Sunday 27 November 2011

Bapak dan Aku


Setiap berbicara tentang masa kecil, Ibu tidak pernah absen memberi tahu lawan bicaranya betapa manja dan arogannya a seven-year-old version of me.  Beliau lantas mengulang-ngulang cerita dimana aku menangis hebat sembari meneriakkan ‘mantra’ andalanku saat itu-Bapak, dengan diikuti penjelasan panjang lebar mengenai ketergantunganku akan sosok yang satu itu. Yah, Bapak memang tokoh idolaku sepanjang masa. Bukan karena kepintaran atau kepribadiannya, melainkan karena beliau selalu menjadikanku anak favoritnya, putri kesayangannya. Bapak adalah the fairy god mother. Orang pertama yang terlintas di pikiranku saat aku mendapat masalah dan yang dengan tongkat ajaibnya akan memberiku jalan keluar dari segala jenis kebuntuan. Hal ini tidak jarang menimbulkan kontra di antara saudara-saudaraku. Namun pada akhirnya, mereka selalu menemukan jalan masing-masing untuk memaklumi dan menerimanya.

Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ketiga saudaraku semuanya laki-laki. Posisi strategis sebagai satu-satunya anak perempuan inilah yang menjadikanku istimewa. Paling tidak begitu konsep awal yang di anut Ibu dan ketiga saudara laki-lakiku sebelum akhirnya teori itu berubah menjadi sebuah norma tidak tertulis di keluarga kami. Mungkin hal ini pula lah yang akhirnya menjadikanku begitu terikat secara emosional dengan Bapak, dan sering kali aku memanipulasi hubungan ini dengan menjadikannya senjata demi keuntungan pribadi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Namun semakin aku memahami diriku, semakin aku merasa this whole idea of ‘that special daughter’ was entirely incorrect. Semakin aku mengenal sosok Dini Rosita Sari, semakin aku tersadar bahwa aku ini tidak lain adalah bayangan yang dilihat Bapak setiap kali beliau bercermin. Aku adalah saudara kembar perempuan beliau, not literally of course.

Terkadang akan sangat sulit untuk mendefinisikan diri sendiri dibanding jika harus melakukan hal yang sama tentang orang lain. Aku pun merasakan hal yang sama. Dan sosok Bapak lah yang membantuku untuk memahami pribadi macam apa aku ini. Bapak adalah karakter yang sangat gamblang baik bagi orang terdekat ataupun kenalannya, namun dalam artian yang berbeda. Kenalannya mungkin akan menganggap beliau sosok yang akan dengan mudah dimintai pertolongan karena wataknya yang memang lembut dan toleran. Akan tetapi bagi ibu dan anak-anaknya, Bapak adalah pribadi yang sulit diperintah. Akan sangat menguras emosi dan energi hanya demi meminta beliau datang ke pernikahan saudara kalau itu bukan karena keinginannya. Hal ini lah yang terkadang menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil antara Bapak dan Ibu. Ibu tidak dan bahkan mungkin tidak akan pernah memahami semua itu, but I do, karena aku pun begitu. Kami berdua lemah lembut tapi keras kepala, toleran tapi tegas dan sering kali ringan tangan namun benci diperintah.

            Bapak juga merupakan perwujudan pribadi posesif kompulsif yang bebas. Ketika mencintai sesuatu, tanpa sadar beliau akan menunjukkan sebentuk perilaku unik yang tampak jelas bagi orang disekitarnya tapi tidak bagi dirinya sendiri. Saya ingat Ibu pernah berkata, “Bapak kamu itu lucu, Din. Dulu pernah beli kursi lipat, jumlahnya tiga biji. Padahal sudah tahu anaknya empat. Tidak lama eh beli kursi plastik, berapa jumlahnya? Tiga lagi. Terus pernah membeli kemeja warna putih berulang-ulang sampai lemari dipenuhi warna putih. Nah sekarang sepertinya beliau sedang menyukai warna hitam. Sudah lebih dari tiga kali beliau membeli kemeja warna hitam berturut-turut. Bapak kamu memang begitu, kalau sudah suka sama sesuatu, yang diulang-ulang ya benda itu.” Begitu cara Ibu secara literal mendeskripsikan karakter Bapak kepadaku. Sedangkan aku mungkin menjelaskannya dengan sedikit berbeda.

Bapak adalah jiwa perfeksionis. Yang selalu mencari kesempurnaan dari setiap hal, paling tidak bagi mata dan batinnnya sendiri. Itulah yang menjadikannya pribadi yang kompulsif. Selalu mengulang pola yang sama sampai akhirnya menemukan kombinasi yang menurutnya mendekati sempurna. Bapak adalah pria yang akan berulang kali bolak-balik memandang pantulan dirinya di dalam cermin, memperhatikan setiap detil busana yang dikenakannya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang melekat di badannya sudah yang paling indah. Begitu juga dalam mencintai sesuatu, he would do it so perfectly and passionately yang cenderung membuatnya tampak posesif namun juga sangat menikmati keposesifan. Tapi sekali kau beri kebebasan padanya, beliau akan menjelma menjadi burung yang tidak akan pernah bisa kau kandangkan, meski dengan sangkar emas sekalipun, persis seperti aku. Bapak dan aku adalah dua pribadi posesif namun haus kebebasan, perfeksionis tapi tidak membosankan.

            Satu watak lagi yang aku lihat setiap kali aku mengaca pada sosok Bapak yaitu kenyamanan dan kepercayaannya pada diri sendiri. Seorang yang inexplicably akan lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah di banding berkumpul dalam rapat RT dengan lelaki sebaya membahas isu-isu sosial. Beliau adalah sosok yang menghindari konflik dan perselisihan akan tetapi selalu melakukan apa yang menurutnya benar. Beliau adalah jenis orang yang tidak pandai bersosialisasi namun pintar bersahabat, orang yang tampak apatis namun dalam otakknya tercatat semua kepincangan yang ingin dan bisa dia selesaikan. Dan sama halnya dengan aku, Bapak adalah orang yang akan merasa nyaman di tempat yang tak karuan walaupun orang lain mengutuk habis-habisan kesemrawutan dunia kami.

            Begitu lah hubunganku dengan Bapak. Kami terikat secara emosional bukan karena beliau terlalu memanjakan aku, tapi karena beliau memahamiku, karena apa yang aku butuhkan hampir semuaya juga beliau butuhkan. Bapak dan aku, dua fisik yang berbeda akan tetapi terbentuk oleh pribadi dan karakter serupa. Kami adalah jiwa kembar yang mendiami raga yang disebut ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, menyandang status yang dipanggil ‘bapak’ dan ‘anak’.


*aku dedikasikan tulisan ini untuk sosok Bapak yang telah menjadi inspirasi terbesarku


No comments:

Post a Comment

Sunday 27 November 2011

Bapak dan Aku


Setiap berbicara tentang masa kecil, Ibu tidak pernah absen memberi tahu lawan bicaranya betapa manja dan arogannya a seven-year-old version of me.  Beliau lantas mengulang-ngulang cerita dimana aku menangis hebat sembari meneriakkan ‘mantra’ andalanku saat itu-Bapak, dengan diikuti penjelasan panjang lebar mengenai ketergantunganku akan sosok yang satu itu. Yah, Bapak memang tokoh idolaku sepanjang masa. Bukan karena kepintaran atau kepribadiannya, melainkan karena beliau selalu menjadikanku anak favoritnya, putri kesayangannya. Bapak adalah the fairy god mother. Orang pertama yang terlintas di pikiranku saat aku mendapat masalah dan yang dengan tongkat ajaibnya akan memberiku jalan keluar dari segala jenis kebuntuan. Hal ini tidak jarang menimbulkan kontra di antara saudara-saudaraku. Namun pada akhirnya, mereka selalu menemukan jalan masing-masing untuk memaklumi dan menerimanya.

Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ketiga saudaraku semuanya laki-laki. Posisi strategis sebagai satu-satunya anak perempuan inilah yang menjadikanku istimewa. Paling tidak begitu konsep awal yang di anut Ibu dan ketiga saudara laki-lakiku sebelum akhirnya teori itu berubah menjadi sebuah norma tidak tertulis di keluarga kami. Mungkin hal ini pula lah yang akhirnya menjadikanku begitu terikat secara emosional dengan Bapak, dan sering kali aku memanipulasi hubungan ini dengan menjadikannya senjata demi keuntungan pribadi tanpa rasa bersalah sedikitpun. Namun semakin aku memahami diriku, semakin aku merasa this whole idea of ‘that special daughter’ was entirely incorrect. Semakin aku mengenal sosok Dini Rosita Sari, semakin aku tersadar bahwa aku ini tidak lain adalah bayangan yang dilihat Bapak setiap kali beliau bercermin. Aku adalah saudara kembar perempuan beliau, not literally of course.

Terkadang akan sangat sulit untuk mendefinisikan diri sendiri dibanding jika harus melakukan hal yang sama tentang orang lain. Aku pun merasakan hal yang sama. Dan sosok Bapak lah yang membantuku untuk memahami pribadi macam apa aku ini. Bapak adalah karakter yang sangat gamblang baik bagi orang terdekat ataupun kenalannya, namun dalam artian yang berbeda. Kenalannya mungkin akan menganggap beliau sosok yang akan dengan mudah dimintai pertolongan karena wataknya yang memang lembut dan toleran. Akan tetapi bagi ibu dan anak-anaknya, Bapak adalah pribadi yang sulit diperintah. Akan sangat menguras emosi dan energi hanya demi meminta beliau datang ke pernikahan saudara kalau itu bukan karena keinginannya. Hal ini lah yang terkadang menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil antara Bapak dan Ibu. Ibu tidak dan bahkan mungkin tidak akan pernah memahami semua itu, but I do, karena aku pun begitu. Kami berdua lemah lembut tapi keras kepala, toleran tapi tegas dan sering kali ringan tangan namun benci diperintah.

            Bapak juga merupakan perwujudan pribadi posesif kompulsif yang bebas. Ketika mencintai sesuatu, tanpa sadar beliau akan menunjukkan sebentuk perilaku unik yang tampak jelas bagi orang disekitarnya tapi tidak bagi dirinya sendiri. Saya ingat Ibu pernah berkata, “Bapak kamu itu lucu, Din. Dulu pernah beli kursi lipat, jumlahnya tiga biji. Padahal sudah tahu anaknya empat. Tidak lama eh beli kursi plastik, berapa jumlahnya? Tiga lagi. Terus pernah membeli kemeja warna putih berulang-ulang sampai lemari dipenuhi warna putih. Nah sekarang sepertinya beliau sedang menyukai warna hitam. Sudah lebih dari tiga kali beliau membeli kemeja warna hitam berturut-turut. Bapak kamu memang begitu, kalau sudah suka sama sesuatu, yang diulang-ulang ya benda itu.” Begitu cara Ibu secara literal mendeskripsikan karakter Bapak kepadaku. Sedangkan aku mungkin menjelaskannya dengan sedikit berbeda.

Bapak adalah jiwa perfeksionis. Yang selalu mencari kesempurnaan dari setiap hal, paling tidak bagi mata dan batinnnya sendiri. Itulah yang menjadikannya pribadi yang kompulsif. Selalu mengulang pola yang sama sampai akhirnya menemukan kombinasi yang menurutnya mendekati sempurna. Bapak adalah pria yang akan berulang kali bolak-balik memandang pantulan dirinya di dalam cermin, memperhatikan setiap detil busana yang dikenakannya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang melekat di badannya sudah yang paling indah. Begitu juga dalam mencintai sesuatu, he would do it so perfectly and passionately yang cenderung membuatnya tampak posesif namun juga sangat menikmati keposesifan. Tapi sekali kau beri kebebasan padanya, beliau akan menjelma menjadi burung yang tidak akan pernah bisa kau kandangkan, meski dengan sangkar emas sekalipun, persis seperti aku. Bapak dan aku adalah dua pribadi posesif namun haus kebebasan, perfeksionis tapi tidak membosankan.

            Satu watak lagi yang aku lihat setiap kali aku mengaca pada sosok Bapak yaitu kenyamanan dan kepercayaannya pada diri sendiri. Seorang yang inexplicably akan lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah di banding berkumpul dalam rapat RT dengan lelaki sebaya membahas isu-isu sosial. Beliau adalah sosok yang menghindari konflik dan perselisihan akan tetapi selalu melakukan apa yang menurutnya benar. Beliau adalah jenis orang yang tidak pandai bersosialisasi namun pintar bersahabat, orang yang tampak apatis namun dalam otakknya tercatat semua kepincangan yang ingin dan bisa dia selesaikan. Dan sama halnya dengan aku, Bapak adalah orang yang akan merasa nyaman di tempat yang tak karuan walaupun orang lain mengutuk habis-habisan kesemrawutan dunia kami.

            Begitu lah hubunganku dengan Bapak. Kami terikat secara emosional bukan karena beliau terlalu memanjakan aku, tapi karena beliau memahamiku, karena apa yang aku butuhkan hampir semuaya juga beliau butuhkan. Bapak dan aku, dua fisik yang berbeda akan tetapi terbentuk oleh pribadi dan karakter serupa. Kami adalah jiwa kembar yang mendiami raga yang disebut ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, menyandang status yang dipanggil ‘bapak’ dan ‘anak’.


*aku dedikasikan tulisan ini untuk sosok Bapak yang telah menjadi inspirasi terbesarku


No comments:

Post a Comment