Thursday 21 June 2012

Empty Your Bookcase, Empty Your Heart




Sore ini ada yang tiba-tiba menarik perhatianku. Entah untuk keberapa kalinya aku memandang ke arah yang sama, namun baru kali ini aku menyadari sebuah eksistensi yang sebenarnya tidak pernah menjadi masalah, namun dengan sangat tiba-tiba berubah menjadi begitu mengganggu. Rak buku. Ya..salah satu benda favoritku ini lah yang justru sangat mengusik rasa nyamanku saat ini. Entah karena apa tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah dengan rak buku tersebut. Serasa ada yang ganjil dan terus-terusan menggelitik imaginasiku. 

Rak buku ini terbuat dari kayu, dengan lebar 30 cm, panjang 100 cm dan tinggi 138 cm. Bagian dalamnya tersekat menjadi dua kolom dan empat baris. Sehingga dari penyekatan itu diperoleh delapan buah bookshelves berwujud persegi panjang. Dibagian depan, rak buku ini dilindungi oleh sebuah kaca bening yang bisa bergeser ke kiri dan kanan, kecuali dua bookshelves terbawah yang memang sudah terlapisi oleh pintu kayu berwarna coklat tua.

Entahlah, apa gerangan yang kurang mengena di hati sehingga tiba-tiba saja rak buku ini tak menyenangkan lagi. Semuanya tetap sama. Warnanya yang coklat tua memang sengaja kupelihara. Aku menyukai semua yang masih pada kodrat alaminya, seperti kayu yang setia pada warna, serat dan teksturnya. Pun puluhan buku yang mendiami. Semua masih kujaga dan kusimpan dengan rapi sesuai dengan tebal dan tinggi. Tapi kini rasanya aneh, ada sesuatu yang membuatku kehilangan gairah padanya. Apa itu…aku mencoba menerka-nerka. 

Jengah dengan teka-teki ini, kusambar semua buku dari tiap rak. Kukeluarkan dan kubentangkan di atas lantai. Satu persatu kutata buku tersebut disana. Kini lantaiku bak lautan buku saja. Ibu yang kebetulan lewat pun jadi terheran-heran olehnya. Biarlah..yeng penting tersalurkan jiwa yang sedang gulana ini. Kuamati rak buku tersebut. Kosong. Bak pulau di sebuah remote area. Seperti semesta yang tiba-tiba kehilangan bintang dan planetnya. Kini rak buku itu menjadi lapang dan begitu terbuka. Mungkin itulah yang seharusnya kita lakukan saat jiwa sedang gelisah. Ketika sudah terlalu banyak simpul dalam tali kehidupan kita. Keluarkanlah beban-beban itu, bukan untuk membuangnya melainkan untuk menatanya kembali di kemudian hari. Kendurkan simpul di tali dan luruskan yang dulu sempat terlilit. Kosongkan ruang di hati. Lapangkan bilik di jiwa. Dan tentu saja luruskan pola di otak. Atau dengan kata lain, go back to default setting, refresh everything. Dengan begitu, gundah tidak terburu berkembang menjadi gulana.

Begitu pula dalam cinta. Terkadang kita perlu mengosongkan hati untuk menelusuri semua akar permasalahan. Suatu eksistensi yang sudah terlalu lama melekat di hati memang terkadang membuat kita lupa diri. Menganggapnya sebagai yang abadi dan tidak terganti. Padahal yang sebenarnya adalah bagaimana kita telah terus menerus membohongi diri sendiri. Menganggap keberadaannya sebagai formula sempurna tiada banding dan tak mungkin disanding. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hati kita tahu bahwa ini tak lebih dari sekedar sebuah mission impossible. Hanya saja, harapan lah yang selalu membuat kita berkelit lagi dan lagi. Jadi, lepaskan harapan yang berdesakan itu dan ciptakan ruang kosong di hati. Dengan begitu, kita dapat mengulang semua prosesnya dari awal lagi.

Sejenak kupandangi rak buku yang kini melompong itu, sebelum kumasukkan lagi satu persatu semua buku yang ada di atas lantai. Namun kali ini aku mempunyai modus yang sedikit berbeda. Secara acak aku tata buku-buku tersebut. Tidak lagi aku kelompokkan mereka sesuai dengan ketebalan ataupun tingginya. Semuanya berpadu secara acak baik warna dan ukuran. Dan aha! Ternyata hasilnya sungguh diluar dugaan. Cantik apa adanya. Kini rak buku itu tampak berbeda. Meski warnanya tetap coklat tua dan buku didalamnya nya pun tetap sama. 

Sejatinya cinta itu memang sanggup membuat sesuatu yang sama menjadi istimewa. Yang biasa menjadi indah. Yang tak kentara menjadi jelas dan nyata. Yang awalnya hanya kelakar, menjadi wibawa. Memang begitulah tradisinya, tak bisa disanggah pun tak bisa diterjemah. Karena sebagai wayang, kita manusia hanya bisa pasrah pada sang dalang. So, let’s empty the bookcase everyone!

No comments:

Post a Comment

Thursday 21 June 2012

Empty Your Bookcase, Empty Your Heart




Sore ini ada yang tiba-tiba menarik perhatianku. Entah untuk keberapa kalinya aku memandang ke arah yang sama, namun baru kali ini aku menyadari sebuah eksistensi yang sebenarnya tidak pernah menjadi masalah, namun dengan sangat tiba-tiba berubah menjadi begitu mengganggu. Rak buku. Ya..salah satu benda favoritku ini lah yang justru sangat mengusik rasa nyamanku saat ini. Entah karena apa tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah dengan rak buku tersebut. Serasa ada yang ganjil dan terus-terusan menggelitik imaginasiku. 

Rak buku ini terbuat dari kayu, dengan lebar 30 cm, panjang 100 cm dan tinggi 138 cm. Bagian dalamnya tersekat menjadi dua kolom dan empat baris. Sehingga dari penyekatan itu diperoleh delapan buah bookshelves berwujud persegi panjang. Dibagian depan, rak buku ini dilindungi oleh sebuah kaca bening yang bisa bergeser ke kiri dan kanan, kecuali dua bookshelves terbawah yang memang sudah terlapisi oleh pintu kayu berwarna coklat tua.

Entahlah, apa gerangan yang kurang mengena di hati sehingga tiba-tiba saja rak buku ini tak menyenangkan lagi. Semuanya tetap sama. Warnanya yang coklat tua memang sengaja kupelihara. Aku menyukai semua yang masih pada kodrat alaminya, seperti kayu yang setia pada warna, serat dan teksturnya. Pun puluhan buku yang mendiami. Semua masih kujaga dan kusimpan dengan rapi sesuai dengan tebal dan tinggi. Tapi kini rasanya aneh, ada sesuatu yang membuatku kehilangan gairah padanya. Apa itu…aku mencoba menerka-nerka. 

Jengah dengan teka-teki ini, kusambar semua buku dari tiap rak. Kukeluarkan dan kubentangkan di atas lantai. Satu persatu kutata buku tersebut disana. Kini lantaiku bak lautan buku saja. Ibu yang kebetulan lewat pun jadi terheran-heran olehnya. Biarlah..yeng penting tersalurkan jiwa yang sedang gulana ini. Kuamati rak buku tersebut. Kosong. Bak pulau di sebuah remote area. Seperti semesta yang tiba-tiba kehilangan bintang dan planetnya. Kini rak buku itu menjadi lapang dan begitu terbuka. Mungkin itulah yang seharusnya kita lakukan saat jiwa sedang gelisah. Ketika sudah terlalu banyak simpul dalam tali kehidupan kita. Keluarkanlah beban-beban itu, bukan untuk membuangnya melainkan untuk menatanya kembali di kemudian hari. Kendurkan simpul di tali dan luruskan yang dulu sempat terlilit. Kosongkan ruang di hati. Lapangkan bilik di jiwa. Dan tentu saja luruskan pola di otak. Atau dengan kata lain, go back to default setting, refresh everything. Dengan begitu, gundah tidak terburu berkembang menjadi gulana.

Begitu pula dalam cinta. Terkadang kita perlu mengosongkan hati untuk menelusuri semua akar permasalahan. Suatu eksistensi yang sudah terlalu lama melekat di hati memang terkadang membuat kita lupa diri. Menganggapnya sebagai yang abadi dan tidak terganti. Padahal yang sebenarnya adalah bagaimana kita telah terus menerus membohongi diri sendiri. Menganggap keberadaannya sebagai formula sempurna tiada banding dan tak mungkin disanding. Meski sebenarnya, jauh di lubuk hati kita tahu bahwa ini tak lebih dari sekedar sebuah mission impossible. Hanya saja, harapan lah yang selalu membuat kita berkelit lagi dan lagi. Jadi, lepaskan harapan yang berdesakan itu dan ciptakan ruang kosong di hati. Dengan begitu, kita dapat mengulang semua prosesnya dari awal lagi.

Sejenak kupandangi rak buku yang kini melompong itu, sebelum kumasukkan lagi satu persatu semua buku yang ada di atas lantai. Namun kali ini aku mempunyai modus yang sedikit berbeda. Secara acak aku tata buku-buku tersebut. Tidak lagi aku kelompokkan mereka sesuai dengan ketebalan ataupun tingginya. Semuanya berpadu secara acak baik warna dan ukuran. Dan aha! Ternyata hasilnya sungguh diluar dugaan. Cantik apa adanya. Kini rak buku itu tampak berbeda. Meski warnanya tetap coklat tua dan buku didalamnya nya pun tetap sama. 

Sejatinya cinta itu memang sanggup membuat sesuatu yang sama menjadi istimewa. Yang biasa menjadi indah. Yang tak kentara menjadi jelas dan nyata. Yang awalnya hanya kelakar, menjadi wibawa. Memang begitulah tradisinya, tak bisa disanggah pun tak bisa diterjemah. Karena sebagai wayang, kita manusia hanya bisa pasrah pada sang dalang. So, let’s empty the bookcase everyone!

No comments:

Post a Comment