang dulu kau pijak. Tentang bunga, burung dan rerumputan di pagi hari.

2 comments:

  1. Aku menemukan sisi lain dari seorang dini yang biasanya sangat English Literate di tulisan ini...Ternyata Dini bisa juga menulis dengan bahasa indonesia sama baiknya dengan saat dia menulis English, malah mungkin lebih terasa seperti seorang sastrawan...
    tapi entah mengapa tulisan ini seperti tidak angsing buat aku...temanya dan kontennya seperti sangat familier buat aku, malah seperti dejavu...
    but anyway im very pleased and proud of you especially for structure, composition and theme that you've write to express what you feel..

    ReplyDelete
  2. Thank you so much for your honest praise on the writing! I am not that good writer this way, somehow a year ago this just struck me. I didn't even know where those words came from- probably these Indonesian literature I read or merely because of this very state I was in at that time.

    ReplyDelete

Monday 28 February 2011

Sebuah catatan di akhir Februari tahun lalu...


Semakin memudar kenangan kita, semakin sulit untuk kugambarkan. Setiap sentuhan kasih, setiap tatapan sayang, kini seolah menguap menjadi sesuatu yang tidak kasat mata. Namun entah dengan cara apa, aku tahu mereka tetap nyata. Begitu hangat dan perih disaat yang sama. Ada kalanya mereka kembali dalam wujud embun pagi, menyentuh rerumputan hijau dalam bumiku. Bumi yang kini tidak lagi kau pijak. Bumi yang sudah jauh kau tinggalkan karena kini kau sudah melayang tinggi ke negeri dongeng yang selalu kau impikan.

Bahagiakah kau di sana mata daunku? Adakah sedetik dalam masa bahagiamu kau teringat pada bumi yang dulu kau diami? Yang dulu selalu kau andalkan sebagai tempat untuk berdiri?
Karena bumiku masih sama setelah ketiadaanmu. Tidak ada yang berubah. Rerumputan masih hijau, bunga-bunga masih dengan warna-warninya yang menakjubkan, burung-burung masih bersenandung di pagiku, dan anginpun tetap berhembus menebar sejuk.


Tapi entah mengapa rumput dan bunga itu tidak lagi indah di mataku, nyanyian burung terasa seperti tangga nada yang tak beraturan, dan sejuk yang dibawa anginpun terasa kosong di kulitku. Perasaan damai yang dulu setia kini pergi entah kemana, seolah angin telah menerbangkannya. Bisakah kau jelaskan semua ini padaku wahai mata daunku? Karena aku tidak bisa mengerti arti keadaan ini.

Dan aku ingin tahu, apakah negeri dongengmu seindah bumiku? Adakah laut biru yang memanjakanmu dengan sepinya? Adakah hutan yang menyuguhkan petualangan untukmu? Atau bahkan sekedar taman bermain untuk melepas letih? Ceritakan padaku wahai si mata daun, berbagilah kebahagiaanmu. Karena seperti yang pernah kukatakan, bahagiamu adalah kekuatanku untuk terus menyongsong waktu.

Kita selalu bermimpi untuk menjelajah bumi. Berkeliling melihat tempat-tempat terindah. Sudahkah kau mewujudkannya di negeri dongengmu? Keajaiban apa yang sudah kau dapatkan? Dan ketika kakimu letih melangkah, dimanakah kau berhenti sejenak untuk meluruskan kakimu? Untuk mengusir dahagamu dengan segelas air? Ceritakanlah padaku, aku ingin mendengarnya. Aku yakin kau punya sejuta kisah untuk dibagi.
Lalu mengapa kau membisu? Tidakkah cukup banyak kata yang bisa kau gunakan untuk merangkai kalimatmu? Mengapa mata daunku? Begitu enggan kau membuka mulutmu.


Samar-samar aku melihatmu dalam mimpi. Kau begitu bahagia di atas bumiku. Kau tersenyum dan tertawa. Tidak ada segurat kesedihan di wajahmu. Dan aku menikmati itu. Menikmati setiap tingkah tak biasamu. Wahai si mata daun, katakan padaku kau bahagia di bumiku, sebahagia kau sekarang di negeri dongengmu. Aku titipkan sepenggal kenangan tentang bumi ini di satu bagian dalam duniamu yang indah. Menjadi satu bagian dalam ceritamu. Dan suatu saat nanti, ketika kau terlelap dalam tidur, kau akan bermimpi tentang bumi yang dulu kau pijak. Tentang bunga, burung dan rerumputan di pagi hari.

2 comments:

  1. Aku menemukan sisi lain dari seorang dini yang biasanya sangat English Literate di tulisan ini...Ternyata Dini bisa juga menulis dengan bahasa indonesia sama baiknya dengan saat dia menulis English, malah mungkin lebih terasa seperti seorang sastrawan...
    tapi entah mengapa tulisan ini seperti tidak angsing buat aku...temanya dan kontennya seperti sangat familier buat aku, malah seperti dejavu...
    but anyway im very pleased and proud of you especially for structure, composition and theme that you've write to express what you feel..

    ReplyDelete
  2. Thank you so much for your honest praise on the writing! I am not that good writer this way, somehow a year ago this just struck me. I didn't even know where those words came from- probably these Indonesian literature I read or merely because of this very state I was in at that time.

    ReplyDelete