Friday 25 November 2011

Antrian Ala Indonesia


Seminggu yang lalu saya dan seorang sahabat sepakat  pergi ke bioskop untuk nonton bareng salah satu film yang sudah lama ditunggu pemutarannya. Sebelum berangkat kami berdua sama-sama tahu bahwa untuk mendapatkan tiket bioskop kali ini akan menjadi perjuangan tersendiri. Terbuktilah semuanya setelah kami  mengantri selama satu setengah jam demi tidak kehabisan kertas kecil bertuliskan teater dan nomor kursi tersebut. Namun apa dikata, tepat saat loket pembelian dibuka, delapan gadis belia belasan tahun (dari wajah sepertinya rata-rata dibawah tujuh belas) tiba-tiba menyerondol barisan kami. Sang satpam hanya bisa mengomel tanpa ada tindakan jelas dan para ABG pun bersorak gembira atas keberhasilan mereka ‘menjinakkan’ sang satpam dan juga ‘menyeberangi’ lautan manusia yang sudah mengantri satu setengah jam sebelum mereka itu. Yah akhirnya saya dan sahabat memilih untuk merelakan delapan tiket melayang di depan mata. Tapi layaknya orang Indonesia asli, kami hanya bersyukur karena paling tidak kami masih kebagian.

Sepanjang perjalanan pulang sahabat ternyata mengeluhkan insiden sabotase antrian tersebut. Tidak ada hentinya dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, “mengapa orang Indonesia tidak tahu aturan? Mengapa mereka justru bangga atas sesuatu yang seharusnya memalukan? Mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju yang begitu teratur dan tahu cara menghargai orang lain?” Dan selanjutnya dia pun mengatakan sesuatu yang membuat saya merasa tertampar oleh kebenaran, “temanku dari Australia pernah bilang, “It’s so crazy here in Indonesia. People don’t seem to know how to respect each other. Kami di Australia tidak punya menteri agama, tapi kami tahu betul bagaimana menghargai hak orang lain. You do have it but you foolishly act like you don’t have one.” Usut punya usut, ternyata si ‘bule’ pernah mengalami peristiwa serupa.

Apa yang diceritakan sahabat saya benar-benar menohok. Terlepas objektif atau tidaknya pengaitan agama dengan sikap saling menghargai, saya tidak bisa menyangkal kebenaran di dalam ucapan kesal ‘bule’ tersebut. Bukankah sudah seharusnya negeri religius seperti Indonesia lebih menekankan etika dan sopan santun? Bukankah agama apa pun itu selalu mengajarkan pentingnya hubungan antar sesama selain hubungan vertikal dengan Tuhan? Lantas mengapa negeri tercinta Indonesia Raya ini malah miskin etika? Dan mengapa justru negeri yang kebanyakan rakyatnya mengaku not religious lah yang lebih mengerti cara menghormati orang lain? Apa yang salah dengan sistem perkembangan karakter masyarakat Indonesia?

Selama mencari jawaban logis atas pertanyaan-pertanyaan yang hanya berkutat di otak inilah tiba-tiba saya teringat pada kunjungan singkat saya ke negeri Ratu Elizabeth sebulan yang lalu. Sebagai salah satu negara maju, tidak heran kalau semua sistem yang mereka miliki berjalan jauh lebih teratur dibanding Indonesia. Memang benar salah satu penyebabnya adalah teknologi canggih yang memfasilitasi hampir setiap kegiatan, akan tetapi etika masyarakatnya pun ikut andil dalam hal ini. Setiap individu tampak sangat paham bahwa mereka hidup bersosialisasi. Hal ini tidak hanya sebatas teori yang disampaikan di dalam kelas seperti, maaf, yang kebanyakan terjadi di negara kita. Sebaliknya, semuanya jelas tercermin pada sikap dan tingkah laku sehari-hari.

Saat berada di lingkungan kerja singkat saya di Inggris, hampir setiap orang yang berpapasan dengan saya tidak pernah absen menanyakan kabar. Are you okay? How is it going? merupakan pertanyaan yang harus saya jawab lebih dari lima kali setiap harinya. Begitu juga dengan ucapan klasik thank you dan sorry, yang bahkan terdengar jauh lebih sering lagi oleh ‘telinga Indonesia’ saya. ‘Bule-bule’ itu jelas tahu cara menghargai orang lain. Mereka ingin membuat orang lain merasa nyaman dan timbal baliknya adalah mereka pun akan mendapatkan hal serupa. Dan satu hal yang pasti, mereka tidak akan pernah mengantri dengan perasaan was-was karena mereka tahu tidak akan ada orang lain yang  tiba-tiba menyerobot antrian seperti yang sering terjadi di ‘antrian ala Indonesia’.

No comments:

Post a Comment

Friday 25 November 2011

Antrian Ala Indonesia


Seminggu yang lalu saya dan seorang sahabat sepakat  pergi ke bioskop untuk nonton bareng salah satu film yang sudah lama ditunggu pemutarannya. Sebelum berangkat kami berdua sama-sama tahu bahwa untuk mendapatkan tiket bioskop kali ini akan menjadi perjuangan tersendiri. Terbuktilah semuanya setelah kami  mengantri selama satu setengah jam demi tidak kehabisan kertas kecil bertuliskan teater dan nomor kursi tersebut. Namun apa dikata, tepat saat loket pembelian dibuka, delapan gadis belia belasan tahun (dari wajah sepertinya rata-rata dibawah tujuh belas) tiba-tiba menyerondol barisan kami. Sang satpam hanya bisa mengomel tanpa ada tindakan jelas dan para ABG pun bersorak gembira atas keberhasilan mereka ‘menjinakkan’ sang satpam dan juga ‘menyeberangi’ lautan manusia yang sudah mengantri satu setengah jam sebelum mereka itu. Yah akhirnya saya dan sahabat memilih untuk merelakan delapan tiket melayang di depan mata. Tapi layaknya orang Indonesia asli, kami hanya bersyukur karena paling tidak kami masih kebagian.

Sepanjang perjalanan pulang sahabat ternyata mengeluhkan insiden sabotase antrian tersebut. Tidak ada hentinya dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, “mengapa orang Indonesia tidak tahu aturan? Mengapa mereka justru bangga atas sesuatu yang seharusnya memalukan? Mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju yang begitu teratur dan tahu cara menghargai orang lain?” Dan selanjutnya dia pun mengatakan sesuatu yang membuat saya merasa tertampar oleh kebenaran, “temanku dari Australia pernah bilang, “It’s so crazy here in Indonesia. People don’t seem to know how to respect each other. Kami di Australia tidak punya menteri agama, tapi kami tahu betul bagaimana menghargai hak orang lain. You do have it but you foolishly act like you don’t have one.” Usut punya usut, ternyata si ‘bule’ pernah mengalami peristiwa serupa.

Apa yang diceritakan sahabat saya benar-benar menohok. Terlepas objektif atau tidaknya pengaitan agama dengan sikap saling menghargai, saya tidak bisa menyangkal kebenaran di dalam ucapan kesal ‘bule’ tersebut. Bukankah sudah seharusnya negeri religius seperti Indonesia lebih menekankan etika dan sopan santun? Bukankah agama apa pun itu selalu mengajarkan pentingnya hubungan antar sesama selain hubungan vertikal dengan Tuhan? Lantas mengapa negeri tercinta Indonesia Raya ini malah miskin etika? Dan mengapa justru negeri yang kebanyakan rakyatnya mengaku not religious lah yang lebih mengerti cara menghormati orang lain? Apa yang salah dengan sistem perkembangan karakter masyarakat Indonesia?

Selama mencari jawaban logis atas pertanyaan-pertanyaan yang hanya berkutat di otak inilah tiba-tiba saya teringat pada kunjungan singkat saya ke negeri Ratu Elizabeth sebulan yang lalu. Sebagai salah satu negara maju, tidak heran kalau semua sistem yang mereka miliki berjalan jauh lebih teratur dibanding Indonesia. Memang benar salah satu penyebabnya adalah teknologi canggih yang memfasilitasi hampir setiap kegiatan, akan tetapi etika masyarakatnya pun ikut andil dalam hal ini. Setiap individu tampak sangat paham bahwa mereka hidup bersosialisasi. Hal ini tidak hanya sebatas teori yang disampaikan di dalam kelas seperti, maaf, yang kebanyakan terjadi di negara kita. Sebaliknya, semuanya jelas tercermin pada sikap dan tingkah laku sehari-hari.

Saat berada di lingkungan kerja singkat saya di Inggris, hampir setiap orang yang berpapasan dengan saya tidak pernah absen menanyakan kabar. Are you okay? How is it going? merupakan pertanyaan yang harus saya jawab lebih dari lima kali setiap harinya. Begitu juga dengan ucapan klasik thank you dan sorry, yang bahkan terdengar jauh lebih sering lagi oleh ‘telinga Indonesia’ saya. ‘Bule-bule’ itu jelas tahu cara menghargai orang lain. Mereka ingin membuat orang lain merasa nyaman dan timbal baliknya adalah mereka pun akan mendapatkan hal serupa. Dan satu hal yang pasti, mereka tidak akan pernah mengantri dengan perasaan was-was karena mereka tahu tidak akan ada orang lain yang  tiba-tiba menyerobot antrian seperti yang sering terjadi di ‘antrian ala Indonesia’.

No comments:

Post a Comment